Philippine arts

Kebahagiaan keluarga korban tsunami Aceh bertemu dua anak hilang

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kebahagiaan keluarga korban tsunami Aceh bertemu dua anak hilang
Tetapi nelayan yang menemukan gadis cilik itu mengaku bahwa anak itu bukan 'korban tsunami'.

PARINGGONAN, Indonesia – Gadis 14 tahun itu mengumbar senyum saat melangkah ke pintu rumah semi-permanen di desa yang dikelilingi pepohonan rimbun ini. Sebelum masuk, ia memberikan salam ke seisi rumah. Di pintu, dia duduk sebentar, membuka sepatu.

Siang itu, di suatu hari bulan Desember lalu, Raudhatul Jannah baru pulang sekolah, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah barunya di Desa Paringgonan, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara. Usai mencium tangan kedua orangtuanya, ia masuk kamar untuk mengganti pakaian sekolah: baju putih dipadu rok merah dan jilbab putih.

Raudha, panggilan gadis cilik itu, kemudian duduk dengan ayah dan ibunya – Septi Rangkuti, 52, dan Jamaliah, 42 — serta adiknya, Jumadil Rangkuti, 7, di ruang keluarga rumah berukuran 6 x 6 meter. Hanya ada dua kamar di rumah berdinding papan yang dibangun Septi, dua tahun lalu. Lalu, Raudha bercerita pengalaman di sekolah tentang sulitnya mata pelajaran, gurunya yang baik, dan teman-teman barunya.

Sekitar 15 menit berselang, pemuda berumur 17 tahun yang mengenakan baju putih dan celana panjang merah dengan tas ransel masih baru di bahu, bersua di pintu. Tanpa memberi salam, dia langsung masuk dan duduk di antara keluarga itu yang sedang tertawa lepas, mendengar lelucon Jumadil.

Pemuda yang seharusnya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu adalah Arif Pratama Rangkuti. Dengan logat agak gagap, dia bercerita sejumlah anak-anak di sekolahnya yang berkelahi. “Saya meleraikan mereka. Saya bilang pada mereka kalau berkelahi dosa,” ujarnya.

Septi dan Jamaliah hanya tersenyum mendengar cerita Arif. Lalu, Jamaliah menyuruh Arif mengganti baju sekolah. Arif coba berkilah, tapi tatapan mata Septi dan masih tersenyum membuatnya segera masuk ke kamar. Sejurus kemudian, Arif keluar dan kembali bergabung dengan orangtua dan kedua adiknya.

Mereka semua duduk di tikar yang digelar di lantai semen, tanpa keramik. Tidak ada kursi tamu di ruang keluarga. Sebuah televisi 20 inci terletak dekat dinding. Di sampingnya, berdiri kulkas semeter. Keluarga itu larut pembicaraan santai tentang sekolah Raudha dan Arif. 

Tiba-tiba putra sulung mereka, Zahry Rangkuti, 18, pulang. Ia ikut bergabung, duduk di lantai.

Jamaliah bangkit dari duduk, melangkah ke dapur, beralaskan tanah. Tanpa diminta, Raudha ikut ibunya. Ibu dan putrinya sibuk di dapur. Usai memasak, Jamaliah dan Raudha membawa nasi dan telur goreng ke ruang keluarga. Mereka santap siang. Menunya telur mata sapi dan sayur bening. Sesekali mereka tertawa, mendengar celoteh Arif dan Jumadil.

Keluarga Septi adalah korban tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam. Ketika air laut Samudera Hindia menerjang pesisir pantai Aceh, keluarga ini tinggal di Desa Panggong, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat. Kendati bekerja sebagai tukang instalasi listrik, Septi hidup bahagia bersama istri dan tiga anak hasil perkawinan mereka sejak 1994.

Ketika tsunami menghantam Meulaboh, ibukota Aceh Barat, keluarga Septi terpisah. Arif dan Raudha terlepas dari tangan Septi setelah meletakkan keduanya di papan hanyut. Setelah mencari selama dua bulan, pasangan suami istri itu bersama putra sulung mereka, Zahry, memutuskan pulang ke desa kelahiran Septi. Tahun 2007, Jamaliah melahirkan Jumadil.

Seperti telah diberitakan Agustus lalu, mereka menemukan kedua anaknya. Awalnya, mereka menemukan Raudha di Desa Pulo Kayu, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, akhir Juni silam. Setelah reunifikasi keluarga itu dan putrinya diberitakan media massa, mereka menemukan Arif yang hidup jadi anak jalanan di Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat, pertengahan Agustus lalu.

‘Bukan anak korban tsunami’

PULANG SEKOLAH – Arif Rangkuti dan Raudhatul Jannah berdiri di depan kios rumah mereka saat baru saja pulang sekolah. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Tapi, Mustamir, nelayan yang membawa Raudha dari Desa Ujung Sialit di Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, ke Pulo Kayu awal 2006 lalu, mengklaim kalau gadis cilik itu “bukan anak korban tsunami.”

Menurut dia, anak itu bernama Weniati. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia sebelum tsunami. Weni memiliki dua orang adik; laki-laki dan perempuan. Adik laki-laki Weni, kata Mustamir, sekarang menetap di Pulau Nias bersama paman mereka. Sedangkan adik perempuannya masih tinggal di Ujung Sialit bersama neneknya.

Alasan Mustamir membawa Weniati ke Pulo Kayu karena kasihan melihat tiga bocah yang dirawat neneknya. Apalagi, dia tak punya anak perempuan. “Antara saya dan ibu kandung ketiga anak itu masih punya hubungan keluarga. Ibu Weni dan ibu saya adik kakak,” katanya saat diwawancara Rappler Indonesia melalui telepon.

Ketika ditanya kenapa sampai sekarang tak ada upaya dari keluarganya untuk datang bertemu keluarga Septi dan mengambil kembali Weni, Mustamir berkilah. “Kami orang miskin. Kami tak punya uang untuk transportasi. Kami juga tidak punya uang untuk melaporkan ke polisi,” katanya.

“Dulu ibu mertua saya mengizinkan Weni dibawa hanya seminggu oleh keluarga itu, untuk keperluan tes DNA karena mereka bilang Weni itu anaknya. Tapi, tes DNA tak pernah mereka lakukan dan Weni tidak dikembalikan lagi kepada ibu mertua saya.”

Klaim Mustamir berbeda dengan pernyataan ibu mertuanya, Sarwani, yang merawat Weniati selama beberapa tahun sebelum keluarga Septi menjemput anak itu. Menurut perempuan 69 tahun itu, Weniati ialah anak korban tsunami yang dibawa menantunya karena putrinya, Sariwati, tidak memiliki anak perempuan.

“Nama Weniati saya yang memberikan karena waktu saya tanya siapa namanya, anak itu diam saja dan tidak menjawab. Saya memberikan nama Weniati ketika dia saya masukkan ke sekolah,” jelas Sarwani, yang mengaku senang akhirnya anak itu bisa kembali bersatu dengan kedua orang tuanya.

Informasi berbeda terkait kedua orang tua Weniati dikatakan Darman, adik kandung Mustamir. Menurut dia, ibu kandung Weniati masih hidup da telah menikah lagi setelah suaminya meninggal dunia. “Sekarang ibu Weni tinggal di Pulau Nias bersama suaminya. Mungkin dia dilarang suaminya untuk datang mengambil anaknya,” ujar Darman.

Tapi, klaim Mustamir dan Darman dibantah keras Rusmadi, bekas panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Susoh, yang tak lain adalah sepupu Sariwati. Rusmadi yang terlibat aktif selama proses penyerahan Weni kepada keluarga Septi mengaku, bahwa pada Mei 2013, Darman pernah menemuinya untuk “berterima kasih karena saya telah menyelamatkan dia saat ditangkap pasukan GAM tahun 2000.”

“Waktu itu, dia bertanya pada saya bagaimana kabarnya anak tsunami yang dibawa abang kandungnya ke Pulo Kayu. Darman juga bilang kalau Weni dan abangnya, dia yang selamatkan di laut saat tsunami dan kemudian membawanya ke Pulau Banyak,” jelas Rusmadi.

Saat pernyataan Rusmadi itu dikonfirmasi ke Darman, nelayan yang kini menetap di Pulau Nias, membantah. Dia mengaku tak pernah ditangkap pasukan GAM dan tidak pernah datang menjumpai Rusmadi, tahun 2013. “Sejak tiga tahun lalu, saya sudah tinggal di Nias,” katanya. 

Siap tes DNA

BAHAGIA – Keluarga Septi Rangkuti tertawa bahagia ketika santai di bangku halaman rumah mereka. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Meski ada klaim dari Mustamir bahwa Raudha bukan anak korban tsunami, Septi dan Jamaliah tetap menyayangi gadis cilik itu sepenuh hati. Mereka sangat yakin kalau anak yang sekarang selalu ceria itu adalah putri mereka yang terpisah saat tsunami meluluhlantakkan Meulaboh 10 tahun lalu.

Sebelum memutuskan pulang ke tanah kelahiran Septi, pada pertengahan November lalu, mereka lebih dulu melaporkan ke Markas Polisi Resort (Mapolres) Aceh Barat di Meulaboh. Dengan begitu bila ada persoalan di kemudian hari, mereka siap datang ke Meulaboh.

“Waktu pertama kali menemukan Raudha, kami juga melapor ke polisi. Buktinya ini surat dari kepolisian Aceh Barat. Begitu juga saat membawa Arif dari Payakumbuh, kami juga melapor ke polisi setempat,” tutur Jamaliah seraya memperlihatkan kedua lembar surat dari kepolisian.

Septi menambahkan, alasan mereka tak melakukan tes DNA saat membawa Raudha dari Sarwani karena tidak punya uang. Apalagi pihak kepolisian menyatakan tes DNA baru dapat dilakukan apabila ada komplain dari keluarga lain. Namun hingga mereka pulang ke Paringgonan, tidak ada satupun keluarga di Aceh yang mempersoalkannya.

“Sampai sekarang pun kami siap untuk tes DNA bila yang komplain seperti dikatakan polisi. Kalau tidak ada komplain, untuk apa tes DNA karena kami berdua sangat yakin Raudha adalah anak kami yang hilang waktu tsunami dulu,” ujar Septi.

Dia juga menyebutkan ketika proses perundingan yang melibatkan tokoh-tokoh Desa Pulo Kayu dan aparat Desa Panggong, semua pihak mengharapkan Mustamir datang ke Pulo Kayu sehingga duduk persoalan sebenarnya.

“Tetapi dia tak datang. Alasannya tidak ada uang. Lalu, seorang famili kami mengirim uang untuk ongkos transportasi. Namun yang datang hanya istrinya. Ketika ditanya oleh tokoh-tokoh desa, Sari tidak bisa menjawab secara jelas latar belakang Raudha,” katanya.

Septi curiga Mustamir tak berani datang karena mereka telah menemukan Arif, yang diyakini mengalami penyiksaan. Pada bagian kepala dan kakinya terdapat bekas luka.  Menurut Arif, luka di kepalanya karena “disiram air panas oleh mami.” Tapi, tak jelas siapa yang melakukannya. Ketika dikonfirmasi, Mustamir mengaku tak pernah kenal Arif.

Septi dan Jamaliah tak terlalu mempedulikan klaim Mustamir. Yang mereka pikirkan saat ini adalah memberikan kasih sayang kepada keempat anak mereka, terutama Raudha dan Arif yang membutuhkan perhatian lebih. Apalagi, Arif ditempatkan pada kelas 3 Sekolah Dasar (SD) dari yang seharusnya sudah di bangku SMA. Sedangkan, Raudha kini duduk di kelas 5 SD.

Setelah makan siang, Arif bergegas keluar rumah. Bersama beberapa kawan barunya di desa kelahiran ayahnya, dia hendak mencari durian jatuh di kebun seputaran desa. “Itulah Arif. Dari dulu tak pernah betah di rumah. Dia juga banyak kawan waktu kami tinggal di Meulaboh sebelum tsunami,” jelas Jamaliah.

Menjelang petang, Septi bersama Jamaliah dan ketiga anaknya pergi ke air terjun dari pegunungan di ujung desa. Setiba di air terjun, ternyata Arif sudah lebih dulu mandi. Tanpa menunggu lama, Zahry, Raudha, dan Jumadil segera turun ke kolam untuk mandi bersama Arif. Septi dan Jamaliah hanya memperhatikan keempat anak mereka, sambil tersenyum bahagia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!