Musisi Bali bersatu tolak reklamasi Teluk Benoa

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Musisi Bali bersatu tolak reklamasi Teluk Benoa

Anton Muhajir

Keterlibatan musisi-musisi ini bukan karena tuntutan profesi, tapi karena sebagai penduduk yang memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan alam Bali sebagai sumber hidup.

DENPASAR, Indonesia — Para penolak reklamasi Teluk Benoa di Bali kembali bergerak, Jumat, 30 Januari 2015. Ribuan peserta aksi berjalan rapi dalam satu barisan menolak rencana pengurukan Teluk Benoa di sisi selatan Bali.

Seperti aksi-aksi sebelumnya, massa bergerak mulai dari parkir timur Lapangan Renon, kawasan pusat pemerintahan Bali, di Denpasar, hingga berhenti persis di depan kantor Gubernur Bali.

Satu per satu orator menyampaikan pesan mereka. Tuntutan mereka konsisten sejak sekitar 2 tahun lalu, menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa. Mereka juga menuntut agar Presiden Joko “Jokowi” Widodo segera membatalkan Peraturan Presiden nomor 51 tahun 2014. Perpres ini telah mengubah status kawasan teluk seluas 808 hektar dari konservasi menjadi kawasan pemanfaatan, termasuk untuk pembangunan kawasan pariwisata.

Di antara para para peserta aksi tersebut, beberapa musisi berada di bagian depan barisan. Pentolan band punk terkemuka Superman Is Dead (SID), Ary Astina yang biasa dipanggil Jerinx, termasuk yang terdepan dalam barisan. Penggebuk drum SID itu bahkan turut membacakan puisi berjudul Speaker Separatist

Selain Jerinx, anggota SID lain yang turut dalam aksi kemarin adalah gitaris Eka Arsana. Vokalis SID, Bobby, juga sesekali ikut aksi meskipun dalam aksi kemarin tidak ada. Musisi dan band lain yang ikut serta dalam aksi kemarin meliputi Nosstress Bali, The Bullhead, dan Navicula.

Keterlibatan mereka dalam aksi menolak reklamasi tak hanya terjadi kali ini. Mereka sudah terlibat bahkan sejak sebelum gerakan ini menjadi begitu besar dan masif seperti sekarang.

Bersama aktivis, mahasiswa, masyarakat adat, komunitas pemuda banjar, dan kelompok lainnya, para musisi itu tergabung dalam Forum Rakyat Bali Menolak Reklamasi (ForBALI). Tak hanya terlibat dalam gerakan, sebagian besar dari para musisi itu bahkan termasuk penggagas gerakan ini sejak awal.

Menolak eksploitasi

Massa ForBALI melakukan aksi di depan kantor Gubernur Bali, pada Oktober 2015. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler
 <span class="attribution"></span>

Keterlibatan mereka bermula dari aksi-aksi kecil. Salah satu yang saya ingat bahkan ketika nama ForBALI belum terbentuk, beberapa musisi sudah turut dalam aksi. Misalnya Nosstress, band indie dari Bali yang sekarang lagi naik daun.

Ketika itu personel Nosstress seperti Nyoman Angga, Cok Bagus Pemayun, dan Komang Gunawarma alias Kupit, ikut mengarak spanduk putih mengajak warga agar membubuhkan tanda tangan menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. 

“Kami ikut ForBALI bukan karena sebagai musisi. Tapi karena sebagai penduduk yang memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan alam Bali sebagai sumber hidup,” kata Angga, vokalis dan gitaris Nosstress.

Menurut Angga, keterlibatan para musisi dalam aksi ForBALI sebagai bentuk penolakan mereka terhadap eksploitasi Bali untuk pariwisata. Pembangunan hotel dan gedung di Bali nyaris tiada henti tidak bagus untuk masa depan Bali. 

“Benar-benar gila dan tidak terkontrol,” Angga menambahkan.

Ini pula yang mendorong para musisi menolak rencana reklamasi di kawasan konservasi Teluk Benoa. Seperti para penolak lain, mereka khawatir rencana itu akan merusak lingkungan pesisir Teluk Benoa, merugikan secara sosial budaya, serta mengancam masa depan Bali yang sudah terlalu dieksploitasi atas nama pariwisata.

Bersama salah satu pegiat ForBALI Agung Alit, personel Nosstress pula yang menggubah lagu berjudul Bali Tolak Reklamasi. Lagu ini yang kemudian menjadi anthem perlawanan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa. Dalam tiap aksi, lagu dengan lirik “Bangun Bali subsidi petani. Kita semua makan nasi. Bukannya butuh reklamasi,” ini terus bergema.

Tak cuma di dalam aksi, lagu-lagu ini juga dinyanyikan anak-anak di pelosok Bali bahkan berbagai tempat. Di YouTube, video klip mereka ditonton hampir 170 ribu kali.

Lagu Bali Tolak Reklamasi menjadi catatan tersendiri tentang bagaimana para musisi berkolaborasi dalam gerakan menolak reklamasi ini. Sejak 2013 silam, para musisi berbagai genre dan band itu membuat lagu bersama-sama. Ada musisi dari folk, ska, reggae, punk, pop, juga tradisional.

Setelah hampir setahun meluncurkan single Bali Tolak Reklamasi, para musisi yang turut bergabung ForBALI kemudian membuat album bersama bertajuk Bali Bergerak. Album berisi 14 lagu ini diisi para musisi-cum-aktivis dari Bali termasuk SID, Navicula, Nosstress, Eco Efender, Ugly Bastard, dan lain-lain.

Album yang diluncurkan pada Oktober 2014 itu kemudian dijual, tak hanya sebagai bagian dari propaganda gerakan menolak reklamasi, tapi juga untuk mendapatkan amunisi.

Gerakan kebudayaan

Aksi menolak rekalmasi pada awal-awal gerakan tahun 2013. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler
  <span class="attribution"></span>

Di Bali, gerakan kebudayaan yang bersimbiosis mutualisme dengan gerakan politik tidak termasuk hal baru. Sejak zaman revolusi, musisi-musisi Bali sudah aktif di partai terutama Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka membuat lagu-lagu untuk alat propaganda kedua partai yang berseteru di Bali tersebut.“Musisi terlibat dalam gerakan kebudayaan itu biasa. Tapi dalam konteks gerakan lingkungan di Bali, justru pengaruhnya sangat signifikan. Mereka bisa membuat gerakan menjadi cool dan trendy terutama bagi kaum muda,” kata I Wayan Suardana, Koordinator ForBALI yang akrab dipanggil Gendo.

Seperti terjadi di semua tempat, Orde Baru membungkam suara-suara politis para musisi termasuk di Bali. Sepanjang zaman ini, musisi-musisi Bali lebih sibuk menyanyikan lagu-lagu semata untuk menghibur dengan lirik seputar asmara. Suara-suara musisi yang melawan lebih banyak di skena bawah tanah (underground).

Setelah Orde Baru berakhir, suara-suara kritis penyanyi itu muncul kembali. Rudolf Dethu, pelaku sekaligus pencatat skena musik di Bali mengatakan musisi Bali sudah terlibat dalam gerakan-gerakan lain, misalnya saat menolak Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi pada 2006 dan 2008.

“Ketika itu musisi dan aktivis bersatu padu menyuarakan penolakan. Selain berperan serta dalam diskusi-diskusi, turun ke jalan untuk menyebar flyer, demo; juga ikut bersenandung di panggung,” ujar Dethu yang juga mantan manajer SID.

Karena itu ketika muncul aksi menolak reklamasi Teluk Benoa, para musisi pun dengan mudah terlibat dalam gerakan penolakan tersebut.

Gaya-gayaan?

Musisi Bali ikut membuat spanduk menolak reklamasi. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler
 <span class="attribution"></span>

Berdasarkan pengalaman saya sendiri terlibat dalam sejumlah gerakan di Bali, isu menolak reklamasi Teluk Benoa ini memang relatif lebih besar dan masif. Biasanya gerakan perlawanan semacam ini bisa besar di Bali karena menyangkut isu agama Hindu. Misalnya Aksi Umat Menggugat (AUM) pada 1999 dan menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dianggap akan membahayakan umat Hindu Bali. 

Aksi-aksi lain, apalagi isu lingkungan, relatif sepi peminat. Misalnya dalam isu menolak rencana pembangunan geothermal di Bedugul, pembangunan hotel Mulia di Nusa Dua, atau menolak pembangunan Bali International Park (BIP). Jumlah massa aksi hanya puluhan atau paling banyak ratusan.

Berbeda dengan aksi menolak reklamasi Teluk Benoa kali ini. Tiap kali aksi, ada ribuan orang ikut. Sebagian besar di antara mereka adalah anak-anak muda dengan pakaian yang sangat khas Outsider, sebutan untuk fans SID: baju putih, celana hitam gombrong, sepatu hitam, dan kaos kaki putih setinggi lutut. Pakaian model begini sering digunakan Jerinx, pentolan SID.

Karena itulah muncul pula kritik bahwa massa aksi hanya anak-anak muda bermodal gaya-gayaan. Toh, jika pun ini benar, menurut Dethu ini juga tak masalah.

“Saya pribadi tak pernah khawatir dengan urusan gaya-gayaan atau tanpa dasar ideologis. Namanya anak muda ya tentu meniru artis idolanya. Ikut-ikutan berteriak anti reklamasi padahal tipis paham esensinya. Gak masalah sih,” Dethu melanjutkan. 

Menurut Dethu, tiru meniru ini hal biasa bagi fans musik. Karena The Clash, Public Enemy dan Rage Against The Machine rajin berkoar-koar melakukan aktivisme, lalu banyak musisi lain juga bergaya mengikutinya. Lama-lama mereka paham dan akhirnya berjuang benar-benar, memahami betul-betul, dan serius pro-aktif.

“Dalam konteks ini, itu terjadi pula di gerakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa,” katanya.

Lalu, sejauh ini apa hasil terbesar dari gerakan tolak reklamasi termasuk oleh para musisi? Tuntutan ForBALI belum dikabulkan. Hingga saat ini belum ada keputusan resmi dari pemerintah untuk membatalkan rencana reklamasi PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) milik taipan Tomy Winata tersebut. 

Rabu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di depan Komisi IV DPR hanya memberikan sejumlah syarat ketat kepada investor jika akan melanjutkan rencana reklamasi. Syarat yang, menurut Gendo, agak mustahil bisa dipenuhi investor tapi tetap memiliki celah untuk dipenuhi.

Meskipun tuntutan mereka belum dikabulkan, toh suara perlawanan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa tetap terus bergema di media sosial maupun di dunia nyata. Perjuangan menolak reklamasi juga bisa menyatukan berbagai kelompok di Bali dalam satu barisan untuk menolak. 

“Perjuangan menolak reklamasi ini perjuangan kolektif karena semua unsur dan profesi memaksimalkan kemampuan dan caranya masing-masing dalam menolak reklamasi. Itulah yang keren dalam gerakan ini,” ujar Angga. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!