Ketika forum Davos (bukan) untuk kita

Kokok Herdhianto Dirgantoro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika forum Davos (bukan) untuk kita

EPA

Dan ketika pelaku ekonomi besar berpikir mengenai mengurangi kesenjangan ekonomi di Davos sejak bertahun-tahun lalu, 1 persen orang kaya di dunia, total kekayaannya melebihi 99 persen penduduk dunia.

Tahu Davos?

Tahu lah. Saya kalau sakit sering beli obat produksi Davos. 

Lah, itu Dankos, keleus.

Ya percakapan singkat nan garing ini terjadi ketika saya mencoba mencari tahu secara random ke beberapa kawan mengenai Davos. Ya, di kota kecil yang terletak negara Swiss tersebut digelar Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF). 

Oh, WEF yang pakai logo Panda, ya, Mas? Itu WWF. Ini W.E.F. Beda banget.

WEF adalah Forum Ekonomi Dunia yang membicarakan berbagai hal strategis terkait ekonomi. Yang dibahas macam-macam. Dari ketidakadilan ekonomi, kebijakan sektor keuangan, pangan, energi, dan last but not least: risiko-risiko yang muncul dan berpotensi mengganggu perekonomian dunia.

Saya mengunduh laporan The Global Risk Report 2015. Isinya adalah berbagai risiko dunia yang mempengaruhi ekonomi dunia. Risikonya sungguh bermacam-macam dari negara gagal, perang saudara, perang antar negara, perubahan iklim, krisis pangan, pengangguran, cyber attack, dan juga kesenjangan pendapatan.

Menarik jika saya mengutip Kompas edisi 22 Januari yang ditulis Andreas Maryoto. Bahwa dari kategori krisis yang akan dihadapi dunia dalam 10 tahun ke depan adalah krisis air. 

Dalam berita tersebut juga dijelaskan, krisis air beberapa waktu lalu masih ranking 120. Jadi posisi risiko-risiko tersebut dapat bergerak dinamis sesuai arahan negara maju. Nggak deh, sesuai riset yang dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Mitigasi atas risiko-risiko tersebut menjadi pekerjaan rumah para pelaku ekonomi dunia. Agar roda ekonomi berputar terus. Semua mendapat penghidupan layak. Sungguh mulia.

PEKERJA ANAK. Pekerja anak di Filipina sedan mengangkut pasir di dearah pinggiran Manila, Filipina. Foto oleh Francis R Malasig/EPA Francis R Malasig/EPA Francis R Malasig/EPA

Saya memperkecil teropong analisis (tentunya analisis saya ini mirip Cak Lontong — Jangan samakan dengan level pengamat ekonomi) dari Davos ke Indonesia. Mengenai risiko-risiko yang dihadapi dalam perekonomian.

Pertama adalah risiko ekonomi makro. Balance of payment, fiscal deficit, utang luar negeri swasta, semuanya meningkat dalam satu dekade terakhir. Meningkat membaik? Tidak! Memburuk. 

Coba Google sendiri. Jangan jadi pemalas. Kalau saya jelaskan juga membosankan. 

Ujungnya risiko depresiasi nilai tukar akan terus mengancam rupiah. Risiko ini ditambah juga dengan kondisi dunia. Perang dingin negara-negara maju yang menajam dan terlihat dari penurunan harga minyak, gas serta komoditas lainnya. 

Saya tidak mau membahas panjang lebar kondisi ini. Membosankan dan sulit dimengerti sekaligus tidak berdampak besar terhadap orang-orang kecil seperti saya.

Setelah ekonomi, kemudian politik. Semua masalah di Indonesia selalu ada solusi kecuali masalah politik. Jika pun ada, biasanya temporer. Dinamis terus. Kalau ekonomi membosankan, politik ini lebih membosankan. Mari kita lewati juga.

Selanjutnya mikro ekonomi. Denyut nadi perekonomian Indonesia ini sungguh dahsyat. Nggak ada matinye. Bagai kucing dengan sembilan nyawa. Bagai Bangsa Galia yang perkasa karena ramuan sakti dalam komik Asterix.

Saat peralihan era Orde Lama ke Orde Baru, kondisi ekonomi berantakan. Kas negara kosong, utang banyak, sektor riil berjalan tersendat-sendat.

Eh, tidak lama dapat durian runtuh. Harga minyak melejit. Mayoritas APBN bisa dipenuhi dari surplus minyak. Birokrasi berjalan, proyek strategis berjalan.

Era minyak habis, RI bangkit dengan kayu lapis, era kayu lapis turun, mineral dan konsumsi masyarakat yang naik. Setelah itu batu bara dan sawit menjadi jagoan. Ada terus yang bikin republik dengan lebih dari 240 juta jiwa ini terus melaju.

Kekayaan alam yang luar biasa senantiasa menyelamatkan Indonesia. Walau sekaligus menjadikannya kutukan. Ya, uang melimpah karena berkah alam yang besar seketika menjadi kutukan ketika penyelenggara negara bekerjasama dengan politisi dan birokrat dalam hal korupsi. 

Risiko-risiko saat keuangan negara menggembung ini tidak pernah dimitigasi. Dibiarkan berlarut-larut. Mari menghindari debat tentang masalah ini juga.

Apa sebenarnya tujuan saya menghindari pembicaraan makro, politik, dan potensi ekonomi bangsa ini? 

Saya hanya ingin menegaskan bahwa Davos dan pemerintah memiliki kesamaan. Sama-sama berpikir untuk menyelesaikan masalah, tapi solusinya seperti apa tidak tahu. Dan hasil nyata yang terjadi justru bertolak belakang.

Ketika pelaku ekonomi besar berpikir mengenai mengurangi kesenjangan ekonomi di Davos sejak bertahun-tahun lalu, 1 persen orang kaya di dunia, total kekayaannya melebihi 99 persen penduduk dunia. 

Bahkan 80 orang terkaya di dunia memiliki aset lebih dari 3,5 miliar jiwa alias setengah penduduk bumi. Ini data yang dirilis Oxfam dan dimuat di salah satu situs favorit saya, Katadata. 

Menurut berita di Katadata, kondisi ketimpangan ini lebih buruk dari 2010 dan akan terjadi tahun depan, 2016. Ngapain aja orang-orang kaya ini di Davos diskusi bertahun-tahun?

Bagaimana dengan Indonesia? Saya mengambil data laporan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Arti ‘simpanan’ dalam LPS ini adalah dana masyarakat yang ada di bank. Jangan mikir yang aneh-aneh.

Data LPS per November 2014, ada 158.287.812 rekening bank. Total dana masyarakat dari semua rekening tersebut adalah Rp 4.127,436 triliun. Pemilik rekening dengan nominal di atas Rp 5 miliar ada 75.454 rekening, atau hanya 0,05 persen dari total rekening nasional. 

Jumlah total simpanan ‘rekening gendut’ tersebut: Rp 1.911 triliun atau 46 persen dari total dana perbankan nasional. Disclaimer: Saya tidak termasuk di kelompok rekening ini.

Di mana kita berada? Dapat dipastikan rakyat kebanyakan seperti kita berada di pemegang rekening dengan isi rekening di bawah Rp 100 juta.

Total jumlah rekeningnya 154.758.574 atau 97,77 persen. Isi rekening dari mayoritas pemegang rekening negeri ini hanya Rp 592 miliar. Satu triliun rupiah pun tak ada.

Sama dengan kondisi dunia, di Indonesia juga bertahun-tahun sibuk bicara risk profil negeri ini. Pemerintah, politisi, birokrat, konglomerasi semua membicarakan agar kesenjangan pendapatan di Indonesia tidak menjelma menjadi krisis sosial. 

Walau hasilnya bisa ditebak dari proporsi rekening dan isinya sesuai laporan LPS. Bisa juga dilihat dari koefisien gini (gini ratio). Itu adalah rasio untuk memperlihatkan ketimpangan kekayaan kelompok berada dan kelompok miskin. 

Kini Indonesia ada di level 0,41. Angka ini kian memburuk dalam 10 tahun terakhir. Hampir mirip dengan data dunia yang dimiliki Oxfam. Ok, kita cukupkan bahas rasio gini sebelum saya disuruh membahas rasio gitu. Karena rasio gitu memang tidak ada.

Ya, orang akan menuduh saya pesimistis, negative thinking, atau yang lain. Yang penting saya tidak positif narkoba lalu besoknya negatif (#terchristopher). 

Tapi kondisi yang kita hadapi saat ini begini. Orang-orang kaya bidang otomotif pasti tidak peduli tiap jam tiga nyawa melayang di jalanan. Mereka tak peduli 70 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan motor. 

Dan hampir 20 persen kecelakaan melibatkan motor dipicu pengendara motor usia dini. Maukah negara-negara maju produsen mobil di Indonesia mengurangi produksinya secara drastis? Tidak mungkin. 

Bagaimana dengan industri rokok? Sila cek pengeluaran rakyat miskin di Indonesia, konsumsi pangan dan rokok sangat tinggi.

ROKOK. Searing pria sedan menghisap rokok di Jakarta, 12 September 2012. Menurut survei dari World Health Organization & U.S. Centers for Diseases Control and Prevention, pria Indonesia menduduki peringkat pertama jumlah perokok terbanyak di dunia. Sekitar 67 persen pria Indonesia merokok. 
Foto oleh Bagus Indahono/EPA

Adakah perusahaan rokok ikut aktif menyelamatkan generasi yang dilahirkan orang susah di Indonesia yang kian miskin karena rokok produksinya? Kalau ngomong begitu nanti dibilang terima uang dari donor asing, antek rokok putih.

Bagaimana dengan dunia? Uni Lubis pernah membahasnya terkait harga minyak yang tiba-tiba turun drastis. Saya sangat sepakat dengan beliau (cari aman coy). 

Juga bagaimana Eropa dan Amerika tidak mau menerima minyak sawit dari Indonesia dengan alasan merusak lingkungan. Padahal kedelai GMO produksi mereka juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. 

Juga dengan perang memperebutkan ladang migas, mineral. Korporasi-korporasi negara kaya sangat aktif masuk terutama di negara yang sedang konflik.

Angola, misalnya, yang produksi minyaknya dikuasai negara-negara maju, rata-rata penduduknya miskin, tapi anak presidennya perempuan terkaya ketiga di Afrika. By the way, apa kabar tuh impor minyak Angola ke Indonesia? Hehehe.

Terus, kita harus melakukan apa? Nah, itulah. Saya juga tidak tahu jawabannya. Mungkin pembaca yang terhormat punya? –Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan wartawan, mantan karyawan bank, kini ia mengelola kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Meski demikian, ia sangat berminat belajar seputar isu ekonomi. Gaya menulisnya humoris, tapi sarat analisis. Follow Twitter-nya @kokokdirgantoro 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!