Jokowi, belajarlah dari SBY soal kisruh KPK vs Polri

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jokowi, belajarlah dari SBY soal kisruh KPK vs Polri
Ketika besannya ditangkap KPK, SBY pun tak kuasa menolong. Menteri mundur saat jadi tersangka. Dalam kasus Cicak vs Buaya, SBY membentuk tim delapan untuk benahi polisi dan KPK.

Linimasa Twitter sepagian ini bergetar. Informasi penangkapan komisioner yang juga Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto saat mengantar anaknya ke sekolah, mengalahkan berita meninggalnya Raja Abdullah dari Arab Saudi.  

Awalnya, informasi yang beredar di media massa adalah Bambang Widjojanto ditangkap oleh seorang yang mengaku dari Badan Reserse dan Kriminalitas (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian. Jurnalis mengejar Johan Budi SP, Deputi Pencegahan KPK, yang mendapat informasi dari ajudan Bambang. Pemberitaan pertama media soal penangkapan BW, sebutan untuk Bambang Widjojanto, bisa dibaca di sini.

Johan Budi sempat mengecek ke Wakil Kepala Polri, Komjen Pol Badrodin Haiti, yang menjawab tidak benar ada penangkapan atas BW oleh Bareskrim. Tak lama kemudian ada pengakuan dan keterangan dari Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Ronny Sompie yang membenarkan penangkapan BW karena Bareskrim ingin lengkapi proses penyidikan dalam rangka berita acara pemeriksaan terkait kaus dugaan pernyataan palsu dalam sidang Mahkamah Konstitusi, kasus Pilkada 2010 di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mengapa baru ditangkap hari ini? Ini jawaban Kadivhumas Ronny Sompie, sebagaimana dimuat Rappler. 

Bareskrim menangkap Bambang atas laporan masyarakat tanggal 15 Januari 2015. Yang melaporkan ternyata adalah politisi PDI-P, Sugianto Sabran. Menurut Ronny, Sugianto melaporkan BW ke Bareskrim terkait kasus kesaksikan palsu pada sengketa Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010. Sugianto Sabran adalah anggota DPR RI Komisi III, yang membidangi hukum, dari daerah pemilihan Kalimantan Tengah.  

Secara timing, penangkapan BW menarik, karena dilakukan di tengah memanasnya situasi hubungan antara KPK dan Polri selama dua pekan terakhir. Pemicunya adalah keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tetap mencalonkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Saat komisi III DPR membahas pencalonan Budi Gunawan, KPK yang diwakili Ketua Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto mengumumkan status Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Kisahnya bisa diikuti di sini 

Di linimasa mulai ramai yang menyerukan #WhereAreYouJokowi, #SaveKPK, Johan Budi, dan Cicak vs Buaya. Yang terakhir merujuk ke penangkapan pimpinan KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad pada 29 Oktober 2009 oleh polisi. Chandra Hamzah dan Bibit Samad dituding bersalah dan dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan. Mereka diduga telah menyalahgunakan kewenangannya saat mencekal bos PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo dan mencabut cekal bos PT Era Giat Prima Joko Soegiarto Tjandra. Ini tautan beritanya 

Seorang pendemo bertanya, 'Presidenku Di Mana?' meminta reaksi Presiden Joko 'Jokowi' Widodo terkait kisruh KPK vs Polri. Foto oleh Gatta Dewabrata

Chandra dan Bibit sempat ditahan di Markas Komando Brimob di Kepala Dua, Depok. Di sini biasanya polisi menempatkan tahanan perkara korupsi dan kasus teroris. Salah satu yang sempat ditahan di sini adalah mantan Kapolri Roesdihardjo dan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan.  

Roesdihardjo didakwa korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas kasus pungutan liar biaya pengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia, saat dia menjabat duta besar. Beberapa hari lalu, Wakapolri Badrodin Haiti mengumpulkan mantan Kapolri terkait kisruh pencalonan Kapolri. Roesdihardjo hadir di pertemuan itu.

Aulia Pohan adalah besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Putri Aulia Pohan, Annisa, menikah dengan putra sulung SBY, Agus Harimurti. Aulia Pohan dan tiga anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia didakwa melakukan tindak pidana korupsi aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Korupsi ini menyebabkan kerugian negara senilai Rp 110 miliar. 

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Aulia 4,5 tahun penjara. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Aulia menjadi 4 tahun penjara. Hukuman ini disamaratakan dengan tiga Dewan Gubernur Bank Indonesia yang lain, Maman Soemantri, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjudin agar tidak terjadi disparitas putusan. 

Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) memangkas hukumannya menjadi tiga tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan penjara. Sidang perkara Aulia Pohan cs berlangsung sekitar Juni 2009, jelang Pemilihan Presiden. SBY terpilih kembali dengan suara lebih dari 60 persen.

Saat Aulia Pohan ditahan di Markas Brimob, Kelapa Dua, saya beberapa kali bertemu dan berbincang dengannya. Sebetulnya tujuan saya adalah membujuk Muchdi PR, mantan Komandan Jenderal Kopassus yang ditahan di sana atas kasus menyuruh Policarpus membunuh aktivis kemanusiaan Munir, untuk wawancara. Upaya membujuk Muchdi berjalan alot, sehingga saya harus datang beberapa kali. Saat proses kasasi di Mahkamah Agung, Muchdi PR dinyatakan bebas. MA menolak kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.

Setiap kali ke rutan Brimob, saya ngobrol juga dengan sejumlah tahanan di sana, termasuk Aulia Pohan. Terasa kekecewaan besar dalam diri Aulia saat itu. Apalagi, sebagai besan presiden, dia merasa tak dapat perlakukan khusus. Awalnya.

Dalam buku Selalu Ada Pilihan, di halaman 286-287, SBY menuliskan soal kasus yang menimpa sang besan. Konteksnya adalah saat dia diminta untuk turun tangan jika ada nama menteri atau pejabat yang diperiksa bahkan ditahan oleh KPK.  

“Rakyat Indonesia masih ingat ketika besan saya, Pak Aulia Pohan, juga diperiksa dan ditahan oleh KPK. Sebenarnya besan saya itu tidak melakukan korupsi atas dirinya, misalnya mengambil uang untuk memperkaya diri sendiri. Yang bersangkutan diadili terkait dengan kebijakan  kolektif yang diambil oleh jajaran Bank Indonesia waktu itu. Meskipun anak dan menantu saya sedih dan tertekan, tentu saya harus menghormati proses hukum itu,” tulis SBY.

SBY juga menuliskan kerisauan atas pemberitaan media yang dianggap berlebihan karena kasusnya menyangkut besan presiden. “Saya menghormati hukum. Tidak mungkin saya intervensi, saya sungguh berharap para penegak hukum menegakkan hukum seadil-adilnya,” kata SBY.

Dalam bab berjudul Diminta Menolong Kawan dan Bawahan Yang Tidak Mungkin, SBY menceritakan kisah saat salah seorang menteri dan bawahan terdekatnya, Andi Mallarangeng, diperiksa dan ditahan KPK. Awalnya, media memberitakan informasi dari Bambang Widjojanto bahwa Menteri Olahraga dan Pemuda Andi Mallarangeng dicekal dan dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. SBY mendapatan informasi dari istrinya, Bu Ani Yudhoyono yang menerima pesan pendek. Juga dari Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

SBY mengaku terkejut. Mengapa?

Mantan Menpora Andi Mallarangeng saat hendak menuju kantor KPK pada 11 Januari 2013. Foto oleh EPA

“Pertama, berita yang saya terima sebelumnya tidak ada arah keterlibatan Andi Mallarangeng dalam kasus penyimpangan proyek Hambalang yang sedang ditangani KPK itu. Berita seperti ini bahkan datang dari pihak-pihak yang amat kompeten. Kedua, karena menyangkut menteri biasanya pimpinan KPK memberitahu presiden. Ingat, memberitahu, bukan meminta izin, karena KPK tidak perlu meminta izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara. KPK-KPK periode yang lalu lazimnya memberitahu saya, sehingga saya tidak mendengar atau tahunya dari media massa.” 

Menurut SBY, Andi Mallarangeng besar jasanya bagi masa kepresidenan. Andi Mallarangeng adalah juru bicara SBY di periode pertama. Di mana ada SBY, di situ ada Andi. Bu Ani pun sayang ke Andi Mallarangeng. Saya menyaksikan bagaimana dipercayainya Andi oleh pasangan ini. 

Bahkan, Anda tentu masih ingat ketika saat kampanye Pilpres 2009, Andi Mallarangeng mengambil risiko dihujat publik ketika mengatakan, “Orang Bugis belum pantas jadi presiden.” Andi Mallarangeng tengah “menyerang” kandidat presiden Jusuf Kalla. Banyak yang marah, tapi begitu setianya Andi Mallarangeng.

Karena itu, belum selesai rasa terkejut SBY, keesokan harinya dia harus menerima pengunduran diri Andi Mallarangeng dari kabinet, dengan alasan, “agar dia tidak menjadi beban presiden. Dia juga tidak ingin kinerja Kemenpora terganggu akibat proses hukum yang dijalaninya.”  

SBY menyinggung gaduhnya proses hukum yang terkait tokoh politik. “Para penegak hukum itu, utamanya para anggota majelis hakim, sering disebut sebagai the silent corps. Artinya tidak obral bicara ke sana ke sini. Yang dibutuhkan adalah kearifan (wisdom), ketegasan, dan keadilannya. Mereka sadar betapa keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan kepada banyak pihak,” kata SBY. Termasuk ke Tuhan Yang Maha Esa.

”Para penegak hukum itu sering disebut sebagai the silent corps. Artinya tidak obral bicara ke sana ke sini. Yang dibutuhkan adalah kearifan, ketegasan, dan keadilannya”

Menteri SBY mundur dari jabatannya saat dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Tentu saja mereka tidak merasa bersalah. Tapi di era SBY, setidaknya pejabat di bawahnya yang ada dalam kendali Presiden tunduk pada hukum dan kepatutan saat menjadi tersangka. 

Ini tidak terjadi di era Presiden Jokowi. Komjen Budi Gunawan sampai hari ini masih aktif di posisinya. Boro-boro mundur agar tidak membebani Presiden, kasus menyangkut dirinya malah mengundang huru-hara dalam penegakan politik dan dunia hukum. Apalagi, para politisi di Senayan kali ini kompak mendukung pencalonan Budi Gunawan. Hampir semua partai politik besar, pernah mengalami kadernya, bahkan pimpinannya menjadi korban jaring pemberantasan korupsi KPK. Tidak ada kawan bagi KPK di kalangan wakil rakyat.

Atau, masih adakah? Sampai tulisan ini dibuat saya belum melihat tanda-tanda sikap politisi Senayan mendukung KPK dalam kasus pemberantasan korupsi terkait Budi Gunawan. Pimpinan parpol setali tiga uang.

Bambang Widjodjanto disangka memberikan keterangan palsu dan menghasut orang untuk memberikan keterangan palsu. Penangkapannya dengan diborgol di depan anaknya menunjukkan rasa “kesal dan ingin membalas” dari pihak polisi terhadap Wakil Ketua KPK, sosok yang tidak akan mungkin melarikan diri, seperti teroris atau bandar narkoba, atau maling kambing.  

Bahkan mantan Wakapolri Oegroseno mengkritisi cara polisi menangkap Bambang Widjojanto. Dalam berita di laman Republika, Oegroseno menyesalkan tindakan institusi yang kini dipimpin juniornya, Kabareskrim Budi Waseso. Ini kritik Oegroseno. 

Nuansa balas-membalas itu juga terjadi saat kemarin (22/1), Hasto Kristiyanto, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDI-P, parpol yang diketuai Megawati Soekarnoputri dan paling getol mencalonkan Budi Gunawan, menggelar konferensi pers dan mengajak media napak tilas ke lokasi yang kata Hasto menjadi lokasi pertemuan ketua Abraham Samad dengan petinggi PDI-P terkait dengan minat Samad menjadi cawapres Jokowi di Pilpres 2014. Ini beritanya 

Cicak vs Buaya di era SBY 

Dalam kasus penangkapan Chandra Hamzah dan Bibit Samad, pada 2 November 2009, SBY membentuk Tim Delapan (Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. 

Anggota  tim delapan adalah: mantan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat, dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir Syamsudin.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo saat mengajak Jokowi tur keliling Istana Negara sebelum pelantikan, pada 19 Oktober 2014. Foto oleh Darren Whiteside/AFP

SBY saat itu mendapatkan tekanan keras dari publik. Sampai akhirnya dia menggelar pertemuan dengan pemimpin redaksi dan wartawan senior di Istana Negara, Minggu malam, 22 November 2009. SBY didampingi tiga menteri koordinator, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Tentu saja hadir para staf khusus dan juru bicara. Temanya soal hiruk-pikuk Cicak vs Buaya, kisruh Polisi vs KPK. Juga soal skandal dana talangan untuk Bank Century yang membengkak jadi Rp 6,7 triliun.

Pertemuan itu terbuka dan saya lihat ada televisi yang siaran langsung. Semangat media saat itu mendukung KPK. Beberapa senior mendapat kesempatan berbicara. Yang saya ingat antara lain Pak Rosihan Anwar dan Pak Ishadi SK. Pak Jakob Oetama hadir juga, dan menyampaikan pemikiran singkat di akhir tanya jawab, sebelum SBY menjawab. Pak Rosihan bicara soal kecenderungan pemerintah menggunakan legal formal, padahal sejarah kita, sejarah politik, tidak seperti itu. 

Saya menggunakan kesempatan menyampaikan pendapat. Agak emosional. Saya menggunakan kalimat, “Dua pekan ini, Indonesia seperti tidak punya pemimpin. Tidak punya leader. Ada penangkapan pimpinan KPK oleh polisi, yang notabene aparatnya presiden. Publik bertanya-tanya. Presiden tidak berbuat apa pun. Baru malam ini bicara.”  

Itu pendapat yang paling keras, menurut saya dari sisi pilihan kalimat. Mudah ditebak, wajah SBY memerah. Suasana tegang. Menteri-menteri menggenggam catatan lebih erat. Lalu, saya memecahkan kebisuan dengan berkata, “Aduh, jangan tegang begitu dong, Pak. Ini kan kita katanya boleh bicara apa adanya. Ini menteri-menteri Bapak jadi tegang nih, pemrednya juga tegang.” Pecah senyum di wajah SBY. Suasana cair kembali.

”Dua pekan ini, Indonesia seperti tidak punya pemimpin. Ada penangkapan pimpinan KPK oleh polisi. Publik bertanya-tanya. Presiden tidak berbuat apa pun.”

Singkat kata, SBY mengatakan dirinya mendengar semua masukan. Dia, lagi-lagi mengulangi, tak mungkin intervensi. Tapi, apa yang dikatakan Pak Rosihan, bahwa pemimpin dengan kekuasaan eksekutif seperti presiden bisa memecah paham sempit legal formal itu, terjadi.  Setahu saya, kasus Bibit-Chandra kemudian tidak dilanjutkan meskipun sudah dinyatakan lengkap dalam penyidikan, atau P21. Jaksa Agung Basrief Arief menerbitkan surat mengesampingkan perkara atau deponeering.   

Bibit Samad pensiun dan mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat sesudah tidak lagi di KPK. Chandra Hamzah belum lama ini diangkat menjadi komisaris utama Perusahaan Listrik Negara oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.

Polisi boleh saja menganggap penangkapan Bambang Widjojanto sah. Publik juga berhak bertanyakan kepada presiden, bagaimana upaya dia mencari solusi untuk gonjang-ganjing KPK vs Polisi.  

Jokowi tidak bisa lagi menggunakan alasan, “ingin mengumpulkan data dan masukan”. Dia harus bertindak cepat dan tepat. Jangan mengulangi kesalahan saat ngotot mencalonkan seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka, menjadi pemimpin institusi yang diandalkan menegakkan hukum.  

Hasilnya? Kisruh memuncak hari ini. Pada hari ketua parpol Jokowi merayakan hari ulang tahunnya. 

By the way, selamat ulang tahun Bu Megawati. Kredibilitas parpol yang Anda pimpin dipertaruhkan hari ini. Juga kredibilitas presiden.  Menjadi oposisi dan berkampanye membela wong cilik selama 10 tahun hanya mendapat kurang dari 19 persen. Publik pemilih lebih kejam kepada the ruling party yang gagal memenuhi aspirasi rakyat. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com

 

 


BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!