Misi selamatkan pedagang tradisional Pasar Santa

Johana Purba

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Misi selamatkan pedagang tradisional Pasar Santa
Hiburan baru kelas menengah Jakarta dituding rugikan masyarakat bawah. Apa solusinya?

“Ya, gimana tidak macet. Satu orang pengunjung, satu mobil. Belum lagi pedagang di atas pasti bawa mobil. Mending kalau udah belanja langsung pulang. Ini mereka jajan sambil ngobrol-ngobrol berjam-jam,” curhat Imah, seorang pedagang pecel ayam yang berjualan di Pasar Santa, Jakarta Selatan.

Seperti yang dilaporkan Republika, Imah, 42 tahun, dan ratusan pedagang kaki lima lainnya digusur dari tempat berjualan mereka karena kemacetan di sekitar Pasar Santa. Padahal, menurut Imah, yang membuat macet adalah mobil-mobil pemilik dan pengunjung kios-kios baru di lantai atas Pasar Santa.  

Ternyata, popularitas Pasar Santa berimbas kepada para pedagang lama yang sudah belasan tahun mencari nafkah di sana, utamanya mereka yang mengontrak di lantai bawah dan di sekitar pasar. (BACA: 8 alasan seru habiskan akhir pekan di Pasar Santa)

Akhir pekan lalu diadakan eksekusi pengosongan area kaki lima sekitar Pasar Santa oleh Satpol PP. Direncanakan, sejumlah bangunan semi-permanen di sekitar pasar juga akan dibongkar karena mengakibatkan kemacetan di area tersebut.

Penggusuran lebih dirasakan di dalam pasar. Di sini, berdasarkan pengakuan sebagian pedagang, uang yang berkuasa. Jika pedagang tak bisa membayar sewa atau membeli toko yang mereka tempati, siap-siap angkat kaki.

Joko, seorang penjahit di toko Virgo, mengaku masih memiliki sisa kontrak 6 bulan lagi. “Yang punya toko belum menghubungi lagi, sih. Kalau harga sewa naik, kita lihat seberapa banyak,” akunya. Tapi Joko tampak tenang. Usahanya masih berjalan dengan baik, berbeda dengan nasib pedagang lain yang was-was usaha mereka akan tergusur.

‘Lindungi pedagang’

Joko, seorang penjahit toko Virgo, di Pasar Santa, mengaku bisnisnya masih berjalan lancar meski dapat ancaman gusur. Foto oleh Johana Purba

Kepemilikan toko di Pasar Santa umumnya dimiliki oleh perorangan. Pihak PD Pasar Jaya, maupun pengembang pasar, hanya membantu mengurusi pasar yang berubah wajah menjadi modern dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ke belakang. 

Wajar dengan popularitas Pasar Santa sekarang, banyak pemilik toko yang mengincar uang lebih.

Pasar yang dibangun pada 1971 ini awalnya identik dengan suasana kumuh dan becek, layaknya pasar tradisional lainnya di Indonesia.  

Sejak 2007 hingga 2014 lalu, pasar ini sempat vakum, bagaikan tak berpenghuni. Jarang terlihat ada yang belanja di Pasar Santa.

Namun pada Juli 2014, demi menghidupkan kembali gairah pasar yang ramai dan hiruk pikuk, pihak pengelola menggaet komunitas-komunitas muda untuk berjualan di pasar itu.

Gayung bersambut, banyak anak muda Jakarta yang tertarik menyewa kios di lantai atas pasar dengan biaya sewa Rp 3 juta hingga Rp 3,5 juta per tahun. Dengan biaya yang cukup murah, Pasar Santa langsung didapuk menjadi tempat nongkrong terbaru anak muda Jakarta. Nama tak resminya kini berubah menjadi Santa Modern Market. 

Ada demand, ada supply, begitu kata orang-orang. Sejak Pasar Santa direvitalisasi, harga sewa/jual kios pun melonjak hingga 100%. (BACA: 7 kios baru yang harus kamu datangi di Pasar Santa)

“Kalau dilihat dari kacamata bisnis bisa dipahami. Tetapi kalau dari segi kemanusiaan, apalagi ini kan pasar, maka perlu dipertanyakan,” kata Oka, salah satu pemilik kios Mie Chino yang juga aktif mengampanyekan #SustainableSanta, sebuah gerakan online untuk melindungi pedagang tradisional Pasar Santa.

Saat ini, jelas Okta, kondisinya adalah para pemilik toko banyak mendapat tawaran menggiurkan. Mereka kemudian mengajukan kepada penyewa untuk membeli toko atau dikasih ke penyewa lain. Dan kebanyakan pedagang tidak sanggup beli toko dengan ‘harga baru’. 

Kata pedagang lama, yang buat macet adalah mobil pemilik dan pengunjung kios baru di lantai atas.

#SustainableSanta sendiri merupakan gagasan dari anak-anak muda yang membuka toko di Pasar Santa. Bagi mereka, pasar bukan sekedar pasar untuk transaksi jual beli dan meraup keuntungan semata. 

“Kita ingin semua yang di sini tidak terganggu untuk mencari nafkah, baik pedagang lama atau yang baru. Pasar ini senantiasa ramai,” jelas Oka.

Sebuah kelompok yang menamakan diri mereka Perkumpulan Pedagang Pasar Santa pun membuat petisi online agar melindung para pedagang, umumnya penjaja tradisional di lantai bawah, demi kemaslahatan hidup mereka.

Kalau tertarik, kamu bisa tandatangani petisinya di sini. Petisi ini ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat.

“Dari awal kita perhatikan ‘orang bawah’ (pedagang di lantai bawah). Banyak dari kita yang belanja bahan-bahan makanan fresh di bawah, kok. Misalnya sayuran dan beras. Meski harus kita akui, harga bahan pokok di sini sedikit lebih mahal dibandingkan pasar lain,” lanjut Oka. 

Proyek percontohan daerah lain

Pedagang buah di lantai bawah Pasar Santa berjuang agar tetap bertahan. Foto oleh Johana Purba/Rappler

“Kalau ada orang yang datang ke sini dan bertanya ada kios nggak, saya bilang nggak ada. Kenapa tidak cari di pasar lain?” ucap Oka. 

Orang kreatif di Pasar Santa membuka kerjasama yang luas untuk membangun pasar-pasar di tanah air. “Kalau butuh bantuan, masukan, kita bisa bantu bikin gede. Saran, pendapat dan segala macam kita siap bantu,” tandas Oka.

Pria bertato ini bercerita, sudah ada beberapa grup yang bertandang ke Pasar Santa untuk studi banding. Ada orang Cirebon, Cimahi, bahkan dari Jawa Timur yang datang dan tanya, minta pendapat ke tenant ada masukan apa. Bahkan mereka mengundang tenant untuk membuka cabang di daerah asal mereka. 

Dari sini jelas bahwa pasar memiliki kesempatan untuk berkembang. Namun belajar dari ‘kasus Pasar Santa’, pasar lain punya kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka.

“Misalnya permasalahan parkir itu bukan tanggung jawab tenant, tetapi pengelola pasar. Itu karena kekurangsiapan mereka,” sebut Oka. 

Tergusur

Salah seorang pedagang Pasar Santa yang harus tergusur masih belum tahu akan berjualan di mana. Foto oleh Johana Purba/Rappler

Imbas masalah parkir, para pedagang kaki lima akhirnya rela digusur. 

“Ya gimana, pedagang bawa mobil, pembelinya juga bawa mobil,” kata Eni, pemilik warung nasi yang biasa berdagang di pinggir Pasar Santa. 

Kini warung milik Eni sudah digusur. 

Dia mengaku tidak kesal sama siapa-siapa. “Pedagang mah maunya, di atas ada, di bawah juga ada,” kata Eni. Sejak awal dia sudah tahu resiko berdagang di pinggir jalan yaitu siap digusur kapan saja. 

“Kita kan bayar sewa sama ‘pengurus’ sini aja,” sebut dia.

Jumat pekan lalu, 13 Februari 2015, belasan pedagang kaki lima Pasar Santa menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur. Mereka menuntut adanya kesetaraan hak pedagang kecil dari pemerintah.

Menurut Koordinator Advokasi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHHAM) Arimo Manurung, para pedagang tidak mendapatkan relokasi perdagangan setelah tempat berjualan mereka digusur sebelumnya. 

“Mereka hanya diberi waktu dua kali 24 jam untuk membereskan barang dagangan. Setelah itu digusur, tanpa diberikan tempat dagang pengganti yang layak,” ujar Arimo, seperti yang dikutip Merdeka.com.

Mata rantai ekonomi di Pasar Santa begitu kuatnya mengikat berbagai kalangan. Yang punya uang kelak akan berkuasa. Tapi satu hal yang tidak bisa dibeli uang, semangat.

“Kalau tenant tetap komit, kreatif, passionate, dan nggak terlalu serakah, harusnya pasar ini tetap jalan. Dari awal kita ingin tempat ini tetap sebagai pasar,” tandas Oka. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!