106 orang dipenjara akibat penodaan agama di masa SBY

Handoko Nikodemus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

106 orang dipenjara akibat penodaan agama di masa SBY

AFP

Beberapa orang dipenjara karena bersiul saat berdoa, mengemukakan pendapatnya di Facebook, atau mengatakan bahwa ia telah mendapatkan wahyu dari Tuhan.

 

JAKARTA, Indonesia — Kasus pidana karena penodaan agama meningkat pesat di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, di mana setidaknya 106 orang dipenjara karena dianggap telah menodai agama dari 2004 hingga 2014.

Hal tersebut diungkapkan oleh Amnesty International, sebuah organisasi asal Inggris yang bergerak di bidang hak asasi manusia, dalam sebuah konferensi pers dan laporan yang dirilis pada Jumat (21/11).

“Kami telah mendokumentasikan lebih dari 100 orang yang telah dipenjara hanya karena mengungkapkan kepercayaannya secara damai. Setidaknya sembilan dari mereka masih dipenjara. Mereka adalah tahanan moral dan harus dibebaskan segera dan tanpa syarat,” ujar Rupert Abbott, direktur riset Asia Tenggara dan Asia Pasifik di Amnesty International.

Beberapa dari orang ini dipenjara hanya karena bersiul saat berdoa, mengemukakan pendapatnya di Facebook, atau mengatakan bahwa ia telah mendapatkan wahyu dari Tuhan.

“Tidak ada seorangpun yang harus hidup di bawah ketakutan hanya karena mengekspresikan pendapat agama dan kepercayaannya. Pemerintahan baru di bawah Presiden Joko Widodo punya kesempatan untuk memutarbalikkan tren yang sangat mengerikan ini dan menyongsong era baru di mana hak asasi manusia dihargai,” ujar Abbott.

Hukum yang sering digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang dianggap menodai agama ini adalah Pasal 156(a) KUHP dan juga UU No. 5/1969.

Contoh kasus penodaan agama adalah kasus Tajul Muluk, pria berusia 41 tahun yang merupakan seorang pemimpin keagamaan muslim Syiah dari Jawa Timur.

Ia kini sedang menjalani masa hukuman empat tahun karena penodaan agama berdasarkan pasal 156(a) KUHP. 

Tajul dipaksa meninggalkan desanya setelah Ia dan para pengikut Syiah-nya diserang oleh ratusan orang pada Desember 2011. Pada 1 Januari 2012, sebuah fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulema Indonesia cabang Sampang tentang apa yang didefinisikan sebagai “ajaran menyimpang”. 

Lalu Tajul dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Sampang pada 12 Juli 2012 karean mengatakan Al Qur’an yang digunakan Muslin kini tidak menggunakan teks asli.

Lalu hukuman tersebut diperberat menjadi empat tahun oleh Pengadilan Tinggi Surabaya pada 10 September 2012 karena Tajul telah mengakibatkan “ketidakharmonisan di antara umat Muslim”.

Oleh karena itu, Amnesty International mendesak Presiden Jokowi dan pemerintahan baru agar mencabut UU penistaan agama dan juga membebaskan kesembilan orang yang masih dipenjara tersebut, termasuk Tajul.

“Membebaskan orang-orang tersebut merupakan langkah awal yang paling praktis,” ungkap Abbott. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!