Heboh 3 tahun swasembada pangan: Mampukah Jokowi penuhi janji?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Heboh 3 tahun swasembada pangan: Mampukah Jokowi penuhi janji?

AFP

Jika target tak tercapai, Presiden Jokowi siap mengganti menteri yang bertanggung jawab. Problemnya lintas sektor. Solusinya?


Ini masa-masa seru di kantor konsultan sipil, menyongsong kegiatan pembangunan irigasi, bendung, dan bendungan, yang akan dilaksanakan tahun 2015. Semuanya dilakukan demi satu tujuan, yakni swasembada pangan.

Anda mungkin sudah mendengar, pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla punya target ambisius untuk berswasembada pangan. Ada lima bahan pangan utama yang ditargetkan, yakni beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Beras, terutama, harus tercapai swasembadanya dalam waktu tiga tahun. Bila target swasembada tidak tercapai, Menteri Pertanian Amran Sulaiman bakal dicopot.

Untuk pelaksanaan swasembada ini, Jokowi-JK akan menggelontorkan duit cukup besar, yakni Rp 15 triliun, untuk membangun irigasi jutaan hektar. Perbaikan irigasi akan difokuskan di 11 provinsi penghasil pangan.

Sewaktu memberi kuliah umum di Balai Senat Balairung Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa 9 Desember lalu, Jokowi mengulangi lagi ihwal targetnya untuk mencapai swasembada beras, jagung, kedelai, dan gula. 

“Sudah hitung-hitungan. Tiga tahun nggak swasembada, saya ganti menterinya. Yang dari Fakultas Pertanian bisa antre. Tapi saya yakin bisa, hitung-hitungannya ada. Jelas sekali. Konsentrasi 11 provinsi, sudah ada perhitungan,” kata Jokowi. Jokowi adalah alumni UGM dari Fakultas Kehutanan.

Pada pekan sebelum acara Jokowi itu, Pak JK yang berkeliling. Dengan helikopter, ia meninjau sejumlah lokasi: pabrik gula di Subang, pabrik gula di Sragen, pabrik gula Gempolkrep di Mojokerto, BUMN benih PT Sang Hyang Seri di Tegal, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Balai Besar Inseminasi Buatan di Singosari, Malang, dan sejumlah lokasi yang penting hubungannya dengan swasembada pangan.

Sudah hitung-hitungan. Tiga tahun nggak swasembada, saya ganti menterinya

Di Subang, JK mengatakan, “Kita harus swasembada dalam waktu dekat ini. Setahun atau dua tahun.’’ Produksi pertanian Indonesia sudah ditunjang dengan potensi yang mumpuni. Dari sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Untuk swasembada gula, kata JK, ada tiga hal yang harus dilakukan: perbaiki kebersihan pabriknya, tingkatkan rendamannya, dan perbaiki kualitas bibitnya. Dari rendaman yang dia harapkan mencapai 10%, yang  paling tinggi adalah di pabrik gula Gempolkrep, yakni 7,9%. Lainnya jauh di bawah itu. Rendaman 10% itu artinya dari tiap 100 kilogram tebu bisa dihasilkan 10 kilogram gula.

Tekad untuk swasembada sudah digaungkan Jokowi-JK sewaktu kampanye. Dalam debat pada 20 Juni, Jokowi mengatakan, Indonesia harus mencapai swasembada beras. Untuk itu, ia menargetkan membangun 20-25 bendungan selama ia menjadi presiden. Saat bertemu dengan para gubernur, target dinaikkan menjadi 49 bendungan. 

Membangun bendungan bukan hal mudah

Faktanya, menurut kabar yang beredar di BUMN konsultan sipil, pemerintah akan membangun 11 bendungan baru, pada tahun 2015 ini. “Harusnya akhir tahun ini saya tinggal bikin laporan proyek, kini malah harus mulai mengurusi rencana proyek baru,’’ kata si kolega, pemimpin cabang sebuah BUMN konsultan sipil.

Padahal, kata si konsultan ini, tenaga ahli bendungan yang bersertifikat di Indonesia hanya ada 160 orang. Ini hanya cukup untuk empat bendungan. “Ini salah satu yang memusingkan kami,’’ katanya. Ini cerita hasil kongkow-kongkow suami dengan teman-temannya yang berasal dari lingkungan teknik.

Membuat bendungan, lengkap dengan saluran irigasinya, bukan hal mudah. Air di bendungan harus bisa disalurkan melalui jaringan irigasi. Agar bisa mengalir, harus ada beda ketinggian antara bendungan dengan sawah yang akan diairi. Bendungan harus dibangun di tanah yang kokoh, dan di tempat yang tepat sehingga bisa menampung air secara optimal, dan gampang menyalurkannya.

Semuanya membutuhkan survei cermat mengenai kekuatan tanah, topografi, dan kepemilikan tanah. 

Urusan konstruksi biasanya jauh lebih mudah ketimbang masalah sosial. Waduk Jatigede, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang sudah direncanakan sejak zaman Belanda, hingga kini belum tuntas. Waduk untuk menampung air Sungai Cimanuk itu untuk irigasi dan pembangkit listrik. Tentangan masyarakat membuat pemerintah Orde Baru sempat membatalkannya. Baru pada 1990, rencana pembangunan Jatigede digalakkan kembali. Hingga akhir 2014 ini, belum tuntas.

Di Garut, pembangunan Bendungan Copong, yang sudah dicanangkan Presiden Megawati pada Juli 2004, hingga kini juga belum selesai. Padahal pemerintah sudah membebaskan 59,3 hektar lahan. Belum selesainya Bendungan Copong dituding sebagai biang kesulitan air yang menimpa 48 desa di 11 kecamatan di Garut utara.

Di Kedung Ombo, Boyolali, pembangunan waduk baru selesai setelah Presiden Soeharto meresmikannya pada 18 Mei 1991. Ketika air mulai dialirkan ke dalam waduk, masih 300an keluarga yang bertahan. Pak Harto setelah peresmian itu menggelar temu wicara. Setelah menjelaskan panjang-lebar ihwal pentingnya waduk itu, Soeharto melemparkan kecamannya kepada penduduk yang tak mau pindah dari lokasi waduk. Ia menyebut mereka mbeguguk ngutho waton. Ia mengimbau jangan sampai menjadi kelompok mbalelo.

Ucapan cukup keras bagi Presiden Soeharto. Setelah itu, pemindahan warga berjalan relatif mulus.

Dihadang segudang masalah

Di Cina, pemerintah bisa membebaskan lahan untuk membangun Waduk Tiga Ngarai, yang menampung air Sungai Yangtze, karena secara legal tanah adalah milik negara. Tetapi di Indonesia, persoalan menjadi lebih rumit.

Di luar masalah pembebasan tanah, secara teknis, pembangunan waduk dengan cara kilat dinilai sebagai hal luar biasa. Perencanaan membutuhkan data detail agar bendungan bisa berfungsi dengan baik. Mulai dari data topografi, curah hujan, perilaku sungai, dan persawahan yang akan diairi. Setelah itu, masuklah fase rumit: pemeliharaan.

Di masa lalu, banyak bendungan yang dibuat dengan susah payah itu kurang terawat. Sedimentasi dibiarkan. Saluran irigasinya banyak yang terbengkalai. Kalau Anda berjalan ke daerah-daerah pertanian, seperti Boyolali, Solo, Karawang, Nusa Tenggara Barat, Anda akan menyaksikan saluran irigasi yang terbengkalai. 

Menurut hitungan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dari 7 juta hektar sawah, sekitar 52% saluran irigasinya rusak. Dengan begini, bagaimana mau swasembada? Belum lagi adanya alih fungsi peruntukan, dari sawah ke permukiman, jalan, atau perkantoran. Rumah yang Anda tempati barangkali dulunya merupakan lahan pertanian yang subur.

Diperkirakan setiap tahun sekitar 1.400 hektar lahan pertanian beralih fungsi.

Petani tak bisa disalahkan atas terjadinya peristiwa memilukan itu. Menanam padi di atas lahan satu hektar, bila bibit dan irigasinya bagus, bisa mendapatkan 10 ton gabah per hektar, bisa menjadi sekitar 5 ton beras. Dirupiahkan, si petani mendapat duit sekitar Rp 75 juta. Bila sawah itu digunakan untuk membuat batu bata, atau menjadi perumahan, harga per kaplingnya akan sangat mahal.

Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada 1985. Keberhasilan itu dirayakan gede-gedean. Pak Harto datang langsung ke Roma, untuk berpidato di depan forum Organisasi Pangan Dunia (FAO), disiarkan langsung oleh TVRI, yang penontonnya ketika itu masih banyak yang televisinya hitam putih.

Namun, mempertahankan status swasembada sungguh sulit. Dibutuhkan kerja ekstra tinggi dan teliti, sehingga tidak akan banyak sawah yang begitu saja beralih fungsi. Indonesia praktis hanya mendapatkan status swasembada selama tiga tahun, hingga 1988. Setelah itu, jumlah impor berasnya terus meningkat.

Kini, status swasembada itu yang ingin direbut kembali oleh Jokowi-JK. Target tiga tahun ini membutuhkan kerja ekstra. Di lapangan, kegiatan untuk mewujudkan tekad itu tengah berlangsung dengan penuh gegap gempita. Sungguh, ini sebuah tekad mulia yang harus didukung, sepanjang ini bukan sekadar retorika. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!