Fotografer Belanda memotret banjir Jakarta dan naiknya air laut

Johana Purba

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Fotografer Belanda memotret banjir Jakarta dan naiknya air laut

Kadir van Lohuizen / NOOR

Pemerintah sadar masalah kenaikan air laut, namun lamban dalam mengatasinya.

Dari Greenland sampai Bangladesh, gemerlapnya Miami hingga sunyinya Kiribati, perjalanan hidup membawa fotografer Kadir van Lohuizen ke banjir Jakarta. 

Kadir mendarat di Jakarta Minggu malam, 8 Februari, lalu. Pilot penerbangan yang dia naiki sudah mewanti-wanti bahwa cuaca buruk sedang melanda jalur penerbangan, khususnya Jakarta. Dan benar saja, dia mendarat di Jakarta saat hujan deras, dan butuh dua jam untuk mencapai tempat dia menginap dari bandara.

“Besok paginya saya memutuskan untuk pergi ke lokasi banjir, ke Pluit,” kata Kadir saat bincang-bincang tentang proyek fotografinya, Rising Sea Level di pusat kebudayaan Kedutaan Besar Belanda, Erasmus Huis, di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu malam, 11 Februari.

Bagi Kadir kejadian ini tidak mengagetkan. “Jakarta sama seperti Miami dan Hongkong, mengalami kenaikan level air laut,” ujarnya.

Momen ini dirasa sangat pas dengan proyek Rising Sea Levels yang baru selesai dia kerjakan. Dia bertandang ke lokasi-lokasi yang dianggap mengalami kenaikan level air laut paling signifikan, yang sampai harus membuat penduduknya eksodus, menenggelamkan pulau, dan mengikis pesisir pantai. 

“Dulu di Greenland ada motor khusus untuk dipakai di salju, snow scooter. Sudah tiga tahun terakhir ini tidak ada lagi,” ungkap Kadir. Keberadaan salju di Greenland kian menipis alias sudah mencair. Bahkan penduduk di sana kini bisa bercocok tanam, menanam kentang, stroberi, dan bawang, yang sebelumnya tidak bisa dilakukan.

Kadir kemudian terbang ke Bangladesh. Di sana dia menemukan bahwa kenaikan level air laut sudah menenggelamkan kehidupan dan harapan warga pesisir Bangladesh. 

Fotografer asal Belanda Kadir van Lohuizen saat pembukaan galeri foto di Erasmus Huis, Jakarta, 10 Februari 2015. Foto oleh Johana Purba/Rappler

“Dalam 40 tahun ke depan, diperkirakan ada 50 juta warga Bangladesh yang harus diungsikan ke tempat yang lebih tinggi. Ini pertanyaan kita bersama: Kemana?” sebut co-founder kantor berita Noor di Belanda ini.

Warga pesisir di Bangladesh hidup dari melaut, sebagai nelayan. Kini karena lahan mereka kian tergerus, maka mereka pindah ke kota besar dan harus menemukan keterampilan lain. Bekerja di pabrik misalnya. Perubahan sosial seperti ini menjadi tantangan bagi mereka. 

Kemiskinan dan kesemrawutan Bangladesh, tidak lebih baik dari bahaya yang disimpan Miami, kota pesisir timur Amerika Serikat. “Tahun 2060 Miami diperkirakan sudah tenggelam, namun ironisnya saat ini ada pembangunan dua puluhan lebih kondominium mewah,” tutur van Lohuizen. Menurutnya, pemerintah Amerika Serikat sudah tahu kondisi sebenarnya dari Miami, namun mereka berusaha tutup mata. 

Tak dipungkiri, negara-negara maju juga memiliki masalah erosi daratan dan peningkatan level air laut yang sama membahayakannya dengan negara duina ketiga macam Bangladesh, Papua Nugini, Fiji, Panama, dan Kiribati. 

Bicara tentang Kiribati, ini adalah sebuah negara seukuran India di Samudera Pasifik bagian tengah. Pelan-pelan negara berpenduduk 100 ribu jiwa ini mulai tenggelam. Pulau-pulau terbelah, ombak tinggi menghancurkan pemukiman penduduk, sehingga mereka harus direlokasi ke daratan. Saking hancurnya negara ini, mereka harus menyewa lahan kosong yang aman ke negara tetangg, Fiji.

Lantas bagaimana dengan nasib Jakarta nanti? Kadir menjawab, setiap pemerintah maupun forum internasional sudah tahu betul dengan masalah ini. Namun mereka cenderung lamban dalam mengatasinya. Negara yang disebut maju ternyata tidak begitu maju untuk mencari solusi atas masalah kenaikan level air laut, dan lebih besar lagi, pemanasan global.

Karya fotografi Rising Sea Levels ini sendiri dipertunjukkan di Climate Change Conference, COP 20 di Lima, Peru, akhir tahun lalu. Namun Kadir tidak puas akan pencapaiannya. Tidak ada solusi, kata dia. 

Dari karyanya ini, dia ingin mengingatkan, kenaikan level air laut mengancam manusia di mana saja. Perlu ada upaya selain membuat kantung pasir atau pembatas dari koral mati. Kadir yang lahir dan besar di Belanda, yang notabene daerahnya berada di bawah permukaan laut, tahu betul ancaman itu. 

“Kami (orang Belanda) sudah menghabiskan banyak waktu, uang, dan energi untuk menyelamatkan wilayah kami. Bahkan pemerintah Belanda sudah menyiapkan sekelompok orang yang memikirkan bagaimana dan ke mana relokasi untuk kami. Kemungkinan besar akan mendekat ke arah perbatasan dengan Jerman,” jelasnya. 

Perjalanan ke Jakarta membuat Kadir menambah satu daftar lagi daerah yang terdampak kenaikan level air laut. Dia tidak punya pesan ke Gubernur DKI Jakarta, karena Kadir percaya pemerintah sudah lebih mengerti keadaan ini, dan bisa mencarikan jalan keluar untuk jangka panjang. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!