Ibu penjual roti: Bangkit dari kehancuran tsunami Aceh

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ibu penjual roti: Bangkit dari kehancuran tsunami Aceh
Kisah inspiratif seorang korban tsunami Aceh yang berhasil bangkit dari nol dan sekarang sudah menjadi pengusaha roti dengan omset Rp 25 juta per hari.

 

BANDA ACEH, Indonesia – Dinginnya udara pagi desa yang dikelilingi perbukitan tak menyurutkan semangat puluhan perempuan dan belasan pria memulai aktifitas hari dalam sebuah bangunan ukuran 600 meter persegi. Sejumlah gadis bernyanyi-nyanyi kecil. Ada juga yang bercanda satu sama lain.

Tapi tangan mereka terus bekerja. Ada yang sibuk mengaduk adonan dengan mesin, mengisi aneka rasa dalam roti, mengoles krim dan meises coklat, mengemas dalam plastik hingga menyusun rapi roti-roti siap saji dalam keranjang yang berjejer. Suara mesin kemasan dan mesin cetak roti seolah menambah semangat mereka menjalani rutinitas membuat roti.

Dalam ruangan 4 x 3 meter di sudut kanan depan bangunan, yang terletak di pinggir jalan Desa Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, 9,5 kilometer selatan pusat kota Banda Aceh, sepasang suami istri sibuk di depan laptop masing-masing. 

Nelly Nurila, 40, sedang mengecek pembayaran dari sales, yang timnya beranggotakan 20 orang. Sementara suaminya, Mukhlis Ismail, 43, meneliti pesanan roti untuk hari itu.

Ruangan yang dijadikan kantor pemilik Nusa Indah Bakery hanya ada dua meja kerja dan beberapa kursi tamu. Di dinding tergantung sebuah televisi ukuran 45 inch, yang menampilkan 16 gambar dari CCTV tentang aktifitas dalam pabrik pembuatan roti. Di antara dokumen izin usaha yang tertempel di dinding, terpampang sertifikat Dji Sam Soe Award 2007 – penghargaan atas semangat kewirausahaan di bidang Usaha Kecil Menengah (UKM).

Beberapa mobil pick-up dan minivan parkir di halaman, siap memuat keranjang demi keranjang berisi roti berbagai macam rasa. Selain rasa, di kemasannya juga terdapat harga sepotong roti Nusa Indah Rp 1.000. Rutinitas dan kesibukan itu terlihat setiap hari, kecuali Sabtu yang merupakan libur bagi semua 50 pekerja, termasuk 19 pria.

“Rata-rata sehari kami produksi 25.000 pieces roti rasa coklat, kacang hijau, srikaya, kelapa, strawberry, dan keju. Kami juga membuat roti manis dan roti tawar sebagai usaha sampingan,” tutur Nelly dalam suatu wawancara khusus dengan Rappler, Jumat, 14 November silam.

Nusa Indah Bakery dibangun melalui jalan panjang berliku. Meski berulang kali gagal ketika memulai pembuatan roti, Nelly terus berusaha dengan semangat tanpa kenal menyerah dengan tekad: “Kalau orang lain bisa, saya juga bisa.” Apalagi kepercayaan dan kejujuran dalam bekerja selalu ia pegang teguh bersama suaminya.

Nelly mengisahkan keinginan membuat roti berawal dari tontonan acara memasak di TVRI pada 2001. Lalu, ia mulai membuat roti. Tapi usahanya tak segera membuahkan hasil. Roti yang dibuatnya keras, sehingga kadang terpaksa dibuang. “Saat saya kasih ke orang untuk mencicipi, mereka bilang, ini roti apa batu,” kenangnya tersenyum.

Nelly tak putus asa. Ia terus berusaha, sambil membuat kue-kue basah untuk dijual di kedai kopi seputaran desanya, profesi yang telah digelutinya sejak tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1993. Dengan peralatan seadanya, akhirnya ia berhasil membuat roti yang dapat dijual pada 2003.

Seiring mulai banyak pesanan, ia mempekerjakan empat gadis desa untuk membuat roti. Mereka bekerja dari pagi hingga siang di bagian belakang rumah orangtuanya. Namanya “Roti Nusa.” Suaminya, Mukhlis berjualan keperluan rumah tangga di kios kecil pinggir jalan desa, profesi yang dijalaninya sejak remaja. Mereka menikah pada 1996.

Berada di titik nol

Warga Banda Aceh berjalan di antara reruntuhan akibat tsunami. Foto oleh AFP

Saat gempa kuat terjadi pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, Nelly sedang memasak nasi goreng di rumah. Suaminya dan dua anak mereka berada di kios. Seusai gempa, ia matikan kompor dan Nelly lari ke kios untuk melihat kedua anaknya.

“Kami cerita-cerita tentang gempa. Tiba-tiba ada bunyi letusan. Saya bilang, ‘Kok ada yang berperang [padahal] baru gempa.’ Rupanya saat itu, tsunami sudah mau naik. Saya kan nggak paham, kita nggak pernah tahu yang namanya tsunami,” ujar Nelly.

Saat bencana tsunami, Aceh dalam status darurat sipil setelah setahun sebelumnya, Pemerintah menetapkan Provinsi Aceh dalam status darurat militer untuk memberantas pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jakarta dan GAM menandatangani perjanjian perdamaian di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 untuk mengakhiri konflik bersenjata hampir 30 tahun yang diperkirakan menewaskan lebih dari 25.000 orang, umumnya warga sipil.

Sesaat kemudian, orang-orang dari arah utara mulai berlarian sambil berteriak, “Air laut naik.” 

Nelly segera menggendong putrinya, Nabila Ichwani berusia 6 tahun, yang sedang demam. Putranya, Ahmad Jibril, yang baru 19 bulan dibawa lari adik iparnya dengan sepeda motor. Mereka lari ke gunung yang berjarak 1 kilometer dari rumah. Sedangkan, Mukhlis berusaha lari, sambil menggendong neneknya. Dia lari bersama ibu kandungnya. Mereka lari di belakang Nelly. Sebelum mencapai gunung, mereka bertiga segera digulung tsunami. Mukhlis dan ibunya tersangkut di sebatang pohon. Sementara, kedua orangtua Nelly berhasil selamat di atap rumah tetangga berlantai dua.

“Nenek suami saya meninggal. Mayat pun tak dapat,” katanya seraya menambahkan bahwa jumlah korban tewas akibat tsunami dari keluarga dekatnya – seperti paman, bibi, keponakan dan sepupu – ialah 17 orang. Sedangkan anggota keluarga besarnya  yang menjadi korban tsunami mencapai puluhan orang.

“Saat kami mulai produksi roti kecil-kecilan dengan mesin rakitan, terjadi tsunami. Habis semua. Saya punya oven yang memang kecil hancur. Semua hancur diterjang tsunami. Yang tersisa hanya mixer, tapi tak bisa digunakan lagi.”

Menjelang sore Nelly bertemu dengan suami, putranya, dan kedua orangnya. Mereka mengungsi selama tiga bulan bersama warga lain di gedung sekolah atas bukit, tanpa mengerjakan apa-apa karena trauma. Apalagi Desa Nusa, yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari pantai, rusak parah. Mayat korban tsunami berserakan di mana-mana.

Di pengungsian, suami Nelly sempat berujar kepadanya, “Aceh dalam titik nol. Kita semua berada di titik nol. Kita tak bilang orang lain. Tinggal kita melangkah saja akan naik ke tangga berapa. Kalau kita cepat mulai, kita cepat naik ke tangga selanjutnya.”

”Aceh dalam titik nol. Kita semua berada di titik nol.Tinggal kita melangkah saja akan naik ke tangga berapa. Kalau kita cepat mulai, kita cepat naik ke tangga selanjutnya.”

Suatu hari, ketika sedang membersihkan rumahnya dari tumpukan sampah tsunami, Nelly bertekad akan memulai membuat kue basah yang dititipkan di kedai seputaran tempat pengungsian. Ia mau menjual mixer –satu-satunya barang tersisa. Uangnya untuk modal. Tetapi suaminya melarang.

“Suami saya ngomong, ‘Jangan, jangan dijual. Karena itu sisa yang punya kita. Mana tahu nanti ada yang mau bantu, kita tunjukkan bahwa kita punya usaha dan hancur’. Saya teringat sekali waktu itu. Lalu mixer itu saya simpan,” jelas Nelly yang berusaha menahan tangis. Matanya berkaca-kaca.

Mencoba bangkit

Pertengahan 2005, berbekal bantuan Rp 2,5 juta dari satu NGO internasional, Nelly berjualan nasi di kawasan Neuheun, lokasi pengabdian Pramuka, belasan kilometer dari rumahnya. Ia memilih tinggal di tenda pengungsian dekat Neuheun, sambil terus berjualan nasi dan sesekali pulang ke desanya.

Selama empat bulan berjualan nasi, Nelly merasa sudah cukup modal untuk memulai lagi pembuatan roti. Apalagi saat itu, ada bantuan satu mixer dari Bogasari setelah melihat mixer Nelly yang rusak akibat tsunami. Beberapa NGO internasional ketika itu juga memberi uang pada korban selamat, yang bekerja membersih rumah, lewat program cash for work. Nelly menjadikan uang itu sebagai modal usaha.

Empat gadis desanya yang ikut bekerja membuat roti saat sebelum tsunami kembali diajaknya. Mereka membangun sebuah gubuk di bagian belakang pertapakan rumah orangtuanya yang hancur, tempat pembuatan roti sebelum tsunami.

Seorang gadis Aceh mengangkat keranjang berisi roti aneka rasa di pabrik pembuatan Nusa Indah Bakery. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Julina, 29, satu-satunya dari empat gadis desa yang masih tetap bekerja pada Nelly, mengaku senang. “Saya sudah menganggap dia sebagai kakak saya sendiri. Dia juga baik dengan semua warga dan sering bercanda,” kata Julina yang bekerja di bagian pembuatan adonan produksi. Tiga gadis lain memilih berhenti setelah menikah.

Banyaknya pekerja dari berbagai belahan dunia yang datang membangun Aceh pada era rekonstruksi, membuat roti Nelly makin dikenal dan laku keras. Usahanya makin maju. Nama pun diganti menjadi Nusa Indah Bakery. Nelly dan Mukhlis bergantian mengikuti berbagai pelatihan, terutama pemasaran dan manajemen, yang dibuat oleh NGO internasional lainnya. Akhirnya, pada 2007, Nusa Indah Bakery meraih Dji Sam Soe Award.

Berbekal sertifikat penghargaan atas semangat kewirausahaan di bidang UKM itu, Nelly dan Mukhlis memberanikan diri datang ke Bank Syariah Mandiri untuk meminjam dana. “Saya bilang saya ingin meningkatkan produksi, saya butuh modal. Setelah dicek ke lokasi, orang bank mulai percaya,” kata Nelly, seraya menambahkan bahwa ia tak punya apa-apa untuk dijadikan jaminan.

Setelah memperoleh pinjaman bank, Nelly membeli sepetak tanah. Tahap pertama, ia membangun pabrik 400 meter persegi. Dua tahun kemudian, ditambah 200 meter persegi lagi. “Kami kan orang tak punya. Yang ada hanya tanah sepetak untuk rumah. Makanya kami perlu pinjaman bank untuk membeli sepetak tanah dan membangun pabrik ini,” kata Nelly.

Semua pinjaman bank telah lunas. Malah, untuk membeli peralatan mesin pembuat roti, Nelly dipercaya menyicil pembayarannya oleh perusahaan penyedia mesin. Nilai investasi untuk mesin – terdiri dari enam mesin kemasan dan dua mesin cetak— yang dimilikinya mencapai Rp 1 miliar lebih.

Omset pendapatan rata-rata dari pembuatan roti mencapai Rp 25 juta per hari. “Dulu  saat banyak pekerja ketika masa rekonstruksi Aceh, pernah pendapatan kami dalam sehari sampai Rp 50 juta,” kata Nelly. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!