2014, tahun koruptor divonis ringan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

2014, tahun koruptor divonis ringan

AFP

Jika disimpulkan, rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor pada semester I tahun 2014 adalah 2 tahun 9 bulan penjara.

JAKARTA, Indonesia — Pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), selama semester I tahun ini, rata-rata vonis untuk koruptor hanya 2 tahun 9 bulan penjara. Vonis pun seringkali tak disertai pasal tindak pidana pencucian uang. Koruptor tak bisa dimiskinkan. 

“Kalau melihat trennya memang seperti itu,” kata peneliti ICW Ade Irawan saat ditemui Rappler Indonesia di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (8/12) malam. 

Tren 2014 menunjukkan, rata-rata hukuman untuk para koruptor memang di bawah harapan publik. Baik itu tuntutan jaksa hingga putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

Ade mencontohkan kasus yang membelit mantan gubernur non-aktif Banten Ratu Atut Chosiyah. Atut hanya divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta subsider lima bulan atas kasus dugaan suap sengketa Pemilu Kepala Daerah Lebak. Padahal tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mencapai 10-11 tahun. 

Dalam putusan itu, hakim juga membebaskan Atut dari hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti dan penghapusan hak dipilih dan memilih. Bahkan dalam memutuskan perkara Atut, terjadi perbedaan pendapat di forum hakim. Ada hakim yang menilai Atut tak terbukti melakukan pidana sesuai dengan dakwaan KPK, sehingga selayaknya ia dibebaskan. 

Menurut Ade, putusan hakim ini memberi dampak negatif pada kondisi politik dan sosial masyarakat Banten. “Ada sebagian masyarakat Banten yang merasa, ternyata Atut masih punya pengaruh yang kuat. Rakyat jadi down,” katanya. 

Masih banyak kasus yang mirip dengan Atut. Ade menilai, terlalu banyak diskon untuk para koruptor tahun ini. “Mulai dari diskon tuntutan tanpa pasal Tindak Pidana Pencucian Uang, putusan di Tipikor, hingga eksekusi,” katanya. 

Belum berikan efek jera 

Pantauan ICW selama semester I (Januari-Juni 2014) menunjukkan, nilai kerugian negara yang timbul dari 210 perkara korupsi yang berhasil terpantau sekitar Rp 3,863 triliun dan US$49 juta. Total nilai suap mencapai Rp 64,15 miliar. 

Sedangkan jumlah denda yang dijatuhkan majelis hakim tipikor sedikitnya berjumlah Rp 25 miliar, dengan jumlah uang pengganti sebesar Rp 87,2 miliar dan US$5,5 juta. 

Kemudian, dengan jumlah 261 terdakwa perkara korupsi yang berhasil dipantau, mayoritas terdakwa atau sebanyak 242 orang (92,33 persen) divonis bersalah. Hanya 20 terdakwa (7,67 persen) dinyatakan bebas atau lepas. 

Meski demikian pada semester I 2014 ini, vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor secara keseluruhan belum memberikan efek jera, karena mayoritas dihukum dengan ringan. 

Terbukti pada semester I 2014, sebanyak 195 terdakwa (74,7 persen) dihukum dalam rentang 1 – 4 tahun (vonis ringan), 43 terdakwa divonis sedang (16,4 persen) dan hanya 4 terdakwa (1,5 persen) yang divonis berat oleh hakim Tipikor, termasuk di dalamnya 1 orang divonis seumur hidup. 

Kategori ringan didasarkan pada pertimbangan bahwa hukuman minimal penjara dalam Pasal 3 UU Tipikor adalah 4 tahun penjara. Maka hukuman 4 tahun dan kurang dari 4 tahun termasuk kategori ringan. Sedangkan vonis masuk kategori 2 atau sedang adalah vonis diatas 4 tahun hingga 10 tahun. Masuk kategori vonis berat adalah kasus korupsi yang divonis diatas 10 tahun penjara dengan maksimal hukuman seumur hidup. 

Kondisi pemberantasan korupsi saat ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2013. Hukuman untuk koruptor yang masuk kategori ringan sebanyak 232 terdakwa (78,64  persen). Sedangkan yang masuk kategori sedang hanya ada 40 terdakwa (13,56  persen). Dan yang masuk kategori berat hanya 7 orang.  

Hukum koruptor lebih berat, gunakan pasal pencucian uang

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis seumur hidup.

Agar vonis koruptor tak ringan, Yenti Garnasih, dosen hukum pidana Universitas Trisakti, mengusulkan agar jaksa KPK memakai pasal tindak pidana pencucian uang. 

“Mestinya setiap pidana korupsi langsung dilekatkan dengan pencucian uang,” katanya. Yenti menilai selama ini dakwaan jaksa lemah. “Bahkan saya melihat ada keengganan dari jaksa untuk menggunakan pasal pencucian uang,” katanya. 

Padahal, kata Yenti, penggunaan pasal pencucian uang bisa melipatgandakan hukuman. “Karena dianggap melakukan dua kejahatan, sehingga putusannya nanti enggak 2 tahun penjara saja,” katanya. 

Pada kenyataannya, kata Yenti, koruptor sudah menikmati hasil kejahatannya. “Harusnya hartanya semaksimal mungkin disita. Ini yang saya maksud dengan dimiskinkan lagi. Ditambah denda,” katanya. 

Yenti juga mengkritik sikap KPK yang berdalih ingin fokus ke pidana korupsi. “Kalau mau fokus ke pidana korupsi itu yang juga harus fokus ke pidana pencucian uang. Fokus itu ke dua-duanya,” katanya. 

Sementara itu, pengacara koruptor, Sukatma, yang saat ini menjadi pengacara Atut, tak keberatan jika pasal pidana pencucian uang diterapkan. “Saya setuju saja, tapi yang penting, kan, apakah institusi memiliki kewenangan atau tidak untuk melakukan penyelidikan tindak pidana pencucian uang?” kata Sukatma. 

Menurutnya, klausul kewenangan KPK di pidana pencucian uang masih pro dan kontra. Untuk itu, katanya, undang-undang perlu diubah terlebih dahulu, baru KPK punya kewenangan. 

Hingga saat ini, kata Sukatma, baru kepolisian dan kejaksaan yang diberi kewenangan mengusut tindak pidana pencucian uang.  

KPK klaim tuntutan maksimal

Deputi bidang Pencegahan KPK Johan Budi mengatakan bahwa lembaganya telah maksimal dalam melakukan penuntutan terhadap para koruptor tersebut. Termasuk melekatkan pasal tindak pidana pencucian uang. “Kami bahkan menggunakan pasal pencabutan hak politik pada terdakwa,” katanya. 

Ia mencontohkan upaya KPK menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap Pemilu Kepala Daerah Lebak, Banten. “Kami tuntut seumur hidup,” katanya. 

Johan juga memastikan, penuntutan KPK sudah selangkah lebih maju. Dulu, pasal pencucian uang belum pernah dipakai. Namun, pemakaian pasal pencucian tetap harus disesuaikan dengan Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencucian uang. Jadi bukan asal tuntut. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!