Mengapa pilkada serentak harus diundur

Titi Anggraini, Didik Supriyanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa pilkada serentak harus diundur

EPA

Mengapa pilkada serentak setidaknya harus berlangsung bulan Juni 2016, dan pemilu legisaltif dan presiden serentak harus berlangsung pada bulan Juni 2019?

 

Pasal 201 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu No 1/2014) mengatur “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun 2015.” 

Berdasarkan ketentuan ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merencanakan pilkada serentak, yang meliputi 7 provinsi (Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara) serta 181 kabupaten/kota akan dilaksanakan pada Desember 2015.

Namun pelaksanaan pilkada serentak Desember 2015 itu penuh risiko. Waktu perencanaan dan persiapan pilkada serentak di 2015 terbilang pendek, kurang dari 1 tahun. Padahal praktek pemilu di manapun, idealnya perencanaan dan persiapan pemilu setidaknya 2 tahun. Apalagi pilkada serentak yang meliputi setidaknya 188 daerah ini merupakan pengalaman pertama. 

Perlu diingat, dibandingkan pemilu legislatif dan pemilu presiden, pilkada lebih sering menimbulkan kekerasan dan konflik horizontal. Oleh karena itu, jadwal pilkada serentak perlu diundur, setidaknya 6 bulan lagi, menjadi Juni 2016.

Siklus pemilu ideal

Alasan utama pilkada serentak diundur sampai Juni 2016 adalah demi menciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal. Jadwal pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada selama ini telah menimbulkan kesemrawutan politik. Dampaknya mengacaukan tatanan politik, merusak rasional pemilih, menciptakan konflik internal partai politik berkelanjutan, meninggikan biaya politik yang harus ditanggung partai politik dan calon, memboroskan dana negara, dan membebani penyelenggara. Oleh karena itu perlu diciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal, di mana jadwal pemilu lima tahunan bisa mengatasi masalah-masalah tersebut.

Dalam tiga pemilu terakhir, pemilu legislatif jatuh pada April, pemilu presiden putaran pertama pada Juli, dan pemilu presiden putaran kedua pada September. Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan, bahwa pemilu serentak legislatif dan presiden akan diselenggarakan pada 2019, sehingga pemilu legislatif dan pemilu presiden (putaran pertama) bisa digelar pada Juni 2019, dan jika terdapat pemilu presiden putaran kedua bisa digelar pada Agustus 2014. Jika pemilu legislatif dan presiden (putaran pertama) digelar pada Juni 2019, maka pilkada serentak seharusnya digelar pada Juni 2021.

Mengapa jarak  antara pemilu legislatif dan presiden serentak dengan pilkada serentak harus 2 tahun? 

Jawabnya: pertama, untuk mengurangi kejenuhan pemilih sehingga partisipasi bisa tinggi; kedua, untuk memberi waktu cukup bagi partai politik berkonsolidasi sehingga mampu mengajukan calon dengan baik; ketiga, untuk memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara pemilu dalam menata organisasi, merencanakan, dan mempersiapkan pemilu.

Karena jarak ideal antara pemilu legislatif dan presiden serentak dengan pilkada serentak adalah 2 tahun, maka untuk memulainya, pilkada serentak tahap pertama perlu diundur pada Juni 2016; selanjutnya, pilkada serentak tahap kedua dilaksanakan pada Juni 2017. 

Berdasarkan perencanaan ini diharapkan jadwal pilkada serentak nasional bisa tercapai pada Juni 2021, yang berarti dua tahun setelah pemilu legislatif dan presiden serentak 2019. Dengan jadwal ini, maka agenda politik lima tahunan menjadi jelas, sehingga sistem politik semakin tertata.

Alasan pendukung lainnya

Selain alasan utama mengapa jadwal pilkada serentak harus diundur ke Juni 2016, ada beberapa alasan lain. Alasan lain ini sifatnya memperjelas alasan utama.

Pertama, mengurangi kejenuhan pemilih dalam mengikuti pemilu. Jarak waktu yang pendek antara pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak, belum mampu menghilangkan kejenuhan pemilih dalam mengikuti pemilu. Selain kejenuhan, jarak waktu yang pendek, juga membuat pemilih kehilangan rasionalitasnya dalam memberikan suara. Diperlukan waktu setidaknya 2 tahun agar pemilih mengetahui pasti kinerja hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden, sehingga dalam pilkada mereka akan memberi ganjaran dan hukuman yang tepat pada partai politik dan calon. Memudahkan pemilih bersikap rasional dapat mempertahankan partisipasi pemilih dalam pemilu.

Kedua, memberi waktu yang cukup buat partai politik untuk konsolidasi. Pencalonan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden selalu menimbulkan konflik internal partai politik. Oleh karena itu, partai politik harus diberi waktu yang cukup untuk mengonsolidasikan diri, sehingga konflik internal partai politik tidak berkelanjutan. Sebaliknya, dengan waktu yang cukup untuk berkonsolidasi, partai politik bisa tenang membangun koalisi, sehingga akan tampil calon-calon terbaiknya dalam pilkada.

Ketiga, memberi waktu yang cukup buat penyelenggara pemilu untuk menata organisasi, merencanakan, dan mempersiapkan penyelenggaraan pilkada. Pilkada serentak yang melibatkan ratusan daerah adalah pengalaman pertama bagi KPU dan jajarannya. Pilkada selalu rawan konflik dan kekerasan, sehingga pengamanan harus betul-betul diperhitungkan.

Sebelumnya, banyak kepala daerah yang memainkan APBD untuk mengintervensi penyelenggara, sehingga menimbulkan kekacauan penyelenggaraan pilkada. Oleh karena itu, jika pilkada serentak Desember 2015 tetap bersumber pada APBD, maka kekacauan peyelenggaraan pilkada akan terulang, sehingga jalan terbaik adalah mengundurkan jadwal pilkada ke Juni 2016 agar bisa mengambil dana dari APBN.

Masalah lain yang dihadapi oleh KPU adalah harus menata organisasi dan melakukan rekrutmen kembali. Ini mengingat banyak anggota KPU daerah yang tersangkut kasus pelanggaran kode etik dan pidana.

Masih butuh persiapan

Akhirnya, mengapa pilkada serentak harus berlangsung bulan Juni 2016, dan pemilu legisaltif dan presiden serentak harus berlangsung pada bulan Juni 2019? 

Pertama, pemungutan suara pada awal Juni memberi ruang bagi penyelenggara pemilu untuk merencanakan dan mengelola dana APBN lebih leluasa. Kedua, KPU dan jajarannya tidak mengalami hambatan dalam pengadaan dan pendistribusian surat suara dan perlengkapannya, karena pada waktu itu kondisi cuaca relatif  baik: tidak sedang musim hujan di darat, juga tidak sedang musim angin di laut.

Perubahan iklim global menyebabkan batas-batas musim hujan dan kemarau, serta pergerakan angin dan gelombang laut, tidak begitu jelas. Namun demikian perbedaan waktu musim hujan dan musim kemarau, tetap menjadi patokan penting bagi terjaminnya pelaksanaan pemilu yang baik. Beberapa daerah yang menggelar pilkada pada saat musim hujan (Oktober-Maret) menghadapi lebih banyak masalah akibat turunnya hujan. Sementara itu tingginya gelombang laut jelas mempengaruhi pengiriman logisitik pemilu ke daerah-daerah kepulauan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Jika pemilihan presiden mengharuskan adanya putaran kedua, masih tersedia waktu. Awal Agustus 2019 sesuai jadi waktu pelaksanaan putaran dua. Alokasi ini, presiden terpilih masih memiliki waktu setidaknya dua bulan untuk mempersiapkan pembentukan pemerintahannya. —Rappler.com

Didik Supriyanto adalah Ketua Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Titi Anggraini adalah Direktur Eksekutif Perludem. Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Rumah Pemilu.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!