Menunggu reformasi kepolisian

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menunggu reformasi kepolisian

EPA

Gus Dur berkelakar. Hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Pak Hoegeng.

Bagaimana sebaiknya kita mengingat dan menerjemahkan sosok Polisi? Apakah ia pengayom dan pelindung masyarakat, atau ia adalah sosok yang ditakuti di perempatan lampu merah? Membicarakan polisi mau tidak mau saya mesti mengingat sebuah kejadian pada tahun 2008. Tepatnya sebuah insiden yang terjadi pada pergelaran Bandung Youth Park, Helarfest di Bandung. Beberapa anak muda ditangkap polisi karena sebuah kaos.

Ya kaos, memang ada apa dengan kaos itu?

Kaos yang bergambar seorang yang menyerupai aparat kepolisian memegang pentung besar. Bagian belakang kaos itu terdapat tulisan “MELINDUNGI DAN MELAYANI SIAPA?”

Kaos ini dilengkapi sebuah ilustrasi, konsepnya adalah representasi dari aparat yang korup dan sewenang-wenang. Insiden kaos itu lantas menyeret beberapa orang lain. Tercatat dua orang karyawan sebuah toko pakaian dan produsen kaos itu dijemput pihak kepolisian untuk dimintai keterangan di Polres Bandung Tengah.

Kaos itu dianggap menghina dan menciderai citra polisi. Pihak yang merasa demikian jelas boleh-boleh saja merasa terhina, tapi seperti yang saya tanyakan diawal tulisan. Bagaimana semestinya kita memandang citra polisi? Apakah ia sosok pelayan masyarakat yang semestinya tunduk pada masyarakat sipil atau yang lain? Saya pribadi selalu jengah dengan polisi, keberadaan mereka lebih sering membuat saya takut ketimbang merasa aman.

KontraS menyebutkan polisi adalah pihak yang paling sering melakukan tindak kekerasan di kalangan penegak hukum. Sepanjang 2014 saja ada 25 kasus yang berkaitan dengan penyiksaan yang terindikasi dilakukan oleh polisi.

Ketakutan saya kiranya beralasan. Pada peringatan Hari Anti Penyiksaan Sedunia 26 Juni 2014, Kontras merilis data tentang monitoring kinerja Kepolisian terkait hak-hak masyarakat sipil.KontraS menyebutkan polisi adalah pihak yang paling sering melakukan tindak kekerasan di kalangan penegak hukum. Sepanjang 2014 saja ada 25 kasus yang berkaitan dengan penyiksaan yang terindikasi dilakukan oleh polisi.

Angka ini meningkat dari laporan KontraS tahun 2012-2013 yang tercatat 17 laporan kasus. Menjadi lebih menakutkan, sekali lagi masih menurut KontraS, dari kasus itu, hanya 2 kasus yang ditindak dengan sanksi pidana dan 1 kasus ditindak dengan sanksi administratif. Pihak Kontras menduga meningkatnya angka penyiksaan ini dinilai akibat dari minimnya penghukuman terhadap para pelaku.

 Salah satu daerah yang paling sering mengalami kekerasan karena oknum aparat adalah Papua. KontraS menyampaikan jika ada 361 kasus penembakkan terjadi di Papua selama kurun waktu 2011-2013. Dari jumlah itu 279 kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Sisanya, sebanyak 20 kasus oleh TNI dan 63 kasus oleh orang tidak dikenal. Tentu tak adil menimpakan kesalahan sebagian anggota polisi kepada keseluruhan lembaga.

Calon tunggal Kapolri Budi Gunawan. Foto oleh Wikimedia

Gus Dur berkelakar. Hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Pak Hoegeng.

Lelucon ini merepresentasikan sebuah keadaan di mana tingkat kepercayaan polisi sangat rendah. Sosok mereka begitu jauh dan berjarak dengan masyarakat dan kerap kali malah menakutkan. Namun seiring berjalannya waktu toh Polisi berbenah, mereka sering dikritik secara terbuka di media dan bisa bersikap tenang. Tapi apakah Polisi hari ini sudah baik?

Gus Dur berkelakar. Hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Pak Hoegeng.

Belakangan nama Brigadir Polisi (Brigpol) Rudy Soik mulai banyak dikenal publik. Ia adalah sedikit dari polisi yang mendulang simpati publik karena bekerja dengan benar. Rudy Soik adalah anggotatim pengusut mafia perdagangan orang di NTT. Publik mengenal namanya lantaran melaporkan atasannya, Direktur Krimsus Polda NTT Kombes Mochammad Slamet ke Komisi Hak Asasi Manusia karena diduga terlibat dalam kasus trafficking atau perdagangan manusia.

Tentu apa yang dilakukan Rudy Soik terhadap kasus perdagangan manusia di NTT tidak bisa dibandingkan dengan karisma Briptu Norman. Bayangkan saat dahulu seluruh media fokus mengeksploitasi goyang caiya caiya Briptu Norman, perjuangan Rudy Soik hampir tidak ada gaungnya. Mungkin goyang ala india di negeri ini lebih penting daripada manusia-manusia merdeka yang dijual sebagai budak. Kini Rudy Soik terancam dipenjara karena dituduh melakukan tindak kekerasan pada warga sipil.

Budi Gunawan mestinya membuktikan bahwa dirinya bersih dan bukan sekedar titipan. Pekerjaan besar kepolisian republik Indonesia adalah mengembalikan kepercayaan publik bahwa institusi ini bersih.

Maka saat Jokowi akan memilih Kapolri baru, besar harapan agar reformasi birokrasi lebih baik. Reformasi ini tentu hanya bisa terjadi apabila Kapolri yang dipilih punya komitmen terhadap perbaikan kinerja dan mentalitas Polri. Maka ketika nama Budi Gunawan muncul, beberapa kalangan menganggap bahwa ia kurang layak dipilih.

Alasan yang paling banyak terlontar tentu saja karena ia dianggap tidak bersih. Beberapa menganggapnya bermasalah karena pernah termasuk dalam Jendral Polisi yang berekening gendut. Beberapa menganggapnya bermasalah karena menyangka ia perpanjangan tangan Megawati, yang pernah menjadikan Budi sebagai ajudan. Tapi bagaimana semestinya kita memandang Budi Gunawan sebagai calon kapolri dan Polri sebagai institusi?

Budi Gunawan mestinya membuktikan bahwa dirinya bersih dan bukan sekedar titipan. Pekerjaan besar kepolisian republik Indonesia adalah mengembalikan kepercayaan publik bahwa institusi ini bersih. Lebih dari itu Kepolisian Republik Indonesia semestinya kembali kepada jati dirinya sebagai pelayan masyarakat. Caranya sederhana, dengan tidak memukuli, menyiksa, atau membunuh rakyatnya sendiri.

Saya tidak sedang bercanda, melihat bagaimana polisi bekerja saat menghadapi demonstrasi sungguh sangat menakutkan. Sebisa mungkin saya tidak berhadapan dengan mereka. Apalagi setelah melihat bagaimana oknum polisi di Rembang menghadapi ibu-ibu yang menolak pabrik semen. Dalam rekaman yang ada, seorang petugas berseragam tampak memukul ibu-ibu penolak Pabrik semen Rembang. Jika pada ibu-ibu yang sudah sepuh saja mereka berani memukul, apalagi saya?

Sebisa mungkin saya tidak ingin berurusan dengan polisi, sosok mereka lebih sering membuat tidak nyaman daripada merasa aman.—Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!