‘Soal topi Santa, jangan parno’

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Artibut topi Santa jadi perdebatan, apakah perlu dilarang atau tidak. Apa kata Fahira Idris dan Ahmad Sahal, serta umat Kristiani tentang topi Santa terangkum di sini.

 

Seorang pris berpakaian sebagai Santa Klaus membagikan bunga ke seorang ibu dan bayinya di Surabaya, pada 22 Desember 2013. Foto oleh AFP

JAKARTA, Indonesia – Seorang perempuan berjilbab oranye menyodorkan menu ke meja Rappler Indonesia. Ia tampak rapi dengan make-up seadanya. Kemudian menyusul seorang pegawai laki-laki mengenakan topi merah Santa Klaus membawa piring, garpu, sendok, dan teh tawar hangat pesanan kami.

Dua bangku dari meja Rappler, berdiri tegak sebuah pohon cemara berwarna hijau dengan tinggi setelinga orang dewasa. Ditambah hiasan lampu putih dan terang yang mencolok. Natal telah tiba.

Rappler sempat berdialog dengan dua pegawai sebuah restoran di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, itu. Keduanya Muslim dan memakai atribut untuk menyambut Natal.

Sebut saja Putri, seorang pegawai perempuan berjilbab yang mengaku diminta atasannya untuk memakai topi Santa. “Saya sih nggak apa-apa. Cuma karena nggak terbiasa saja,” akunya. Ia tak mempersoalkan klausul haram atau halal.

Namun untuk menghargai, ia memakai topi Santa jika atasannya sedang berkunjung ke restoran.

Lain Putri, lain lagi Putra, juga bukan nama sebenarnya. Ia tidak memakai jilbab, tentu saja karena ia laki-laki. Tapi ia sebenarnya tak mau memakai topi Santa. “Santa itu menandakan kelahiran Isa. Tapi karena saya bekerja, ya mau bagaimana lagi,” katanya.

Seorang pengajar selancar di Bali memperagakan olahraga selancar kepada anak-anak di Pantai Kuta, Bali, pada 7 Desember 2014. Foto oleh EPA

Isu topi Santa menghangat di Twitter

Apa pun alasan mereka, keduanya tak sadar jika penampilan mereka sedang diobrolkan di media sosial, terutama Twitter. Tweeps saling lempar opini perihal isu perlu tidaknya pegawai restoran atau mal memakai topi Santa tersebut.

Pihak yang pertama kali mengangkat isu ini adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Fahira Fahmi Idris. Ia melempar 37 kuliah tweet (kultwit) tentang topi Santa lewat akun pribadinya @fahiraidris. Salah satunya menyebut pemilik restoran, mal, dan hotel, untuk tidak memaksakan pemakaian topi Santa pada karyawan yang berjilbab, apalagi memecatnya jika menolak perintah.

15. Tentang TOPI SANTA.. bagi sebagian orang mungkin itu hanya sekedar atribut jelang Natal.. Tapi tidak bagi muslimah ber #Jilbab

Dalam bincang-bincang via telepon dengan Rappler, Rabu (17/12), Fahira tak tampak ‘garang’ seperti dalam tweet-nya. Ia sabar meladeni satu-persatu pertanyaan kami.

Ia mengungkap pada Rappler, bahwa ia menerima 386 surat komplain tentang topi Santa dari seluruh Indonesia. Ia kemudian memutuskan untuk membawa kasus ini ke Kementerian Agama. Dan menyurati perusahaan-perusahaan yang dianggap memaksa karyawannya memakai topi Santa.

Fahira kemudian menyebut urgensi atau pentingnya kasus topi Santa ini diangkat. “Natal kan hanya sebuah perayaan. Memang topi Santa tidak identik dengan Kristen, tapi kan identik dengan perayaan Natal,” katanya.

Harusnya, menurut Fahira, perusahaan memberi opsi terbuka pada pegawai. Tapi yang terjadi, tudingnya, adalah pemaksaan terhadap karyawananya yang berjilbab untuk memakai topi Santa. Fahira kemudian menyebut salah satu perusahaan makanan siap saji yang terkenal dari Amerika.

Menurut Fahira, ini adalah bentuk intolerasi bagi masyarakat Muslim. “Kalau pemaksaan itu intervensi bukan toleransi,” katanya.

Meski dikritik banyak pihak di Twitter, Fahira mengaku ia tak risih sedikit pun. “Saya mengajak masyarakat Indonesia mengerti arti toleransi yang sebenarnya. Bukan tidak toleran, kan mereka punya hak,” katanya.

Sekelompok anak-anak bersiap berfoto dengan Santa Klaus di pusat perbelanjaan Grand Indonesia, Jakarta, pada 12 Desember 2013. Foto oleh EPA

‘Santa adalah produk kapitalisme, bukan Kristiani’

Penghuni twitland yang lain, Ahmad Sahal atau @sahal_AS, pengurus cabang Nahdatul Ulama (NU) istimewa di Amerika, berbeda pendapat dengan Fahira. Dalam setiap tweet-nya, ia mengungkap alasan-alasan mengapa ia tak setuju simbol topi Santa diangkat oleh Fahira.

Dalam korespondensinya dengan Rappler via e-mail, ia mengungkap alasan ketidaksetujuannya itu.

“Menurutku polemik topi Santa menunjukkan gejala ‘akidah-isasi’ hal-hal yang sesungguhnya tak masuk ranah akidah,” kata Sahal pada Rappler, Kamis (18/12).

Sahal menyebut, Santa Klaus adalah produk masyarakat Barat yang kemudian mengglobal karena kapitalisme. “Tidak ada kaitan yang niscaya dengan doktrin Kristiani,” katanya.

‘Akidah-isasi ini mencerminkan iman yang parno pada sebagian orang Islam. Selalu merasa terkepung dengan ancaman-ancaman dari luar, dan akhirnya melihat segala hal dengan tatapan curiga dan memusuhi’

–Ahmad Sahal

Sahal menilai, pihak yang mempermasalahkan topi Santa sesungguhnya dangkal melihat persoalan. Bahkan, katanya, jika diteliti, banyak sekali produk budaya yang lahir dari masyarakat Kristen, tapi kemudian menjadi pegangan umum, seperti kalendar Masehi.

 

“Akidah-isasi ini mencerminkan iman yang parno pada sebagian orang Islam. Selalu merasa terkepung dengan ancaman-ancaman dari luar, dan akhirnya melihat segala hal dengan tatapan curiga dan memusuhi,” kata warga Indonesia yang sedang menimba ilmu di Harvard Kennedy School, Amerika Serikat, ini.

 

Ia menegaskan, bukan berarti ia menganjurkan Muslim memakai Topi Santa. “Saya seumur hidup tak pernah pakai topi Santa, dan tak tertarik. Tapi kalau ada Muslim yang memakainya, ya jangan langsung dicap men-syiarkan Kekristenan. Pandangan sempit ini yang saya tolak,” tulisnya.  

Sahal juga menyebut, dalam konteks kapitalisme global seperti saat ini, atribut Santa tak lebih dari ornamen kapitalisme, yang dipakai untuk tujuan meraup konsumen.

Sahal mengakhiri komentarnya dengan dukungannya terhadap umat muslim untuk mengembangkan identitas-identitas agama dan kulturalnya sendiri. “Tapi dalam dunia yang terbuka dan kosmopolitan seperti sekarang, pengembangan identitas kolektif kaum muslim hendaknya tak diartikan sebagai sebuah sikap parno,” katanya lagi.

Petugas keamanan di sebuah hotel di Jakarta mengenakan pakaian Santa Klaus, pada 23 Desember 2005. Foto oleh EPA

Tak percaya Santa

Alih-alih ikut berdebat soal Topi Santa, dua sahabat Yolanda Armandya dan Ursula Florence justru mendeklarasikan bahwa mereka tak mempersoalkan soal Santa, karena Santa Klaus hanya tokoh fiksi dalam perayaan Natal. Keduanya memeluk agama Kristen dan Katolik, serta menetap di Jakarta.

Yolanda yang berasal dari Cilacap, menuturkan bahwa Santa memang hanya tokoh fiksi yang diceritakan orang tuanya. “Dulu, pas malam Natal, saya menaruh segelas susu dan sepatu, di bawah pohon natal,” katanya. Terus besoknya ia terperanjat, karena ada hadiah di pohon Natal dari ‘Santa Klaus’ yang belakangan ia ketahui adalah orang tuanya.

Begitu juga dengan Ursula, yang berdomisili di Jakarta ini juga menyebut Santa adalah bagian paling menghibur dalam perayaan Natal saat ia kecil. “Sampai gue sadar, enggak ada cerobong asap di rumah, lalu kenapa bisa ada Santa,” katanya. Ia pun berhenti berharap soal Kado dan meminta pada orang tua. “Dan gue sadar, Santa itu ternyata Bapak dan Ibu gue,” katanya.

 Usai menuturkan kisahnya masing-masing, keduanya memastikan bahwa Santa memang bukan identitas keagaman mereka. “No. Menurut Saya, Topi Santa itu atributnya Santa Kalus, dan Santa bukan simbol agama yang sebenarnya,” kata Yolanda.

Penuturan Yolanda ini senada dengan apa yang hendak diungkap penulis Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir-nya berjudul Santa,  Senin, 15 Desember 2014. Goenawan menyebut Santa sesungguhnya adalah Santo Nikolas dari abad ke-4 yang merupakan perwujudan kepercayaan orang Jerman sebelum Kristen, tentang Dewa Odin. Kepercayaan itu kemudian diejawantahkan oleh produk minuman Coca-Cola pada abad ke 19.

“Ia makhluk asing yang tak disebutkan Injil. Ia produk Eropa yang dirakit di Amerika,” tulisnya.

“Ia tampak seperti seorang penjaja yang membuka kantong dagangannya,” kata Goenawan mengutip sajak yang ditulis Clement Moore menjelang Natal 1822.

“Apa salahnya jenaka? Santa toh bagian kegembiraan dan barang dagangan yang tak perlu pikiran mendalam,” kata Goenawan. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!