Berpacu di jalur kemandirian energi

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Berpacu di jalur kemandirian energi

AFP

Negara konsumen energi giat kembangkan energi alternatif termasuk mencari minyak dengan biaya kian murah. Indonesia masih berkutat dengan mafia migas dan tingkatkan lifting minyak.

 

Akhir pekan saya menikmati edisi tahunan Bloomberg Businesweek. Majalah ini saya beli dalam perjalanan ke AS pekan lalu. Judul edisi spesial kali ini adalah The Year Ahead 2015. Banyak data yang menarik mengenai bagaimana situasi beragam sektor ekonomi di tahun depan. Saya tertarik untuk membahas data soal energi. Mumpung di Indonesia masih hangat diskusi soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kemandirian energi, energi alternatif, tim anti mafia migas, dan semacamnya.            

Makin sering dibahas bahwa problem utama dunia adalah ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan air. Pemerintah Tiongkok saat menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin ekonomi negara anggota kerjasama ekonomi Asia Pasifik APEC membuat kejutan dengan umumkan komitmen kurangi emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2030.  

Pemerintahan Presiden Xi Jinping juga luncurkan strategi pengembangan energi 2020. Lengkap, dan menggambarkan komposisi energi Tiongkok yang mempromosikan energi terbarukan. Juga energi nuklir yang relatif ramah lingkungan karena bahan baku non-fosil.             

Tiongkok, yang menyandang predikat sebagai kontributor emisi GRK terbesar di dunia, sejak dua tahun gencar mengembangkan energi tenaga surya. Akhir tahun ini, negeri komunis itu akan mencapai produksi 33 gigawatts energi surya, atau 42 kali lebih besar dari kemampuan mereka di tahun 2010, juga lebih besar dari kapasitas tenaga surya di Spanyol, Italia, dan Inggris digabungkan jadi satu. Amerika Serikat akan mampu memproduksi 20 gigawatts energi surya akhir 2014.  

Kebanyakan produksi energi surya Tiongkok berlokasi di bagian barat negeri itu, dekat lokasi pertanian. Kini, mereka mengembangkan cara bagaimana agar gedung, pabrik, dan bangunan di perkotaan dapat dilengkapi panel penangkap energi surya. Tak perlu investasi biaya transmisi energi dari lokasi di barat ke pusat-pusat kota di Tiongkok, termasuk ibukota Beijing yang dikenal sebagai kota yang penuh polusi.

Tahun 2015, diperkirakan Tiongkok akan menambah kapasitas produksi energi surya sebanyak 15 gigawatts, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi 16 juta rumah. Lebih dari separuh peningkatan kapasitas produksi ini datang dari panel surya berharga murah, yang dipasang di atap gedung bisnis milik swasta. Jika rencana itu terwujud, maka hanya dalam waktu setahun Tiongkok berhasil produksi energi surya lebih banyak dibandingkan dengan negara Australia yang memiliki curah matahari paling banyak di dunia.

Soal pengembangan energi surya ini saya teringat kunjungan ke Kansai Energy Park di Osaka, Jepang, 2012. Kunjungan difasilitasi bos Panasonic Indonesia, Rachmat Gobel. Ia kini menjabat Menteri Perdagangan di Kabinet Kerja Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Saat saya wawancarai jelang pengumuman menteri Jokowi, Rachmat mengatakan begini:

“Ketika kita ke Jepang, Mbak Uni melihat sendiri bagaimana pabrik panel tenaga surya dioperasikan. Bahkan pabrik pembuat batere tenaga surya pun dijalankan dengan dukungan energi tenaga surya. Indonesia ini negara dengan curah matahari hampir sepanjang tahun. Potensinya besar. Bahan pasir yang ideal untuk ‘menangkap’ tenaga surya juga kita punya. Kok Malaysia yang justru membangun pabrik batere itu? Ceritanya pada tahun 2010, pihak Panasonic menawarkan ke Indonesia, untuk membangun pabrik batere untuk panel surya. Membuat batere ini bagian yang paling krusial. Sudah bertemu dengan pemerintah. Pak SBY pun sudah tahu. Malaysia mendengar informasi ini. Pemerintahnya langsung mengirim utusan bertemu pihak Panasonic di Jepang. Singkat cerita justru Panasonic investasi di Malaysia. Mengapa? Ya karena situasi di sini kurang mendukung. Kurang responsif. Tidak berpikir jauh ke depan.”

Jokowi punya Rachmat Gobel, ketua umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia. Apakah berarti pengembangan energi terbarukan bakal lebih giat? Saya belum melihat tanda-tandanya. Belum 100 hari, kok. 

Bagaimana dengan AS, negara produser sekaligus konsumen energi yang rakus juga. Di Negeri Paman Sam sedang terjadi debat apakah mereka akan mencabut larangan ekspor minyak, yang ditetapkan oleh Kongres sejak 1975. Mantan menteri keuangan di era Presiden Bill Clinton, Larry Summers, ekonom berpengaruh dari Harvard, berpandangan, “Kalau kita membuka keran ekspor minyak, harga yang didapat produser minyak AS bakal tinggi, memungkinkan peningkatan kapasitas produksi, menciptakan lapangan pekerjaan dan investasi. Mengijinkan ekspor minyak ujungnya bakal menurunkan harga BBM di dalam negeri,” ujar Summers. 

Pandangan Larry Summers ditentang oleh Senator Ed Markey dari Partai Demokrat. Pemerintah AS, kata Markey di majalah yang saya baca ini, memproyeksi produksi minyak akan mencapai puncaknya pada 2019, sebanyak 9,6 juta barel per hari.  Saat itu pun AS masih akan mengimpor 3 sampai 4 juta barel minyak per per hari. “Jadi, kita tetap rentan posisinya dalam kemandirian energi. Kita harus fokus ke mitigasi ketimbang bicara soal potensi untung yang diperoleh produsen jika mengekspor minyak,” kata Markey. Dia menyingggung soal cukup banyak lapangan pekerjaan di sektor migas dari gencarnya perbaikan kilang agar produktivitas meningkat. 

Terobosan memproduksi minyak lebih murah dan ramah lingkungan terus dicari. MCW Energy Group, sebuah perusahaan asal Kanada, mengembangkan teknologi untuk “mengeruk” minyak yang ada di antara lapisan batu dan pasir di kawasan Utah. Produksi dimulai tahun depan, dan akan menjadi “America’s first environmentally friendly oil sands project.” Mereka memperkirakan ada 32 juta barel minyak mentah, terperangkap di lapisan pasir dan batu. Proses eksplorasi Oil Sands  pun jauh lebih murah, separuh dari ongkos produksi dengan cara yang selama ini dilakukan. 

Dua negara banyak dibahas karena konsumsinya yang juga besar, sehingga kebutuhan mandiri secara energi juga tinggi.  Indonesia juga harus mengarah ke sana, untuk mencukupi energi bagi 240 juta penduduknya. Bagaimana strategi Indonesia?

Ekonom UI Faisal Basri ditunjuk menjadi Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Foto oleh Faisal-Biem/YouTube

Sebagaimana saya ulas dalam tulisan kemarin, kita belum melihat detil strategi energi. Indonesia lagi pusing bagaimana meningkatkan lifting minyak. Produksi 800 ribu barel per hari, atau separuh dari kebutuhan dalam negeri. Kilang-kilang menua. 

Pekan pertama Kabinet Kerja, saya membaca penandatanganan kerjasama antara Pertamina dengan Sonangol, produsen minyak dari Angola. Dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral mengatakan, upaya mencari alternatif pemasok minyak untuk Indonesia terus dilakukan. Bisa dari Angola, Tiongkok, Iran, Rusia dan sumber lain. Maksudnya agar Indonesia tidak tergantung pada pemasok yang itu-itu saja, dengan perantara yang sama.  Kerjasama Pertamina dengan Sonangol EP dapat dibaca di sini 

Bisa jadi kerjasama Pertamina dengan perusahaan yang dikenal sangat dekat dengan keluarga Presiden Angola ini, adalah senjata Presiden Jokowi untuk mengimbangi pengaruh mereka yang kerjasama dengan Petral, yang selama ini kuasai impor minyak untuk Indonesia. Petral menjadi salah satu target kerja Tim Anti Mafia Migas. Saya lebih suka menyebutnya demikian meskipun nama resminya Komite Reformasi Tata Kelola Migas. 

Masuknya Sonangol EP, yang mulai tahun depan memasok minyak untuk Pertamina itu berkat pengaruh Surya Paloh, melalui PT Surya Energi Raya. Surya Paloh, pendiri Partai Nasdem yang mendukung pasangan Jokowi-JK mengakui  menyarankan Presiden Jokowi agar Pertamina bekerjasama dengan Sonangol. “Tapi saran kecil saja,” ujar Surya kepada Kontan di Kantor Partai Nasdem, Jakarta, Kamis (6/11). 

Jadi, di luar terobosan Menteri ESDM yang membentuk Tim Anti Mafia Migas yang diketuai ekonom Faisal Basri, kerjasama Pertamina dengan Sonangol EP adalah langkah nyata pemerintah Jokowi untuk bidang energi. Kita masih menunggu langkah lain termasuk bicara soal kemandirian energi dan inovasi energi terbarukan.  

Saran saya, Presiden Jokowi atau menteri terkait bisa mengundang mantan Ketua Komite Inovasi Nasional Prof Muhamad Zuhal untuk didengar pendapatnya. KIN menerbitkan laporan lengkap termasuk usulan inovasi di bidang energi. Sayang kalau mubazir.  Biaya cetaknya juga mahal, kan. 

Oh, ya. Untuk transparansi, ada bagusnya Pertamina membuka data berapa nilai beli minyak yang diimpor dari Angola dibandingkan dengan  sumber-sumber lain? Total biaya termasuk delivery? —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!