Kebijakan cabut tiket murah untuk siapa?

ATA, Firmansyah, Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kebijakan cabut tiket murah untuk siapa?
Menhub Jonan bersikukuh kebijakan kontroversial tersebut demi keselamatan penumpang. KPPU dan YLKI berpendapat sebaliknya, yang dirugikan adalah konsumen.

 

JAKARTA, Indonesia — Nasi sudah menjadi bubur. Tampaknya itu ungkapan yang paling pas setelah Menteri Perhubungan Ignatius Jonan menandatangani pemberlakuan aturan tarif batas bawah tiket kelas ekonomi pesawat terbang sebesar 40 persen dari batas tarif atas pada 30 Desember 2014 lalu, dua hari setelah pesawat AirAsia QZ8501 hilang 160 kilometer dari Tanjung Pandan, Kalimantan Tengah.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Muhammad Alwi, Kamis (8/1) siang. Ia bahkan mengatakan, proses penyusunan aturan sudah berlangsung sejak 25 hari sebelum penandatangan. Jauh sebelum pesawat milik maskapai merah itu hilang.

Kementrian berdalih, aturan itu dibuat karena biaya operasional maskapai semakin membengkak, lantaran terkena imbas situasi makro ekonomi nasional, bukan reaksi dadakan atas kasus hilangnya pesawat AirAsia jurusan Surabaya-Singapura.

Fuel consumption saja menyedot 32 persen dari biaya penerbangan, belum untuk yang lain-lainnya,” katanya.

Makin dikritik, Jonan makin ‘keras’

Menteri Jonan sendiri saat ditemui awak media di Istana Presiden hari ini, kembali menjelaskan alasannya memberlakukan peraturan baru itu. Ia menyebut, sebagian khalayak perlu tahu, bahwa kebijakan itu demi jaminan keselamatan penumpang.  

Jonan terlebih dahulu menegaskan bahwa tidak ada istilah low-cost carrier (LCC), tapi peraturan penetapan tarif batas bawah dan atas untuk penumpang kelas ekonomi. “Tidak ada, LCC itu kan bisnis. Itu komersial saja lah,” katanya.

Ia kemudian menjelaskan, alasan pemberlakuan tarif bawah 40 persen dari batas tarif atas karena ongkos perawatan pesawat yang terus membengkak, imbas rupiah melemah atas dolar Amerika.

Rupiah memang terus melemah beberapa bulan ini, dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.000 lebih. Pelemahan ini, kata Jonan, berlangsung lebih dari satu semester.

Kondisi ini membuat maskapai ketar-ketir. Pasalnya, biaya operasional pesawat memakai standar dolar Amerika dan euro. “Kalau tidak disesuaikan, pelayanannya akan jadi turun. Kalau pelayanannya turun mungkin tidak apa-apa. Kalau maintenance (perawatan) turun, nah terus apa?” katanya.

EPA file photo

Jonan juga mengungkit tentang fluktuasi harga bahan bakar minyak dunia yang tak pasti, dan berimbas pada harga BBM di dalam negeri.  

Mantan direktur utama PT Kereta Api Indonesia ini pun mengatakan, bahwa kebijakan yang diambil pemerintah sejatinya untuk membantu industri penerbangan. “Kami maunya industri penerbangan kita harus sehat, bukan harus murah,” katanya.

Jonan percaya, jika tiket pesawat terlalu murah, maka standardisasi perawatan dan operasional tak maksimal. Tugas Kementerian, katanya, memastikan agar regulasi mendukung pemenuhan kebutuhan perawatan dan operasional yang maksimal, untuk meminimalisir kecelakatan. “Tapi hanya Gusti Allah yang bisa jamin selamat,” katanya.  

Ramai-ramai menolak

Alih-alih didukung, keputusan Menteri Jonan menetapkan batas tarif bawah itu malah menuai protes. Dua lembaga yang paling vokal menentang adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Dalam penolakannya, KPPU dan YLKI saling membahu mengungkap alasan penolakan. KPPU yang mengawasi persaingan usaha beralasan, kebijakan Jonan akan merugikan konsumen. Dan YLKI yang peduli konsumen juga mengungkap, kebijakan Jonan menguntungkan maskapai tertentu.

“Yang dirugikan konsumen,” kata Kepala Hukum dan Humas KPPU Muhammad Reza.  

Reza menjabarkan, konsumen kelas tertentu yang biasa menikmati tarif LCC bakal sulit menjangkau harga tiket. Ia tak menyebut kelas menengah, tapi semua kelas masyarakat.

Humas KPPU ini juga mengatakan, Jonan salah kaprah. Harusnya bukan tarif yang dibatasi, tapi standardisasi perawatan pesawat yang diperketat. “Bukan dialihkan ke isu harga,” katanya.

Ia mengingatkan Jonan, bahwa kecelakaan pesawat tidak hanya dialami oleh maskapai LCC, tapi juga sekelas Garuda Indonesia. “Tidak ada hubungan antara LCC dan keselamatan,” katanya.

Reza juga membantah pernyataan Jonan, bahwa harga tiket pesawat murah mengurangi bujet perawatan. Menurutnya, yang dikurangi hanya bujet pelayanan, seperti makanan dan hiburan.

Sementara itu, Ketua YLKI Tulus Abadi justru lebih berani menuding Jonan. “Saya curiga ada kepentingan bisnis di balik pencabutan ini,” katanya pada Rappler Indonesia sore ini.  

Terlepas dari isu bahwa harga tiket tidak akan dijangkau kelas menengah, ia lebih tertarik bicara tentang siapa pihak yang diuntungkan atas kebijakan Menteri Jonan.

“Saya melihat, ini bertujuan untuk melindungi maskapai tertentu,” katanya. Yakni maskapai dengan tarif LCC alias paling efisien.

Menurut Tulus, maskapai efisien ini sudah menguasai pasar, kini, dengan diberlakukannya peraturan ini, perusahaan ini makin untung. Karena margin kentungan dari peraturan ini makin tinggi.

Ia bahkan meramalkan, bahwa ke depan, maskapai-maskapai yang ‘tidak efisien’ akan tumbang. Dan akhirnya, hanya maskapai ‘yang itu-itu’ saja yang akan ambil untung. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!