Kontroversi sawit Indonesia: Berlanjut di KTT Perubahan Iklim

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kontroversi sawit Indonesia: Berlanjut di KTT Perubahan Iklim

EPA

Diskusi soal sawit Indonesia akan berlanjut di KTT Perubahan Iklim di Lima, Peru. Bagaimana sikap Indonesia atas tekanan media AS?

Pada tanggal 4 November, koran berpengaruh The New York Times menurunkan editorial berjudul America’s Big Bet on Indonesia. Inti dari tajuk rencana NYT adalah menyambut era Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Diulas posisi strategis Indonesia sebagai negara demokrasi dengan populasi Muslim terbesar di dunia, juga pertumbuhan ekonomi yang menempatkan Indonesia dalam grup G20. 

Kendati dianggap sebagai model negara demokrasi, NYT juga menyentil soal masih ada 100 juta rakyat Indonesia hidup dengan pendapatan senilai US$2 sehari, bahkan kurang. Disinggung pula perlunya Presiden Jokowi menghentikan produksi minyak kelapa sawit, yang menurut NYT, telah menggerus seperlima dari luasan hutan sejak 1990 sampai 2010 dan menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca (GRK). 

Tekanan AS yang notabene melindungi industri minyak kedelainya terhadap minyak sawit Indonesia memang tak pernah berhenti. Editorial NYT adalah yang terbaru. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, DC, menanggapi kalimat terkait minyak sawit itu secara rinci. Saya mendapatkan salinan jawaban itu dari Duta Besar Budi Bowoleksono saat saya berkunjung ke sana beberapa hari setelah editorial NYT terbit. 

Menurut pihak Kedubes, ini kali kedua NYT menuduh hutan Indonesia habis seperlima karena penanaman sawit. “Pada tanggal 5 Mei 2014, editorial NYT menerbitkan pernyataan yang persis sama tentang minyak sawit Indonesia, deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Pernyataan yang salah, dan kini diulangi lagi,” komentar Kedubes RI. 

Di mata KBRI, kalimat NYT yang mengatakan bahwa 20 persen dari hutan Indonesia lenyap karena perkebunan sawit adalah sebuah kesalahan. Total luasan perkebunan sawit di Indonesia kurang dari 10 juta hektar, notabene kurang dari 10 persen luasan hutan Indonesia. 

Kedubes RI juga menolak usulan NYT agar Indonesia menghentikan seluruh kegiatan industri minyak sawit. Dari kacamata Indonesia, industri minyak sawit telah mengangkat harkat hidup masyarakat sekitarnya dari kemiskinan. Indonesia menghargai pentingnya menjaga hutan dalam menghadapi tantangan global dalam perubahan iklim. “We take protection of our economy and creating prosperity for our people. We don’t see growth and sustainability as an either-or proposition, and neither should New York Times,” demikian tulis KBRI.

Indonesia meyakini dengan kebijakan dan dukungan finansial yang memadai, dua tujuan itu, pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan dapat berjalan seiring.  

Industri kelapa sawit dianggap penting karena sekitar empat juta orang secara langsung bekerja di industri sawit ini. Sebanyak 12 juta orang secara tidak langsung menggantungkan nafkahnya di sektor ini. Industri sawit Indonesia, menurut catatan KBRI Washington, menghasilkan US$20 miliar dari ekspor setiap tahunnya, dan memainkan peran penting dalam mengurangi kemiskinan dan pedesaan sekitar lokasi. 

Yang lupa dibahas editorial NYT, kata Dubes Bowoleksono, adalah bahwa Indonesia berada di garda depan dalam upaya internasional untuk menurunkan GRK dan deforestasi. Pada 2009, di Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Indonesia mengumumkan komitmen mengurangi emisi GRK menjadi 26 persen pada 2020. Sebuah angka yang besar.   

Indonesia juga telah membangun institusi untuk memerangi deforestasi, yakni REDD+, dan memasukkan pembangunan yang berkelanjutan alam semua level perencanaan pembangunan. “The saved forest and peatland under Indonesia’s moratorium policy is larger than the combined landmass of California and Florida or three times larger than the total area of the 59 national parks in the US,” demikian jawaban KBRI. Rada galak nadanya. 

Pada pertemuan puncak perubahan iklim di Perserikatan Bangsa-Bangsa, September 2014, empat pemain utama agribisnis Indonesia meneken Plakat Minyak Sawit Indonesia. Plakat ini memastikan bahwa proses produksi di industri sawit Indonesia memenuhi prinsip keberlanjutan dan penurunan emisi GRK. Penandatanganan plakat komitmen ini adalah bagian dari separuh dekade kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat seperti Green Peace, WWF, The Nature Conservancy, dan The Forest Trust. 

Diskusi mengenai industri minyak sawit, juga sawit sebagai sumber energi bio fuel, akan berlanjut dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim, COP 20, yang dibuka kemarin (1/12) di Lima, Peru.  

Delegasi Indonesia akan dipimpin oleh Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Perubahan Iklim, yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup yang ikut merumuskan posisi Indonesia dalam komitmen penurunan GRK.   

“Kita sepakat yang bandel-bandel, perusahaan pembakar hutan, harus ditindak tegas. Tapi, kita juga tidak ingin alasan persaingan bisnis membuat industri minyak sawit kita terus dipojokkan. Sejauh ini Indonesia menjalankan komitmen penurunan emisinya dengan baik. Masih banyak yang harus diperbaiki, tapi kita tidak diam saja,” kata Rachmat Witoelar.  

Semalam, saya hadir dalam rapat terakhir persiapan delegasi Indonesia ke COP 20 di Lima, yang juga dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar.  

Bagaimana tanggapan publik di COP20 dan negosiasi Indonesia di Lima? Saya akan melaporkan langsung untuk pembaca, dari ibukota Peru itu. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!