Robohnya sekolah kami: Salah siapa?

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Robohnya sekolah kami: Salah siapa?
Bangunan sekolah berumur puluhan tahun runtuh di Sampang. Kasus ini bukan yang pertama kalinya terjadi di sistem pendidikan Indonesia. Kementerian dan Dinas Pendidikan saling menyalahkan.

Gedung SMP Negeri 1 Sampang, Madura, dibangun sejak 1928. Namun, hingga 86 tahun lamanya, gedung itu tak pernah direnovasi. Hingga Sabtu (29/11), gedung itu runtuh. Empat belas siswa dan dua guru terluka, termasuk sang Kepala Sekolah. Keenambelas korban langsung dilarikan ke rumah sakit. 

Yasmine Nurrahmawati, 13 tahun, duduk manis di bangkunya sambil bersenda gurau seperti biasa. Sabtu siang itu, Yasmine sedang mengikuti mata pelajaran Bahasa Inggris. Cuaca cerah. Tak ada tanda-tanda akan datang musibah. 

“Tiba-tiba dengar suara bruk, Aku kaget terus pegang kepala, lari ke bawah meja,” kenang siswi yang duduk di kelas VII ini, Rabu (3/11). Kejadian runtuh itu tepat pukul 09:38 WIB. 

Ia kemudian pelan-pelan membuka matanya. “Gelap,” katanya. Ia sadar, ia sedang berada di tumpukan genting, paku, dan kayu yang sudah lapuk, penuh debu. Pengap. Berantakan. 

Beruntung, seorang pria paruh baya segera datang dan menyingkirkan potongan genting dan kayu di bangkunya. Cahaya dari sudut pintu kelas mulai terlihat. Ia lega, dan langsung dipapah menuju rumah sakit yang jaraknya tak jauh dari sekolah. 

Yasmine mengalami cedera di bagian paha. “Paha gosong,” katanya. Ia memang sempat menyelamatkan kepalanya di bawah meja, tapi kakinya terantuk kayu atap sekolah. Untuk pemulihan, ia hanya harus berobat jalan. 

Bukan hanya Yasmine yang jadi korban, tiga belas murid lainnya juga mengalami luka-luka. 

Menurut Muhammad Roib, sang Kepala Sekolah, dari 14 siswa hanya satu yang luka parah. Lainnya luka ringan. Tapi keempatbelasnya mengalami trauma mendalam, sehingga harus ditangani oleh psikolog untuk dihipnotis selama tiga jam. 

Roib sendiri juga terluka bersama dua guru lainnya. “Darah saya mengucur di baju, celana, dan sepatu,” katanya. Ia juga harus dilarikan ke rumah sakit. 

Dibangun sejak 1928 

Roib mengungkapkan bahwa bangunan sekolah SMP Negeri 1 Sampang telah berumur 86 tahun, dibangun sejak 1928. 

“Bangunan ini sudah kuno, dibangun sejak zaman Belanda. Pakunya saja sudah lapuk,” katanya. Ia meyakinkan umur gedung dengan bukti sertifikat. 

Sebagai empunya sekolah selama tiga tahun terakhir, ia mengaku tak tahu pasti kapan gedung tersebut diperbaiki untuk terakhir kalinya. 

Tapi menurutnya, empat kelas dari sisi gedung yang runtuh kondisinya masih lebih baik dari yang lain. “Sisi yang lain lebih rusak. Lebih bahaya yang lain,” katanya. 

Karena itu, sisi gedung itu sebenarnya baru akan diperbaiki tahun depan. Bukan prioritas. “Karena sisi gedung yang ini tidak tergolong rusak berat,” katanya. 

Kementerian salahkan pemerintah daerah 

Rubuhnya gedung sekolah di Sampang itu membuat Pemerintah Pusat geram. Kementerian Pendidikan Nasional dengan tegas menuding pihak pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan setempat lalai. 

“Kalau urusan sekolah roboh, yang harus diminta pertanggungjawabannya adalah pemerintah daerah. Karena urusan itu sudah kami serahkan sejak otonomi daerah tahun 2001,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad.

Kondisi belajar di salah satu ruang kelas di sebuah sekolah di kota Malang, Jawa Timur. Foto oleh Aman Rochman/AFP

Tugas kementerian hanya membantu dan memberikan supervisi. Termasuk memberikan kucuran dana. 

Menurut Hamid, sejak tahun 2003, pemerintah pusat telah mengucurkan dana untuk sekolah ke daerah sebesar Rp 10 triliun tiap tahunnya. “Itu untuk semua jenjang,” katanya. 

Dana itu, kata Hamid, harusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun sekolah-sekolah yang rusak oleh Pemda. “Tapi, ya, ada yang melaksanakan dengan baik, ada yang setengah-setengah. Bahkan ada yang tidak sama sekali,” katanya. 

Selain itu, kata Hamid, untuk SMP Negeri 1 Sampang masuk kasus khusus. “Itu kan warisan budaya. Jadi gak boleh sembarangan dibongkar, harus izin,” katanya. 

Dan pihak yang harus mengurus izin, sekali lagi, adalah pemerintah daerah setempat. “Jadi seharusnya Pemda itu harus aktif,” katanya. 

Hamid mengaku telah menegur kepala dinas setempat. “Jangan diam saja! Itu urusan Pemda sejak 14 tahun yang lalu. Pemda jangan lari dari tanggung jawab dan kewajibannya,” katanya. 

Menanggapi protes ini, pihak perwakilan Dinas Pendidikan Nasional Sampang, Jupri, saat dihubungi, tak mampu berkomentar lebih jauh. 

Menteri akui 75 persen sekolah tak layak 

Dua hari setelah peristiwa runtuhnya gedung sekolah di Sampang, Menteri Pendidikan Anies Baswedan memberikan presentasi tentang Gawat Darurat Pendidikan bersama seluruh kepala dinas di tanah air. Tepatnya pada Senin, 1 Desember, kemarin. 

Dalam paparannya, Anies mengatakan, 75 persen sekolah di Indonesia tak memenuhi standar layanan. Angka itu berdasar pada pemetaan kementerian pada 40.000 sekolah di seluruh tanah air pada 2012 lalu. 

Bukan hanya itu, ia juga mengungkapkan, hasil uji kompetensi pada 460.000 guru tak memuaskan. Sebanyak 44,5 persen tidak memenuhi syarat minimal angka 70. 

Anies juga menyatakan, Indonesia berada di posisi 40 dari 50 negara bermutu pendidikan tinggi, berdasar survei universitas pada tahun 2013 lalu. 

Dirjen Pendidikan Dasar, Hamid, mengakui data yang diungkap Anies sesuai dengan fakta di lapangan. 

75% sekolah tak penuhi standar layanan, 460.000 guru tak memuaskan, mutu pendidikan tinggi Indonesia ada di posisi 40 dari 50.

“Jadi kekurangan itu di semua aspek. Bukan hanya bangunannya, tapi juga gurunya,” katanya. Termasuk penyediaan buku. 

“Kalau standar penyediaan itu 300 buku, kemudian sekolah itu kurang satu saja, itu sudah tidak memenuhi standard pelayanan minimal Kementerian,” katanya. 

Kembali lagi, katanya, itu semua tanggung jawab pemerintah daerah untuk membantu sekolah melengkapi kekurangannya. 

Kembali ke sekolah membawa trauma 

Untung Rifai, psikolog yang khusus menangani siswa-siswi korban gedung runtuh tersebut, mengatakan, hingga hari ini, masih ada tiga siswa yang mengalami trauma akut dan perlu dilakukan pemulihan psikis lanjutan. 

Sementara itu, 72 siswa lainnya sudah ia tangani dan dapat kembali bersekolah. Termasuk Yasmine. 

“Tapi efek domino dari kelas yang lain, belum bisa kita tangani. Kami kekurangan sumber daya, karena saya hanya sendiri,” katanya. Anak-anak Taman Kanak-Kanak yang melihat kejadian tersebut juga tak mampu ia pulihkan. 

Ia mengaku sudah meminta bantuan pusat krisis Universitas Airlangga, Surabaya. “Tapi belum ada jawaban,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!