1001 cara selundupkan narkoba

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

BNN meringkus sembilan pengedar narkoba dan menyita 800 kilogram sabu. Beragam cara kelabui petugas. Hari ini, polisi juga menangkap musisi Fariz Rustam Munaf karena konsumsi narkoba.

NARKOBA. Badan Narkotika Nasional melakukan penggerebekan di Tangerang, terkait jaringan narkoba internasional dari Tiongkok ke Indonesia. 800 Kilogram Sabu berhasil diamankan. Foto oleh Henry M/Rappler           

Lebih dari dua tahun, tim Badan Narkotika Nasional (BNN), mengikuti jejak Wong Chi Ping. Warga negara Hongkong/Tiongkok berusia 40an tahun itu itu cukup lama tinggal di Indonesia, sekitar 15 tahun. Dia pernah menetap di sebuah kampung di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Di kampung itu banyak warga pendatang, termasuk dari Tiongkok. Mereka hidup berbaur. Karena terbiasa melihat warga asing menetap untuk beberapa waktu, masyarakat sekitar cuek.  Biasa saja. Tidak waspada. Begitu juga dengan pemerintah lokal dan aparat.           

Banyak kampung seperti itu di Indonesia. Suasana yang membuat nyaman buronan narkotika seperti Wong Chi Ping dan rekan-rekannya untuk menyaru. Di sana, tim BNN mengendus upaya menyewa kapal untuk menerima kiriman barang terlarang dari Hongkong. BNN memonitor seraya berkoordinasi dengan badan narkotika AS dan Tiongkok. Jaringan intelijen narkoba ditebar untuk memonitor mata rantai Wong Chi Ping dan kawan-kawan.            

Agak lama di Nunukan, Wong Chi Ping bergeser ke Batam. Di sana, dia juga menjalin kontak dengan pihak lokal untuk menyewa kapal. Sempat ke Surabaya juga. Upaya memasukkan narkoba dicoba beberapa kali, tapi batal, karena Wong Chi Ping merasa belum aman. BNN sempat mengendus rencana jaringan ini memasukkan heroin dalam jumlah besar.  Batal.            

Sampai akhirnya, Senin (5/1), Wong Chi Ping dan delapan kawanannya dibekuk tim BNN di halaman parkir Lotte Mart, Kalideres, Jakarta Barat. Petugas BNN menyita 800 kilogram narkoba jenis sabu-sabu. Di masa pasokan tinggi, harga per kg sekitar Rp 1,5 miliar. Di masa paceklik, harganya mencapai Rp 2 miliar per kg. 

Ini salah satu tangkapan paling besar di Asia Tenggara. Tersangka Wong Chi Ping diburu di tujuh negara, dan memang menjadi gembong besar di kawasan ini. Polisi dari Indonesia, Hongkong, Malaysia, Filipina, Tiongkok, Makau, dan Myanmar memburunya. Dia sangat licin.

Rappler Indonesia memberitakan prestasi BNN menangkap Wong Chi Ping, dalam tautan ini: (BACA: 800 kg sabu diselundupkan lewat Kepulauan Seribu)

Penangkapan Senin ini diawali dari pemantauan BNN saat kawanan Wong Chi Ping memindahkan muatan sabu-sabu dari kapal di Pantai Dadap, Tangerang, ke mobil box bernomor polisi B 9301 TCE. Bukan kali ini saja kawasan Dadap menjadi tempat kegiatan terkait narkoba. Tahun 2011, BNN menggerebek pabrik narkoba berskala besar di sana. Industri perumahan sabu-sabu itu terungkap dari pengembangan penyelidikan kasus sabu di rumah tahanan Salemba, Jakarta Timur.            

Sebelum mendarat di kawasan Pantai Dadap, sabu-sabu itu masuk dari Hongkong melalui perairan di Kepulauan Seribu. Banyak pulau-pulau terpencil memang luput dari pengawasan. Begitu juga pelabuhan ilegal. Kepala Hubungan Masyarakat BNN, Kombes Polisi Sumirat Dwiyanto, mengatakan, banyak pelabuhan ilegal di sepanjang 81.000 kilometer garis pantai Indonesia. “Itu pintu masuk bagi penyelundupan narkoba,” ujar Sumirat.            

Wong Chi Ping ditangkap saat memindahkan sabu-sabu seberat 800 kg dari mobil box ke mobil bak terbuka yang diisi tiga warga asing. Sabu-sabu itu dimasukkan ke dalam 40 karung. Setiap karung berisi 20 bungkus sabu-sabu, masing-masing beratnya 1 kg. Benda haram itu dikemas dalam bungkus kopi merek Tiongkok.            

Penyamaran narkoba dalam bungkus kopi, yang dimaksudkan untuk menyamarkan bentuk, isi, dan bau, tergolong sederhana. Ini dilakukan karena Wong Chi Ping yakin, masuk melalui pelabuhan Dadap tergolong aman. Tidak ada mesin pendeteksi dengan sinar x-ray sebagaimana di pelabuhan besar.            

Jadi, di sini informasi intelijen BNN berperan besar dalam pengungkapan kasus, juga laporan dari masyarakat.

Freddy Budiman, gembong narkoba kelas kakap

Masih ingat kasus penyelundupan 1,4 juta butir ekstasi pada Mei 2012? Saat itu BNN merilis bahwa butiran ekstasi dimasukkan dalam kemasan teh Tiongkok. Untuk mengelabui petugas, paket barang haram asal Negeri Tirai Bambu itu ditujukan ke Institusi Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Ekstasi yang dikirim melalui jalur laut ini berasal dari pelabuhan Lianyungan, Shenzhen, China dengan tujuan Jakarta.

Paket ekstasi ini berangkat dari Tiongkok pada tanggal 28 April dan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 8 Mei 2012. Pelaku adalah jaringan Belanda. Gembongnya adalah Freddy Budiman, yang saat ditangkap berusia 37 tahunan. 

Freddy dan kawan-kawan mengincar titik lemah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Pelabuhan terbesar di Indonesia itu setiap hari menerima 2.500an kontainer. Yang diperiksa melalui mesin x-ray hanya 15 persen. Sisanya lolos. Yang bermain meloloskan adalah oknum aparat, dalam kasus ini Sersan Mayor TNI Supriyadi. Pengadilan Militer menjatuhi hukuman pemecatan dan penjara tujuh tahun bagi Supriyadi.

Deputi Penindakan BNN Irjen Pol Benny Mamoto saat berkunjung ke ANTV tahun lalu menceritakan, gerak-gerik Freddy juga dimonitor via percakapan telepon seluler. 

Freddy Budiman, gembong jaringan Belanda, pemilik 1,4 juta butir ekstasi itu, divonis hukuman mati dan denda Rp 10 miliar. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung, September 2014.

Gilanya, saat menghuni Lembaga Permasyarakatan Cipinang, Freddy membangun pabrik dan pusat peredaran narkoba.  Bersama Haryanto Chandra dan Cecep Setiawan Wijaya, ia memproduksi sabu-sabu di sebuah kamar di Blok Pengamanan Khusus. 

Mereka dilindungi Wakil Kepala Pengamanan LP, Gunawan Wibisono. Polisi membongkar kasus ini dengan membekuk jaringan sindikatnya, dan menangkap Haryanto pada 1 Agustus 2013. Menyusuri balik asal-usul sabu-sabu itu, berujung ke Freddy Budiman dkk di LP Narkotika Cipinang. 

Nama Freddy Budiman juga muncul dalam kasus yang melibatkan Ketua DPC PDI-P Blora, Colbert Mangara Tua alias Hariman Siregar, pada Maret 2013. Politisi ini diringkus tim Direktorat IV Bareskrim Polri. Dia tertangkap tangan sebagai pemilik 400 ribu butir pil koplo ekstasi yang diselundupkan dari Belanda.

“Modus yang dilakukan dengan mengirim barang paket yang dimasukkan dalam kompresor. Satu kompresor berisi 100 ribu ekstasi. Jadi empat unit kompresor total berisi 400 ribu ekstasi,” kata Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Sutarman di Jakarta, pada bulan Maret 2013 lalu.            

Colbert divonis delapan tahun enam bulan penjara Informasi mengenai hal itu terbatas. Saya mendapatkannya di portal detik.com dan sebuah portal lokal Blora. Proses persidangan kasus ini seolah luput dari perhatian media. Ada informasi polisi keberatan atas vonis ringan terhadap Colbert.  Tapi, polisi akhirnya menerima juga.            

“Banyak perkara yang saat sampai di pengadilan tidak menyertakan dakwaan dengan UU Tindak Pencucian Uang (money laundering). “Padahal, BNN dalam penyelidikan selalu menyertakan pelanggaran UU ini agar hukuman maksimal,” kata Benny Mamoto, mantan Deputi Pemberantasan BNN.

Kecuali kasus yang begitu memikat perhatian seperti vonis Freddy Budiman, banyak kasus yang persidangannya luput dari perhatian media.

Lika-liku lihainya Freddy Budiman dapat dibaca di laporan viva.co.id berikut ini. 

Hukuman mati?

SABU DISITA. Tumpukan 800 kilogram sabu diselundupkan lewat Kepulauan Seribu. Foto oleh Henry M/Rappler

Benny Mamoto yang kini sudah pensiun dari BNN dan menjadi staf khusus Kepala BNN, malam ini menceritakan kerisauannya soal debat hukuman mati bagi terpidana narkoba. Dia, tentu saja mendukung sikap pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo yang hendak mengeksekusi terpidana mati dalam kasus narkoba.

“Lihat saja seperti kasus Freddy Budiman. Dia sudah divonis. Tapi melakukan lagi. Mengapa? Karena kerjasama dengan pihak pengamanan di LP. Bagaimana bisa berkomunikasi ke luar? Karena boleh menggunakan telepon seluler,” kata Benny. Setelah kasasi, terpidana memang berhak meminta grasi (pengampunan) kepada presiden. Sesudah itu Peninjauan Kembali (PK).

Dalam aturan LP, ada yang namanya Letter F, kata dia. Ini kategori pelanggaran berat, yang berakibat dicabut hak remisi dan pembebasan bersyarat. Antara lain, pelanggaran jika punya ponsel dan menggunakannya. Memiliki narkoba dan menggunakan atau mengedarkan, sampai memiliki senjata tajam digunakan untuk berkelahi.

Freddy Budiman mengajukan grasi, lantas PK.

Polemik eksekusi hukuman mati bagi terpidana narkoba seperti Freddy makin diperumit oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka keran Peninjauan Kembali (PK) bisa dilakukan berkali-kali. Akibatnya, gembong narkoba menggunakan putusan itu untuk menghindar dari peluru eksekutor.

Keran PK bisa dilakukan berkali-kali dibuka atas permintaan Antasari Azhar lewat putusan nomor 34/PUU-IX/2013 pada 6 Maret 2014. Putusan yang dibuat Akil Mochtar dkk itu didasari asal keadilan yang menjadi hak asasi manusia bahwa warga negara mempunya hak asasi untuk tidak dikekang kebebasannya atas apa yang tidak pernah dibuatnya.

“Upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan namun upaya pencapaian keadilan hukum tidaklah demikian, karena keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian hukum,” putus sebagaimana dikutip dari situs MK, Selasa (6/1).

Benny Mamoto mengatakan, upaya BNN menelisik sindikat BNN yang butuh waktu bertahun-tahun, sebelum berhasil membongkar sindikat besar, menunjukkan betapa orang-orang yang terlibat tak punya rasa takut kepada hukum. Juga tidak peduli dampak buruk narkoba bagi penggunanya. Mematikan. Pengguna narkoba di Indonesia saat ini sekitar 4,2 juta orang.

Ragam cara selundupkan narkoba

Hari ini, kita dikejutkan dengan berita penangkapan musisi senior Fariz Rustam Munaf karena mengonsumsi ganja. Saat ditangkap di berada di rumahnya. Ditemukannya juga sabu-sabu dan heroin. Ini bukan pertama kali bagi Fariz.  Pada tahun 2007, ia  pernah divonis penjara delapan bulan penjara dipotong masa tahanan, lantas menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Melia di Cibubur. Bahkan yang mengonsumsi pun sulit untuk jera. (BACA: Polisi: Fariz RM positif konsumsi ganja, sabu, heroin)

Benny Mamoto menceritakan cara-cara penyelundupan narkoba, selain cara kemasan kopi dan teh. Kalau memasukkan ke dalam kapsul lalu ditelan sudah biasa. Ada perempuan kurir yang memasukkannya ke alat kelamin. Yang menggunakan kaki palsu pun dijadikan kurir, narkoba dimasukkan ke dalam kaki palsu. Kacang mede palsu, dibuat serupa kacang mede dari bahan plastik, masukkan bubuk narkoba.  Campur dengan kacang mede asli, dikemas.  

Sampai-sampai kitab suci Al Qur’an pernah digunakan menyelundupkan narkoba. Dibolongi di bagian tengah. “Kami di BNN harus berpikir mendeteksi cara yang paling tidak mungkin secara logika akal sehat. Karena gembong narkoba ini memilih cara yang mereka pikir tidak biasa,” kata Benny.

Saya membaca cerita Stephan Bischof, yang 35 tahun menjadi pengawas di bandara Frankfurt. Bischof menceritakan kasus seorang wanita dari Brasil. Dia sudah melewati pemeriksaan imigrasi dan hampir melewati pemeriksaan barang. 

Tapi seorang kolega Bischof menjadi curiga melihat celana perempuan itu. Celananya kelihatan sangat kaku. Jadi pegawai bandara memeriksanya sekali lagi dengan sebuah alat khusus yang dinamakan drug-wipe dan digosokkan ke celana.

Hasilnya ternyata positif. “Jadi kokain dicairkan, lalu celana itu direndam di dalamnya”, kata Stephan Bischof. Celana jeans disenangi karena bahannya memang keras dan kaku. “Tapi kalau diraba, kita bisa merasa ada yang lain,” kata Bischof. Setelah diperiksa, celana itu memang mengandung kokain yang dipasar gelap bernilai sampai 400.000 euro.

Trik lainnya yang pernah terjadi di Jerman bisa dibaca di tautan ini. 

1001 macam cara untuk menyelundupkan narkoba, dan mereka tak pernah jera, justru makin menggila.

Sikap Jokowi mendukung eksekusi hukuman mati didukung oleh dua organisasi massa Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Mereka menyatakannya sesudah dikunjungi Jokowi pekan lalu. Di kalangan aktivis dan praktisi hukum masih ada debat. Yang kontra tentu saja beralasan bahwa hukuman mati melanggar hak untuk hidup, hak yang asasi. Ada kemungkinan hukuman itu salah dijatuhkan dan beberapa alasan lain.

Namun bagaimana untuk hukuman mati terpidana narkoba yang kambuhan seperti Freddy Budiman? Saya mengundang pendapat pembaca. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!