Ketika demam batu giok dan akik melanda Aceh

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika demam batu giok dan akik melanda Aceh
Hampir semua golongan di Aceh mulai dari rakyat biasa, pejabat, polisi, tentara, hingga perempuan terpapar demam giok dan akik.

BANDA ACEH, Indonesia – Abdul Rahman menyalakan senter kecil di tangannya. Pria setengah abad itu lalu mengarahkan cahaya ke sebongkah batu yang telah dipotong seukuran bungkus rokok. Ada sinar memancar, namun ia terlihat tak puas. Tangannya meraih bongkahan batu lain. Batu itu kembali disenternya seraya membolak-balikkan di telapak tangannya.

Dalam keremangan lampu trotoar pertokoan di Jalan Teuku Panglima Polem, kawasan Peunayong, ibukota Banda Aceh, Rahman terus mencari. Sesekali dia bertanya pada penjual yang menggelar dagangannya di atas karpet plastik atau koran bekas, berapa harga bongkahan batu giok.

Larutnya malam tidak menyurutkan niat Rahman dan ratusan warga yang memburu giok dan akik untuk dijadikan batu cincin. Padahal, jarum jam telah menunjukkan pukul 01:15 WIB pada Minggu, 1 Februari, dinihari lalu. 

Malam itu, Rahman sedang mencari giok. Sejumlah lapak penjual sudah disinggahinya, tapi yang dicari belum ditemukan.

“Saya mencari giok solar super karena ada pesanan dari seorang pelanggan saya dari Jakarta,” katanya, sambil membolak-balikkan sebongkah giok hitam kehijau-hijauan. “Pelanggan saya itu bersedia membayar 10 juta rupiah untuk satu batu cincin giok solar super.”

Harga bongkahan giok jenis solar super yang beratnya 1 kilogram bisa mencapai Rp 20 juta di Banda Aceh. Dari bongkahan itu bisa diasah menjadi tujuh batu cincin. Tapi, untuk memperoleh giok super solar yang sedang diburu pencinta batu cincin tidaklah mudah karena belum tentu dalam sebuah bongkahan menghasilkan kualitas terbaik setelah diasah.

”Harga bongkahan giok jenis solar super yang beratnya 1 kilogram bisa mencapai Rp 20 juta. Bongkahan itu bisa diasah menjadi tujuh batu cincin”

Keramaian orang berjualan batu giok dan akik di trotoar Jalan Teuku Panglima Polem biasanya dimulai setelah shalat Isya sekitar pukul 20:30 WIB. Aktifitas jual beli batu itu telah berlangsung sejak enam bulan lalu. Suasananya seperti pasar malam kaget.

Puluhan penjual menggelar lapak di sepanjang trotoar pertokoan. Selain bongkahan, ada juga batu cincin sudah jadi dan gagang cincin dijajakan. Tak lupa pula pedagang menjual mesin grinder untuk mengasah batu. Ratusan warga, termasuk perempuan, yang dilanda “demam” batu, rela berdesakan hingga larut malam mencari giok, akik, atau cincin titanium putih dan keemasan.

Bukhari, 31, seorang pedagang memilih menggelar lapak di tempat gelap. Tujuannya bongkahan-bongkahan akik dan giok yang telah dipotong kecil-kecil bersinar ketika disenter. “Satu malam laku terjual 1 juta rupiah,” tutur pria yang memulai usahanya sejak tiga bulan lalu. “Prospek penjualan giok dan akik sangat bagus karena banyak warga menyukainya.”

Selain giok solar super yang menjadi incaran pencinta batu cincin, beberapa jenis lain juga tak kalah menarik peminat, seperti idocrase, nephrite, batu akik cempaka madu, lavender, giok hitam, dan berbagai jenis lainnya. Harganya pun bervariasi mulai dari puluhan ribu hingga jutaan. Kebanyakan nama diberikan sendiri oleh pedagang dan pecinta batu dengan melihat warna batu. Lalu, sebutannya melekat dan jadi lazim.

Seorang pedagang memperlihatkan batu berbagai jenis yang diikat pada gelang di pusat gemstone Ulee Lheue, Banda Aceh, pada 22 Januari 2015. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Muhammad Usman, 50, seorang pencinta batu yang cukup terkenal di Banda Aceh, punya cerita tentang nama solar. Pria berjenggot yang sering mengenakan baju koko putih mengaku, suatu hari awal tahun lalu, dia didatangi seseorang di kawasan pasar Peunayong, sambil membawa sebuah batu cincin yang telah diasah.

“Orang itu ingin tahu apa jenis batu miliknya. Lalu, setelah saya perhatikan ternyata warna yang muncul mirip minyak solar. Warnanya berubah-ubah jika disenter. Saya bilang padanya bahwa ini giok jenis solar. Sejak itu melekatlah nama solar,” kata pria yang akrab disapa Abu Usman itu.

Abu Usman telah menjadi pencinta batu sejak 30 tahun lalu. Awalnya, hanya sekadar hobi mengoleksi batu cincin. Pertengahan tahun 2014 lalu, dia coba-coba ikut kontes pada pameran batu mulia Indonesia (Indonesian Gemstone Contest) yang digelar di Jakarta.

Hasilnya di luar dugaan. Batu giok idocrase milik alumnus Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, itu menggondol hampir seluruh juara yang diperlombakan yaitu juara pertama, kedua, ketiga, harapan dua, dan harapan tiga.

“Batu cincin saya yang juara pertama terjual Rp 100 juta,” katanya saat berbincang dengan Rappler Indonesia di Banda Aceh.

Sepulang dari Jakarta, ia memajang sejumlah baliho ukuran besar bergambar dirinya dengan gaya tangan menyilang di dada dan kesepuluh jari tangannya memakai cincin di jalan-jalan protokol dalam ibukota Banda Aceh. Di baliho itu ditulisnya, “Pinanglah aku dengan giok idocrase Aceh.”

Sejak itu, demam batu menyihir warga Aceh. Beberapa ibukota kabupaten di Aceh juga dilanda demam batu. Suasana kota hidup pada malam hari dan ramai aktifitas jual beli. Pusat-pusat pasar yang dulu senyap pada malam hari berubah seperti pasar malam yang dengan jula beli batu mulia.

Ternyata demam giok dan akik tak hanya melanda warga Aceh, tapi hampir merata di seluruh Indonesia. Beberapa provinsi mulai memperkenalkan batu alam andalan dari daerahnya. Di pusat penjualan batu mulia Rawa Bening, Jakarta Timur, transaksi meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir. (BACA: Wajib gunakan cincin batu akik di Purbalingga dan Banyumas)

Peluang bisnis baru

Seorang pengasah batu cincin sedang bekerja di kedainya di kawasan Ulee Kareng, Banda Aceh, pada 5 Februari 2015. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Penjualan batu telah membuka peluang bisnis baru di Aceh. Banyak warga beralih ke bisnis yang cukup menjanjikan ini. Jamaluddin alias Kakek, 39, membuka usahanya di pusat gemstone kawasan wisata pantai Ulee Lheue, sekitar tiga kilometer barat dari pusat kota Banda Aceh. Dia membuka gerainya mulai pukul 16:30 WIB hingga menjelang azan Maghrib.

“Rata-rata pendapatan sehari Rp 3 juta,” katanya, sambil melayani sejumlah pembeli yang memadati kedainya berukuran 3 x 4 meter. “Dulu saya kerja jualan majalah dan kopi yang sehari hanya dapat uang ratusan ribu rupiah. Karena prospek batu bagus, saya beralih ke bisnis ini.”

Jamaluddin adalah seorang korban tsunami yang melanda Aceh, 10 tahun silam. Saat tsunami menerjang Banda Aceh, dia sempat diseret gelombang dan selamat setelah tersangkut di sebatang pohon. Di gerainya, ia menjajakan cincin jadi dan bongkahan batu yang sudah dipotong. Harganya relatif murah, mulai Rp 100.000 hingga Rp 2 juta.

Demam batu tak hanya melanda pria. Perempuan pun tak mau kalah. Apalagi giok dan akik juga diasah untuk liontin maupun mata gelang. Ani, 45, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Banda Aceh, dan beberapa rekannya sibuk mencari giok di pusat gemstone Ulee Lheue, pada suatu petang, bulan Januari lalu.

Wanita Aceh sedang memilih batu cincin di pusat gemstone Ulee Lheue, Banda Aceh. Demam batu mulia yang melanda Indonesia dalam beberapa bulan terakhir telah membangkitkan perekonomian baru. Foto Nurdin Hasan/Rappler

“Saya mulai suka giok sejak akhir tahun lalu karena bentuknya cantik, indah, bening, dan unik. Perempuan suka pada keindahan. Karena bentuknya indah, makanya saya suka,” ujarnya, sambil memperlihatkan belasan koleksinya dalam tiga plastik kecil. Ia mengaku membeli giok dan akik untuk dipakai sendiri.

Sore itu, 30 turis dari Malaysia juga menyempatkan diri singgah di pusat gemstone Ulee Lheue. Mereka terlihat antusias melihat berbagai jenis batu alam di 20-an gerai yang menjajakan barang dalam bentuk bongkahan dan sudah jadi.

“Saya lihat-lihat dulu. Mungkin nanti sebelum pulang ke Malaysia akan datang lagi ke sini untuk membeli beberapa giok untuk oleh-oleh kepada kawan,” ujar Abdul Salam bin Muhammad, seorang pelancong.

Selain penjualan batu, bisnis asah giok dan akik juga tumbuh di hampir setiap sudut kota Banda Aceh. Hampir semua tukang asah mendapat orderan dalam jumlah besar sehingga pemilik batu alam terpaksa menunggu sampai seminggu barangnya selesai. Ongkos mengasah sebiji batu alam bervariasi antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000.

Jafar, 34, seorang tukang yang membuka kios kecil di daerah Ulee Kareng, pinggiran Kota Banda Aceh, mengaku mampu mengasah sedikitnya 50 batu setiap hari. Selain mengasah batu, dia juga menjual gagang cincin. Setiap hari, banyak warga datang ke kedainya karena harga yang dipakok untuk mengasah sebiji batu hanya Rp 20.000.

Abu Usman tak membayangkan demam batu telah membangkitkan perekonomian baru di Aceh, yang lahir sendiri tanpa peran serta pemerintah. “Bisnis batu giok lahir sendirinya dari awalnya hanya sekadar hobi dan main-main, tapi hampir setiap sudut terjadi jual beli,” ujarnya.

Untuk mempromosikan batu alam menjadi daya tarik bagi wisatawan dan sekaligus pengetahuan pada masyarakat, Abu Usman mendirikan Museum Giok Aceh. Dalam museum yang resmi dibuka, Rabu, 4 Februari 2015, dipajang berbagai jenis batu alam baik dalam bentuk bongkahan maupun yang telah diasah menjadi cincin.

Gambar Abu Usman, seorang pencinta batu, yang seluruh jarinya memakai cincin dipajang di Museum Giok Aceh. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Menariknya adalah semua golongan mulai dari rakyat biasa, pejabat, polisi, tentara, perempuan terpapar demam giok dan akik. Akibat kuatnya demam, kebanyakan warga memakai cincin lebih dari satu. “Dulu kalau kita memakai cincin besar, apalagi lebih dari satu di jari, orang langsung bilang dukun. Tetapi, sekarang jika tidak pakai cincin, rasanya tak gaul,” ujar Amir, 30, seorang warga Banda Aceh.

Demam batu juga telah menjadi pembicaraan dan diskusi hangat di hampir setiap warung kopi di Aceh. Beberapa anekdot ikut menghiasi pembicaraan kedai kopi yang cukup populer di Aceh. Di antara anekdot itu adalah, “Jangan coba-coba meletakkan tangan di meja jika tak pakai cincin sebab nanti dianggap tidak sopan menaikkan kaki ke meja.”

Malah, ada ungkapan yang cukup populer di kalangan pemburu giok di Aceh untuk kaum perempuan, “Kalau ada suami belum pulang hingga larut malam, jangan cepat-cepat curiga berselingkuh karena dia sedang asyik memelototi kemilau cahaya senter dari balik bongkahan batu giok.” – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!