Kekerasan terhadap jurnalis semakin parah di 2014

Handoko Nikodemus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tahun 2014 jadi saksi ancaman terhadap kebebasan pers yang muncul dari media sendiri. Musuh utama kebebasan pers adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group, TVOne, dan MetroTV.

 Karikatur yang diterbitkan Jakarta Post mengundang amarah dari kelompok Islam. Pemred Jakarta Post dinamakan tersangka atas UU Penistaan Agama.

JAKARTA, Indonesia — Tingkat kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sepanjang tahun 2014 menunjukkan peningkatan dibanding tahun sebelumnya, sebuah laporan akhir tahun dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan.

Laporan yang dirilis Selasa (23/12) tersebut mencatat setidaknya 40 kasus kekerasan terjadi di 2014.

“Dibanding tahun-tahun sebelumnya, saya kira tahun ini pelanggarannya isunya sangat serius. Bahkan bisa dikatakan ini memburuk karena pelanggaran yang terjadi sepanjang 2014 semuanya kelas berat dan sangat serius,” ujar Ketua Umum AJI Suwarjono saat peluncuran laporan di kantor AJI di Kwitang, Jakarta Pusat.

Walaupun jumlah kasus kekerasan yang terjadi di 2014 ini sama dengan di 2013, yaitu 40, namun AJI tetap menganggap terjadi peningkatan dari segi kualitas.

“Secara kualitas jauh lebih serius karena semua kekerasannya sangat luar biasa; ada pemukulan, pelecehan, teror, intimidasi, pengusiran, pelarangan, dan perusakan kantor. Kami akan terus mendesak kekerasan ini dihentikan,” ujar Suwarjono.

Jenis kekerasan pada jurnalis tahun 2014

Salah satu kasus kekerasan yang paling disorot adalah kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 13 November 2014.

Saat itu terjadi demonstrasi penolakan kenaikan BBM di Universitas Negeri Makassar. Sejumlah jurnalis yang melakukan peliputan penyerangan polisi pada mahasiswa justru membuat polisi marah dan mengalihkan serangan pada jurnalis.

Setidaknya ada 10 jurnalis yang mengalami luka akibat penganiayaan itu. Empat di antaranya melaporkan kasusnya pada polisi dan sampai saat ini masih berjuang untuk menuntaskan kasusnya.

Penyerangan polisi terhadap jurnalis masih marak

Selain itu, AJI mencatat setidaknya lima kasus kekerasan lain yang dilakukan polisi terhadap jurnalis, yang terjadi di Surabaya, Jayapura, Medan, dan Jakarta.

Seperti kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi sebelumnya terhadap jurnalis, menurut AJI, tidak ada penyelesaian hukum yang berarti.

Oleh karenanya, AJI mengkritik penanganan polisi terhadap pelaporan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media.

“Kita melihat beberapa kasus sebelumnya yang sempat membaik penanganannya, tahun ini kembali terjadi dan mendapat penanganan yang tidak seharusnya, contohnya penanganan kasus yang terkait dengan kekerasan, impunitas, dan laporan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media,” ungkap Suwarjono.

Ia memberikan contoh kasus penistaan agama atas penerbitan karikatur ISIS di harian Jakarta Post, di mana pemimpin redaksi koran tersebut, Meidyatama Suryodiningrat, telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Laporan masyarakat yang terkait perselisihan pemberitaan yang harusnya ditangani Dewan Pers, kali ini ditangani polisi dengan menggunakan UU Penistaan Agama dan KUHP,” ujar Suwarjono. 

“Kepolisian telah melanggar kesepakatan [antara kepolisian dengan Dewan Pers] bahwa kasus perselisihan pemberitaan media harusnya masuk ke ranah dewan pers.”

Padahal, Dewan Pers sudah “menghukum” Jakarta Post untuk meminta maaf dan melakukan koreksi, sebuah prosedur yang dituruti oleh harian berbahasa Inggris tersebut beberapa hari setelah penerbitan karikatur ISIS.

Melihat lalainya kepolisian dalam melindungi jurnalis dan kebebasan pers, maka AJI mendesak kepolisian untuk mengusut setiap pelaku kekerasan terhadap jurnalis ke ranah hukum, termasuk yang dilakukan oleh oknum kepolisian.

Selain polisi, pelaku lainnya adalah warga sipil, politisi, PNS, Satpol PP dan TNI. Terlihat ada tren kekerasan menjadi cara untuk menyelesaikan kasus pemberitaan media.

“AJI juga mendesak presiden Joko Widodo untuk menunjukkan komitmen menjaga kebebasan pers dengan memerintahkan polisi, dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk mengusut tuntas kasus-kasus pembunuhan terhadap jurnalis,” desak Sekretaris Jenderal AJI Arfi Bambani Amri. 

Diperburuk oleh Tahun Pemilu

Menurut AJI, ancaman terhadap kebebasan pers bukan hanya dengan cara kekerasan. Tahun 2014 ini juga jadi saksi ancaman terhadap kebebasan pers muncul dari penanggung jawab media itu sendiri. Tahun Pemilu membuat pemilik atau penanggung jawab media terlibat dalam pertarungan dalam pemilihan presiden.

Tahun 2014 ini, AJI memutuskan salah satu musuh utama kebebasan Pers adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group, TVOne, dan MetroTV. 

Menurut AJI, para penanggung jawab redaksi itu telah menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok. AJI menemukan, praktik oligopoli media massa membuat opini masyarakat juga dikontrol oleh sekelompok kecil pemilik atau penanggung jawab media. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!