‘Ingat, Jokowi warisi stabilitas ekonomi dari SBY’

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Ingat, Jokowi warisi stabilitas ekonomi dari SBY’

AFP

Rupiah melemah, tapi sejumlah indikator ekonomi 2014 menunjukkan angka yang jauh lebih menentramkan ketimbang situasi 1998. Pemerintahan Jokowi-JK mewarisi stabilitas ekonomi era SBY.

Kemarin, Selasa (23/12), Saya diundang mengisi acara pelatihan di lingkungan komunikasi korporat PT Astra International. Temanya Media Landscape 2015. Intinya, teman-teman yang bertanggungjawab dalam hubungan internal dan eksternal di perusahaan terbuka tersebut, ingin mengetahui bagaimana perkembangan industri media di tanah air, implikasinya terhadap pola komunikasi dengan dan melalui media, soal potensi komunikasi publik di era digital, penanganan krisis, dan lainnya.

Berhadapan dengan mereka, Saya mengenang masa-masa meliput Astra International, awal-pertengahan 1990-an. Mewawancarai pendiri konglomerasi ini, William Soeryadjaya, dan putranya Edward Soeryadjaya, serta Edwin Soeryadjaya.  Juga berkesempatan meliput perkembangan eksekutif profesional seperti Rini Mariani Soemarno dan sejumlah top eksekutif Astra. 

Kantor mereka dulu di Jalan Djuanda, kawasan seberang Istana Negara.  Jadi, Saya bernostalgia tentang pengalaman itu ke teman-teman di bagian komunikasi korporat Astra.

Menurut Saya,yang paling mengesankan justru saat meliput masa-masa paling sulit. Yakni ketika Bank Summa yang dimiliki keluarga Soeryadjaya, limbung karena over-ekspansi, terbelit kredit macet senilai Rp 1,4 triliun. 

Drama yang melanda keluarga taipan nomor dua terkaya atas kiprah bisnis Edward itu mungkin layak dijadikan serial film. Saya membayangkan proses di balik layar tidak kalah dibandingkan serial Dynasty, Saga di keluarga pebisnis minyak yang super kaya Blake Carrington yang pernah populer ditayangkan stasiun televisi ABC. 

 Liputan Saya saat itu untuk Majalah Warta Ekonomi. Belum ada versi siber. Buat pembaca yang ingin tahu, tautan tragedi likuidasi Bank Summa yang disalin di laman Tempo ini bisa jadi referensi. 

Bank Summa dan krisis ekonomi tahun 1998

Bank Summa akhirnya dilikuidasi pada 1992. Masalah yang ditimbulkan Edward Soeryadjaya yang ingin membalap sukses bisnis ayahnya, akhirnya harus diselesaikan oleh sang ayah dengan  pengorbanan luar biasa termasuk kepemilikan di Astra. (Sekarang, pamor Edward Soeryadjaya naik lagi. Dia dikenal sebagai pengusaha yang dekat dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.)

Bank Summa adalah potret dunia perbankan hasil deregulasi 1988. Kemudahan mendirikan bank. Saya ingat, sebagai jurnalis meliput perbankan, setiap malam saya bisa menghadiri minimal satu bahkan dua peresmian bank atau kantor bank. Dulu ada joke, kalau melempar kerikil ke udara, maka akan jatuh di atap sebuah kantor bank. Begitu ekspansif. 

Saya ingat, sebagai jurnalis meliput perbankan, setiap malam saya bisa menghadiri minimal satu bahkan dua peresmian bank atau kantor bank. Dulu ada joke, kalau melempar kerikil ke udara, maka akan jatuh di atap sebuah kantor bank. Begitu ekspansif.

Uni Lubis

Korban berjatuhan ketika Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter ketat, saat ekonomi memanas tahun 1992-1997. Belasan bank tumbang. Sebagian besar karena ulah sendiri juga.  Modal kurang, menyalurkan kredit ke perusahaan yang terkait dengan pemilik bank.  Pelanggaran legal lending limit. 

Krisis moneter 1997-1998 yang berujung pada lengsernya rezim Soeharto menjadi pelajaran pahit, sekaligus koreksi bagi perbankan dan ekonomi.

Sejak itu, kehati-hatian menjadi tema sentral pembinaan bank. Fundamental ekonomi diperkuat dengan berbagai regulasi. Sempat kecolongan sih, dengan kasus bail out Bank Century. Tapi, biarlah proses hukum sedang berlangsung. 

Tahun 2008, ketika krisis finansial melanda AS dan dampaknya ke Eropa dan seluruh dunia, Indonesia relatif aman dan masih tumbuh positif. Kita diganjar dengan undangan bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi anggota kelompok negara G20. 

Jadi, 10 tahun Pak SBY memerintah, di antara yang bisa dipujikan di luar segala kritik dan kegagalannya, adalah keberhasilannya menjaga stabilitas politik dan ekonomi.

Ekonomi Indonesia tahun ini vs 1998

 Ini buktinya, sebagaimana angka-angka yang dimuat di laman Wall Street Journal pekan lalu (18/12) dalam artikel berjudul The Rupiah and Indonesia’s Economy: 2014 Vs.1998. Tulisan ini disajikan berkaitan dengan anjlok-nya nilai Rupiah terhadap Dolar AS, yang terendah sejak krisis ekonomi dan moneter 1998. Begitu pun, data-data fundamental ekonomi pada 1998, tentu jauh berbeda dengan fundamental ekonomi saat ini.

Cadangan mata uang asing di Bank Indonesia, saat ini tercatat sekitar US$ 111 miliar, yang cukup untuk menjaga pembayaran enam bulan  impor dan pembayaran lain yang jatuh tempo.  Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan cadangan senilai US$ 17,4 miliar saat 1998, yang hanya cukup untuk tiga bulan pembayaran yang sama. 

Depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS yang saat ini tercatat sebesar 4 persen, jauh dibandingkan dengan depresiasi tahun 1998 yang mencapai 73 persen. 

Proporsi utang luar negeri terhadap produk domestik bruto saat ini tercatat 31 persen, atau separuh angka tahun 1998 yang tercatat 60 persen. 

KABINET KERJA. Presiden Joko Widodo ditemani oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menterinya saat mengumumkan susunan kabinet baru di Istana Negara, Jakarta, 26 Oktober 2014. EPA/ADI WEDA

Menurut Bank Indonesia, rasio di bawah 40 persen masih bisa menjamin keberlanjutan ekonomi. Rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia juga lebih baik dibanding dengan Turki, yang saat ini angkanya mencapai 53 persen, Afrika Selatan 42 persen, dan Rusia 34 persen.

Utang pemerintah, saat ini tercatat rasionya 25 persen terhadap PDB, jauh di bawah angka 100 persen pada tahun 1998. Defisit transaksi berjalan saat ini memang cukup mengkhawatirkan, yakni rasionya 3 persen terhadap PDB. 

Bagi Bank Indonesia, ini lampu kuning.  Antara tahun 1991, lalu 1997-1998 kondisi defisit transaksi berjalan Indonesia pada kondisi merah, yakni berkisar antara 1 sampai 7,5 persen.

Tapi, Bank Indonesia saat ini memiliki independensi lebih besar untuk memutuskan kebijakan, termasuk menaikkan suku bunga referensi. Beda dengan tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menolak pemberlakuan kebijakan moneter lebih ketat untuk menyembuhkan penyakit defisit transaksi berjalan. 

Sebagai ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia tumbuh dengan 5 persen di kuartal ketiga 2014,  lebih lambat dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan 6 persen dalam empat tahun terakhir.  Tahun 1998, ekonomi kita drop 13 persen. 

Angka inflasi tahun 2014 diperkirakan mencapai 8 persen, meningkat lebih cepat di angka 6,2 persen di bulan November.  Ini jauh lebih kecil dibandingkan angka inflasi 78 persen pada 1998.

Sebagai ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia tumbuh dengan 5 persen di kuartal ketiga 2014, lebih lambat dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan 6 persen dalam empat tahun terakhir. Tahun 1998, ekonomi kita drop 13 persen.

Bank Indonesia bulan lalu menaikkan suku bunga 7,75 persen untuk memerangi inflasi.  Enam belas tahun lalu suku bunga perbankan setinggi 60 persen, dan menyebabkan belasan bank tumbang, harus dilikuidasi karena tak sanggup menahan beban kredit macet. Ekonomi hancur.

Sebagaimana saya tulis di atas, pasca krisis moneter 1998, Bank Indonesia memperketat regulasi terkait kehati-hatian bank.  Angka kredit macet alias non performing loan saat ini tercatat 2,4 persen dari total kredit, jauh dibandingkan angka 1998 yang mencapai 30 persen.

Dari sisi politik, tahun 1998 adalah masa krisis, kekuasaan rezim Soeharto melemah sampai titik terendah, yang berujung pada berakhirnya rezim yang sudah berkuasa selama 32 tahun.  Saat ini, kita dalam dua bulan pertama era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, yang disambut penuh harapan, sebagaimana judul sampul majalah TIME yang memuat foto Jokowi dan kata-kata, A New Hope.  

Lepas dari huru-hara di parlemen, Jokowi-JK mendapatkan situasi fundamental yang jauh lebih baik dibandingkan masa presiden pasca Soeharto.  Dari Gus Dur, Megawati hingga SBY.

Jadi, usulan saya, daripada Jokowi, JK dan menteri-menterinya masih sibuk menimpakan kesalahan ke pemerintahan SBY (karena Jokowi tentu tidak berani secara terbuka  menyinggung pemerintahan Megawati) , terutama dalam soal ekonomi, lebih baik fokus pada implementasi solusi, terutama janji laksanakan Nawa Cita dan Revolusi Mental itu.  Dari angka-angka yang  saya kutipkan di atas, warisan era SBY tidak semuanya jelek.—Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!