Samad dan PDI-P: Anomali cinta jadi benci

Adi Mulia Pradana

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Samad dan PDI-P: Anomali cinta jadi benci

AFP

Yang terlupakan dalam hingar bingar KPK vs Polri ini, bisa jadi justru hal yang paling penting: Siapa yang dahulu meloloskan Abraham Samad sebagai ketua lembaga anti-rasuah itu?

Publik yang tak mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mungkin akan mengaitkan kegagalan Ketua KPK Abraham Samad sebagai calon wakil presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam pemilihan presiden tahun 2014 lalu.

Biasanya mereka akan mengumbar fakta bahwa “KPK memulai penyelidikan terhadap transaksi mencurigakan Komjen Pol Budi Gunawan sejak Juli 2014”. Dan akan dilanjutkan dengan momen ketika “Samad gagal jadi cawapres, maka sehari atau beberapa hari setelahnya Budi Gunawan mulai diselidiki.”

Yang terlupakan dalam hingar bingar KPK vs Polri ini, bisa jadi justru hal yang paling penting: Siapa yang dahulu meloloskan Abraham Samad sebagai ketua lembaga anti-rasuah itu? Untungnya, saya menyimak dengan seksama apa yang terjadi dalam pemilihan komisioner KPK pada tahun 2011 lalu.

Komisi III DPR RI periode 2009-2014 lah yang memilih Samad menjadi Ketua KPK saat ini, setelah melalui tes uji kepatutan dan kelayakan. Komposisi DPR periode sebelumnya berbeda dengan periode sekarang. Saat itu, Partai Demokrat menguasai pemerintahan dan lembaga legislatif. Partai Demokrat begitu kuat dalam memimpin koalisi Sekretariat Gabungan (Setgab) dalam kondisi isu politik yang normal.

Masalahnya, dalam pemilihan Samad, ada isu utama yang didorong: Century. 

Demokrat terpecah di tengah Setgab lainnya. 3 fraksi dari Setgab memilih berseberangan dengan Demokrat, yakni Golkar, PPP, dan PKS yang memilih bergabung dengan 3 fraksi oposisi; PDI-Perjuangan, Gerindra, dan Hanura. 

Dari 56 anggota Komisi III, 43 dari mereka memilih Samad. Andai Setgab soild, bisa jadi Ketua KPK sekarang tidak dijabat oleh Samad.

3 tahun satu bulan setelah pemilihan Ketua KPK yang jatuh pada 2 Desember 2011, konstelasi politik telah berubah dalam “mencintai Samad”. 

Ia bukan peringkat teratas dari hasil penyaringan panitia seleksi KPK. Sisa suara lainnya, sebesar 13 suara, tersebar pada 4 nama calon ketua KPK lainnya yang kini menjabat sebagai komisioner KPK: Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain. Masa jabatan Busyro sudah habis pada 14 Desember 2014, dan hingga kini belum ditetapkan penggantinya oleh DPR.

Figur ‘religius’

Apakah ketidaksukaan PDI-P terhadap KPK saat ini murni karena pencawapresan Samad yang gagal? Atau memang karena KPK menjegal langkah Budi Gunawan sebagai Kapolri? Atau karena dalam 3 tahun terakhir, beberapa kader partainya dijerat KPK?

(BACA: PDI-P: Abraham Samad bermain dengan api)

Jika ditarik 3 tahun lalu, momen saat PDI-P yang berseberangan dengan Setgab memutuskan untuk bersatu dalam hal pemilihan Ketua KPK, itu merupakan suatu hal yang bersejarah.

PDI-P selama ini dikenal sebagai partai yang kuat dalam mengusung isu sekularisme. Maka sejatinya sulit bagi PDI-P menerima profil yang amat religius seperti Samad. Saya masih ingat, salah satu alasan utama PKS memilih Samad adalah karena figur Samad yang “jauh lebih religius dibanding calon ketua KPK lainnya.”

Bagaimana bisa PKS dan PDI-P setuju pada satu sosok profil. Sejujurnya, pada malam 2 Desember 2011 itu, saya cukup terkejut ketika PDI-P bisa sepaham dalam penetapan Samad, meskipun lobi-lobi tentang Samad sudah digulirkan sejak berbulan-bulan sebelumnya.

Apa yang terjadi Kamis (22/1) pekan lalu, saat Plt Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, menuding Samad melanggar kode etik, sebetulnya menyiratkan hal yang lebih absurd lagi.

Anggaplah Samad benar-benar (bakal) cawapres PDI-P dari sekian nama yang dikumpulkan sebelum akhirnya dikerucutkan dan memilih Jusuf Kalla. Bagaimana mungkin, Samad yang sebelumnya menjadi seorang “darling” bagi PDI-P, dalam 6-7 bulan kemudian menjadi musuh besar partai berlogo banteng itu?

Apakah hanya karena sosok Budi Gunawan yang Samad mengaku telah menyadap teleponnya? Jika demikian, hebat sekali “faktor Budi Gunawan” mampu mengubah PDI-P dari cinta menjadi benci kepada Samad.

‘Salah Samad, salah KPK’

Bisa jadi, fraksi parpol lain di DPR kini sedang tersenyum melihat ulah PDI-P. Nanti juga popularitasnya jatuh sendiri.

Mari melihat lebih jelas. Jika proses pencapres-cawapresan dimulai setelah pemilu legislatif bulan April 2014, berarti ada waktu sekitar 2,5 tahun bagi PDI-P untuk menilai kerja Samad di KPK sebagai salah satu kandidat cawapres.

Dalam rentang waktu tersebut, ada sejumlah nama elite PDI-P yang terjerat KPK. Saat KPK berhasil menangkap banyak anggota PDI-P, justru dengan pencawapresan Samad, PDI-P sangat obyektif menilai kinerja KPK dan Samad. Partai moncong putih itu pun tak menunjukkan dendam meski kadernya ditangkap.

Namun, mengapa dalam satu malam, ketika Samad diberitahu bahwa ia tak dicalonkan menjadi cawapres Jokowi, PDI-P tak lagi obyektif dalam memandang kinerja Samad dan KPK? Benarkah perubahan drastis ini akibat seseorang bernama Budi Gunawan? Jika benar, hebat sekali ia.

Sekian kader PDI-P dijerat KPK tak melunturkan “cinta” PDI-P pada Samad. Tapi hanya karena satu nama, kini “cinta” bertransformasi menjadi “benci”.

Hanya 1 anggota Komisi III PDI-P periode 2009-2014 yang masih bertahan di Komisi III periode ini, yaitu Trimedya Panjaitan.

Secara umum, hanya 7 orang anggota Komisi III lintas fraksi periode lalu yang terpilih lagi untuk ditempatkan di Komisi III periode 2014-2019. Dan sejatinya, dari ketujuh orang ini, tidak semuanya pro Budi Gunawan dalam fit-and-proper test calon Kapolri awal bulan ini.

Bisa jadi, fraksi parpol lain di DPR kini sedang tersenyum melihat ulah PDI-P. Biarkan saja PDI-P capek sendiri, mungkin begitu pikir mereka. Nanti juga popularitasnya jatuh sendiri. 

KPK bukan semata Samad. Saat PDI-P menyamaratakan “salah Samad, salah KPK”, itu artinya PDI-P mengubur popularitas yang sudah susah-susah dibangun selama 10 tahun ke belakang.

Pemilihan komisioner dan ketua KPK 2015-2019 nanti akan menjadi sangat dilematis Desember ini. 

Adi Mulia Pradana adalah co-founder WikiDPR. Sehari-hari memantau langsung rapat di gedung DPR di Senayan, Jakarta. Follow Twitter-nya di @adimuliapradana.

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan institusi apa pun.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!