Politik harga BBM Jokowi dan tudingan konspirasi

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Harga minyak dunia jatuh. Presiden Rusia menuding AS memimpin konspirasi menjatuhkan ekonomi Iran dan Rusia lewat politik harga minyak. Ini bukan pertama kali.

 Menteri Perekonomian Sofyan Djalil memastikan akan menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum tahun 2014 berakhir, secepatnya bulan November ini. Foto oleh AFP

Mulai 1 Januari 2015 warga Indonesia menikmati sistem baru penentuan harga minyak. Premium dijual sesuai harga pasar, artinya tak ada lagi subsidi dari pemerintah. Sedang solar, yang banyak dipakai untuk angkutan umum, mendapat subsidi Rp 1.000 per liter. 

Nilai subsidinya yang tetap, sedang harganya bisa berubah-ubah. Setiap bulan Kementerian Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengumumkan patokan harga. Harga baru itu bisa dibaca di sini. 

Indonesia, yang kini secara neto menjadi negara pengimpor minyak, diuntungkan dengan harga minyak internasional yang rendah. Duit yang harus dibelanjakan untuk mengimpor minyak jadi berkurang. Bisa dibayangkan betapa mahalnya dana yang harus dibelanjakan untuk membeli minyak. Setiap hari Indonesia harus mengimpor sekitar 600.000 barel minyak. Angka minimal.  Bisa lebih.

Minyak yang diimpor ada yang sudah hasil olahan, namun ada pula yang berupa minyak mentah. Mungkin yang harus membuat kita malu, minyak olahan yang kita impor ini justru sebagian besar berasal dari negara tetangga yang sama sekali tak punya sumur minyak: Singapura. Sebagian kecil berasal dari Korea Selatan, negeri ‘’K-Pop’’ yang juga sama sekali tidak punya sumur minyak.

Melihat ini, saya teringat pada ucapan Presiden Joko “Jokowi” Widodo di depan para bupati, gubernur, menteri, dan para peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Hotel Bidakara, Jakarta, 18 Desember 2014 lalu. Dengan keras Jokowi mengingatkan agar para gubernur, bupati, dan walikota tidak berbangga terhadap banyaknya sumber daya alam yang mereka kuasai. 

“Intinya ada di Bapak/Ibu semuanya. Intinya adalah kebijakan publik yang benar dan tepat. Kalau ada kebijakan publik yang benar dan tepat maka majulah suatu kota, suatu provinsi, suatu negara,” kata Presiden Jokowi.

Singapura sudah membuktikan itu. Negeri pulau ini lebih muda dari Indonesia. Juga tak punya sumber daya alam, seperti halnya kita. Namun kini kita malah jadi pengimpor minyak dari Singapura.

Untuk saat ini, kita harus bersyukur, harga minyak turun. Saya kutipkan di sini berita di koran The Financial Post, Rabu 31 Desember 2014. Koran dari Toronto, Kanada, itu mengutip harga minyak jenis Brent, produksi Laut Utara. Harganya 57,90 dolar AS per barel. Padahal, Agustus lalu, harga minyak mentah Brent masih di atas 100 dolar AS per barel. Ini jenis yang banyak kita beli.

Minyak mentah West Texas Intermediate, Amerika Serikat, di penghujung Desember ini 54,12 dolar AS per barel. Meski harganya sudah lumayan naik, tetapi ini masih termasuk rendah dalam 5,5 tahun terakhir. Agustus lalu harganya masih di atas 100 dolar AS per barel.  

Harga yang rendah bisa bermakna positif, tapi juga sebaliknya. Bagi Indonesia, Cina, India, dan negara-negara pengimpor minyak lain, biaya beli BBM akan berkurang banyak. Namun karena Indonesia bukan semata-mata pembeli, melainkan juga produsen, harga minyak rendah ada sisi bahayanya juga. Hanya sumur di daratan, dengan biaya murah, yang masih mau berproduksi. Siapa mau berinvestasi di minyak kalau ternyata imbal belinya rendah? 

Artinya kalau harga rendah, rencana pemerintah untuk meningkatkan volume minyak dan gas dari ladangnya sendiri bakal kacau. 

Lebih dari itu, bagaimana nasib negara-negara pengekspor minyak? Kalau harga minyak tidak mencapai nilai ekonominya, produsen minyak lebih suka menyetop sumurnya, menunggu sampai harga naik kembali.

Kemarahan akibat rendahnya harga ini bisa dilihat di dua negara ini: Rusia dan Iran. Pada tahun 2013, sekitar 68% atau 356 miliar dolar AS, ekspor Rusia berasal dari minyak dan gas. Ekspornya ke Eropa, Amerika, Turki, dan sebagian kecil ke negara-negara lain. Rusia mendapatkan rezeki minyak dan gas dari tiga jalur, yaitu turunan produk minyak-gas: minyak mentah dan minyak olahan. 

Iran juga prihatin. Kantor berita ekonomi Bloomberg mengutip pernyataan Presiden Iran, Hassan Rouhani, yang mengatakan bahwa penerimaan negara akibat anjloknya harga minyak ikut anjlok, lumayan besar: 30%.  

Kepada parlemen, Rouhani mengatakan, “Kita harus berhadapan dengan kondisi baru, dan situasi ekonomi global yang berbeda.’’

Iran merupakan anggota OPEC, organisasi negara pengekspor minyak. Setiap hari, negeri di Teluk Persia itu memompa 2,78 juta barel minyak — sekitar 3,5 kali yang dihasilkan Indonesia. Akibat anjloknya penerimaan negara, Iran diperkirakan defisit, dan terpaksa menjadwal ulang berbagai rencana proyeknya.

Saya melihat situasi yang dihadapi Iran dan Rusia ini mirip dengan keadaan Indonesia di masa lalu, tatkala masih jadi pengekspor. Pada tahun 1977, Indonesia mencapai puncak produksi minyak, yakni 1,65 juta barel per hari. Penyumbang terbesar masih dari Caltex, dengan sumur-sumurnya di Duri dan Minas.

Ketika itu Indonesia masuk dalam jajaran 11 produsen minyak terbesar di dunia, dan bergabung menjadi anggota OPEC. Ini adalah organisasi negara pengekspor minyak, yang berdiri pada 1960 dan didirikan oleh lima negara pengekspor terbesar minyak: Iran, Irak, Saudi Arabia, Kuwait, dan Venezuela.

Di era Presiden Soeharto, produksi minyak (termasuk kondensat) mencapai sekitar 1,38 juta barel per hari. Indonesia masih bisa mengekspor 400.000-800.000 barel setiap hari. Di era inilah Petral punya peran penting, yakni untuk menjual minyak produksi Indonesia ke luar negeri.  

Ini ide awal pendirian Petral. Makakala Indonesia menjadi net importer, operasi Petral mulai dipertanyakan. Kini sedang dievaluasi.  

Saat saya telpon Rabu (31/12) sore, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, manajemen Petral akan dirombak total, tugasnya dikembalikan ke awal yakni menjual produk Pertamina termasuk turunannya, serta membeli stok kebutuhan Pertamina. Untuk impor minyak, Pertamina akan melakukannya melalui divisi integrated supply chain. Ini divisi yang pernah dipimpin Sudirman Said saat bekerja di Pertamina.

Saat Orde Baru, hasil penjualan minyak memegang peran besar di penerimaan negara, bahkan jauh lebih besar ketimbang pajak. Kontribusi minyak lebih dari 50% APBN. Kita dengan gampang memaklumi kondisi itu: penduduk Indonesia masih di kisaran 130-an juta, jumlah kendaraan bermesin belum sebanyak sekarang, dan masih banyak daerah kaya minyak yang belum dijelajahi. 

Maka, ketika itu Presiden Soeharto dengan gampang bisa memberikan subsidi terhadap setiap liter minyak yang dijual: minyak tanah, premium, dan solar. Ketika harga minyak dunia naik, gaji pegawai negeri, tentara, dan pensiunan ikut naik juga. Bahkan seingat saya, Presiden Soeharto pernah memberikan gaji ke-13.

Sebaliknya tatkala harga minyak turun, ekonomi lesu. Penerimaan pegawai negeri ditunda. Proyek-proyek dijadwalkan ulang. Profesor Dr. Saleh Afiff (almarhum), Dosen Fakultas Ekonomi UI yang pernah menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, membuat tulisan yang dimuat ulang di situs www.soeharto.co

Saleh Afiff menceritakan, pada 1983 Presiden Soeharto membuat langkah berani dengan menjadwal kembali proyek besar. Keputusan ini diambil karena anjloknya harga minyak bumi. Pada 1983, harga minyak bumi masih di atas 25 dolar AS per barel. Ketidakstabilan harga minyak mengakibatkan harga minyak sulit diprediksi untuk jangka panjang.

Bila harga minyak jatuh, bisa-bisa kemampuan negara untuk membayar hutang yang digunakan untuk membangun proyek besar itu terganggu. Keputusan itu oleh Saleh Afiff dinilai tepat, karena dalam tahun-tahun berikutnya harga minyak turun dengan cepat. Bahkan pada 1986 mencapai 10 dolar AS per barel.

Situasi di Rusia dan Iran dewasa ini jauh lebih berat ketimbang yang dihadapi Indonesia pada 1983. Rusia, terutama, sudah terbiasa membuat anggaran yang serba wah. Program persenjataannya saja luar biasa besar. Belum politik luar negerinya yang memakan biaya mahal. Invasi ke Crimea, bagian dari Ukraina yang kebanyakan penduduknya berbahasa Rusia, membutuhkan biaya mahal. Ongkos untuk membiayai program luar angkasa, juga butuh biaya tinggi.

Maka, Rusia dan Iran bersepakat: Harga minyak yang jatuh ini terjadi karena konspirasi. Ini kata Presiden Rusia Vladimir Putin: “Kita semua melihat harga minyak yang turun. Banyak yang bicara soal mengapa ini terjadi. Mungkin saja ini terjadi karena ada kongkalikong antara Amerika Serikat dan Saudi Arabia, untuk menghukum Iran. Tetapi Rusia ikut terkena. Venezuela juga kena. Sangat mungkin.’’

Kalimat lebih keras disampaikan oleh Presiden Iran Hassan Rouhani, “Harga minyak ini turun, penyebab utamanya adalah konspirasi politik oleh negara-negara tertentu yang tidak suka terhadap kemajuan dunia Islam dan kawasan ini. Iran dan umat Islam tak akan pernah melupakan hal ini.”

Tudingan adanya konspirasi di balik anjlo-nya harga minyak bukan hanya monopoli pihak-pihak yang secara politik bersebarangan dengan Amerika Serikat. Dalam artikelnya pada 9 November 2014, editor ekonomi koran terkemuka Inggris, The Guardian, Larry Elliot, berpendapat bahwa Amerika Serikat dan Saudi Arabia “bahu-membahu menurunkan harga minyak”. 

Ia menuding pada pertemuan Menteri Luar Negeri Amerika, John Kerry, dan Raja Saudi Arabia, Abdullah bin Abdil Aziz, September lalu, yang bersepakat untuk menggenjot produksi minyak untuk menghajar Iran dan Rusia.

Teori konspirasi yang membuat harga minyak terjun bebas, bukan kali ini saja muncul. Pada 1994 terbit buku Victory: The Reagan Administration’s Secret Strategy That Hastened The Collapse of The Soviet Union. Penulisnya, Peter Schweizer, menyelesaikan buku itu selagi ia menjadi mahasiswa tamu di  Universitas Stanford, AS. 

Buku itu kami dapatkan dari Profesor Dr. Subroto, sebagai oleh-oleh setelah ia pulang dari tugasnya sebagai sekretaris jenderal OPEC, pada 1995. Di buku itu Peter Schweizer menulis: “Amerika berkepentingan terhadap rendahnya harga minyak. Harga minyak yang rendah akan mudah membuat Uni Soviet rontok.” Insya Allah soal buku ini akan saya tulis di lain waktu.

Gerilya untuk merontokkan harga minyak mulai berlangsung pada 1983. Ketika itu Amerika dipimpin oleh Ronald Reagan. Harga minyak ketika itu memang anjlok, terus meluncur. Di Indonesia, seperti saya tulis di atas, membuat Presiden Soeharto menjadwal ulang proyek besar. Di Uni Soviet, dampaknya lebih besar lagi, yakni berujung pada pecahnya Uni Soviet.

Benarkah ada konspirasi? Tak mudah untuk membuktikan hal ini. Saya mengutip pepatah klasik untuk melukiskan ada tidaknya sebuah konspirasi. Ia mirip kentut: bau busuknya terasa, namun mencari tahu siapa yang kentut tak selalu mudah.

Tudingan adanya konspirasi terhadap turunnya harga minyak, kali ini keluar lagi, bahkan langsung dilontarkan oleh Putin, Presiden Venezuela Maduro, dan Hassan Rouhani. Bagi Indonesia, yang sudah menjadi pengimpor minyak, turunnya harga minyak disambut dengan suka cita. 

Dalam hitungan total, Indonesia diuntungkan. Dan rakyat pun memuji-muji Jokowi-JK, yang menurunkan harga premium dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600, serta solar dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.250 per liter.

Namun jangan lupa, harga komoditi, termasuk minyak, mirip jam bandul: Dengan cepat ia berayun dari kiri ke kanan, dari rendah ke tinggi. Artinya, harga minyak yang sekarang di kisaran 55 dolar AS per barel, bisa dengan cepat naik ke 100 dolar AS per barel.

Karena harga premium sudah tak lagi disubsidi, ya jangan kaget kalau harganya bakal melangit. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!