50 tahun merayakan Natal dalam perbedaan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Keluarga besar ini dibangun atas dasar pernikahan beda agama. Adakah mereka pernah berseteru saat Natal atau Lebaran?

Keluarga Djama Thenu merayakan Natal bersama, meski tak semua beragama Kristen. Perayaan itu berlangsung rutin hingga 50 tahun.

JAKARTA, Indonesia – Bisakah sebuah keluarga dari pernikahan beda agama menjalin kerukunan hingga 50 tahun lamanya? “Bisa. Asal Kita jangan melihat perbedaan sebagai suatu masalah, tapi suatu yang indah,” kata Surya Jaya Djama, 53 tahun, saat ditemui Rappler di Bantargebang, Bekasi, Kamis dini hari, 25 Desember 2014.

Jaya adalah anak ketiga dari Jane Theresia Wilhelmina Djama Thenu, 80 tahun, warga Jakarta yang saat ini menetap di Nijmegen-Belanda. Dari kedelapan anak Jane, hanya Jaya yang menjadi pendeta, tepatnya sejak tahun 2009.

Untuk menjadi seorang pendeta di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Mawar Saron-Bekasi, bukan hal yang mudah bagi Jaya. Sebab ia memiliki istri, Nena Komala, yang seorang muslim.

“Asal Kita jangan melihat perbedaan sebagai suatu masalah, tapi suatu yang indah”

Surya Jaya Djama, 53 tahun

“Saat itu, saya akan menjadi pendeta, tapi tidak yakin lolos, karena keluarga saya beda agama. Tapi puji Tuhan, jemaat Mawar Saron meloloskan saya menjadi pendeta. Entah apa pertimbangannya,” katanya.

Hidup di lingkungan beda agama selama 29 tahun dengan Nena, bukan hal baru bagi Jaya. Ia juga lahir dari pernikahan beda agama. Yakni ibunya, Jane Thenu, yang berdarah Ambon, dan Syahrain Djama, berdarah Gorontalo.

Jane yang ditemui Rappler di Bekasi bersama Jaya menuturkan, bahwa ia memang tidak pernah melarang anak-anaknya untuk menikah beda agama. “Kalau anak saya senang, saya restui mereka,” katanya.

Merayakan Natal dan Lebaran bersama

Restu Jane bukan hanya sampai pelaminan, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Jane sejak Jaya berumur 3 tahun, itu berarti 50 tahun yang lalu, sudah menggelar perayaan hari raya bersama dalam perbedaan. “Lebaran Kami rayakan, Natal juga Kami rayakan, karena suami saya muslim,” kata Jane.

“Aku belajar yang namanya toleransi beragama, ternyata di luar Islam itu kayak begini. Ternyata semua agama mengajarkan yang baik. Cuma cara kita saja yang berbeda. Tuhan tetap satu.”

Amelia Gacy, 19 tahun

Berpuluh tahun perayaan hari besar agama Islam dan Kristen ini gelar bersama oleh keluarga Djama Thenu, belum pernah satu pun gagal. Dan juga belum ada satu pun keluarga yang ‘mangkir’ dari perayaan tersebut, meski seorang Kristen harus menghadiri perayaan Lebaran seorang muslim. Semua keluarga besar kompak berkumpul.

Perayaan pun dilakukan bergilir. Tahun ini misalnya, Jane meminta semua anak-anaknya untuk berkumpul dan merayakan malam natal di rumah anak pertamanya, Yoost Shafrin Djama di Bantar Gebang Bekasi.

Yoost, 57 tahun, yang memeluk agama Kristen, juga menikah beda agama dengan istrinya Nur yang seorang muslim. Namun, dari pengamatan Rappler tadi malam, Nur sama sekali tak risih ikut menyediakan makanan untuk keluarga besar Djama Thenu yang berjumlah hampir 50 orang tersebut. Nur pun ikut setia mendampingi suaminya berdoa, dengan duduk khidmat di sebelahnya.      

Berbagai hiasan natal juga terpampang di rumah Yoost dan Nur. Mulai dari baliho emas bertuliskan ‘Merry Christmas and Happy New Year’ hingga pohon Natal yang terbuat dari bahan daur ulang berwarn serba biru.

Uniknya, hampir semua anggota keluarga Djama yang memiliki keyakinan berbeda ini, kompak saat melakukan tukar kado Natal. Semua anggota keluarga berpartisipasi untuk mengumpulkan kado dengan nilai Rp 50.000 tersebut.

Arnold Emmanuel, 32 tahun, cucu kedua Jane, mengatakan acara tukar kado memang menjadi favorit semua anggota keluarga. Tapi ia melihat makna yang berbeda dari itu semua. “Ini adalah perwujudan berbagi kasih,” katanya. Cucu Jane lainnya, Cindy Carina Angelia, 28 tahun, juga mengatakan hal yang sama. “Togetherness.” kata dia.

Jane Thenu, 80 tahun, mengajarkan pada anak mereka untuk menghormati orang yang memeluk agama lain.

Anggota keluarga Muslim membaur merayakan Natal

Lalu bagaimana dengan anggota keluarga yang muslim, mengapa mereka tidak risih atau tidak mempersoalkan perbedaan? Nena mengatakan, sejak awal ia memang menyadari bahwa ada perbedaan di antara ia dan suaminya, Jaya.

Namun, ia mengaku tak keberatan jika harus mendampingi suami merayakan Natal bersama keluarga besar Djama. “Maknanya bagi saya, Natal, seperti juga lebaran, adalah hari keluarga. Semua ikut berkumpul dan semua ikut senang,” katanya.

Ia malah bersemangat, menyiapkan cemilan dan bertukar kado dengan anggota keluarga yang lain.

Selain Nena, Agnesia Educha, 24 tahun, yang juga merupakan seorang muslim, mengaku tak keberatan jika harus merayakan Natal bersama nenek dan paman-pamannya. “Aku sih enggak masalah. Ini momen untuk saling menghargai satu sama lain,” katanya.

Ia mengaku bahagia karena bisa bertukar kado bersama saudara-saudaranya. “Yang penting kebersamaannya, jadi no problem,” katanya.  

Begitu pun dengan generasi ketiga keluarga Djama, Amelia Gacy, 19 tahun, juga memeluk agam Islam. Ia mengaku menyukai atmosfir perayaan hari besar agama bersama keluarga besarnya.

“Kayaknya dapat berkat banget, suasana hati jadi sejuk. Kekeluargaan. Lebaran juga seperti ini,” katanya.

Amel yang saat ini sedang menimba ilmu di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini mengatakan, acara hari besar agama ini selalu membawa pesan tersendiri. “Aku belajar yang namanya toleransi beragama, ternyata di luar Islam itu kayak begini. Ternyata semua agama mengajarkan yang baik. Cuma cara kita saja yang berbeda. Tuhan tetap satu,” katanya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!