Rosnida Sari: Saya Mau Tunjukkan Aceh yang Toleran Namun Disalahmengerti

Andreas Harsono

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rosnida Sari: Saya Mau Tunjukkan Aceh yang Toleran Namun Disalahmengerti
Pegiat Hak Asasi Manusia Andreas Harsono mewawancari dosen asal Aceh, Rosnida Sari yang dikecam karena mengajak para mahasiswanya untuk belajar toleransi agama di gereja. Apa kata Rosnida soal kecaman terhadapnya?

Pada 5 Januari 2015Australia Plus, sebuah media milik Australia Broadcasting Corporation, menerbitkan esai Dr. Rosnida Sari, dosen Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh, tentang pengalamannya mengajar kelas “Gender dalam Islam.”

Sari mengadakan satu sesi di Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) di Banda Aceh. Tujuannya, mahasiswa mendapatkan kuliah soal bagaimana kekristenan berjuang dengan hak perempuan. (BACA: Dosen Aceh yang ajak mahasiswa ke gereja terancam dinonaktifkan

Esai tersebut bikin geger. Sari dituduh melakukan “permurtadan.” Dia dipersoalkan karena tak pakai jilbab serta merangkul anjing di Australia. Dia banyak dapat kecaman dan ancaman. Hari ketiga, dia meninggalkan Banda Aceh ke Medan lantas terbang ke Jakarta. 

Muhamad Isnur, pengacara LBH Jakarta yang mendampingi Rosnida Sari, mengatakan bahwa kegiatan Sari di gereja tersebut “… murni muamalah, hubungan manusia dengan manusia, tidak ada hubungan dengan pendangkalan aqidah atau ibadah.” Isnur menekankan bahwa perjalanan ke gereja tersebut bagian dari studi, “Tidak ada sesuatu yg mengarah pada pemurtadan.”

Sari menemui beberapa aktivis hak asasi manusia di Jakarta, termasuk saya. Salah satu keinginan Sari adalah menjawab berbagai tuduhan tersebut.

Saya menawarkan diri mewawancarai Sari sesudah dia bertemu dengan Menteri Agama Lukman Saifuddin pada 10 Februari 2015. Saifuddin menekankan soal Kementerian Agama harus melindungi Sari.

Bagaimana ceritanya Anda menulis pengalaman mengajar di UIN Ar Raniry buat Australia Plus?

Info Australia Plus dikirim teman di Melbourne. Saya tertarik karena ia media bagus untuk menunjukkan bahwa Aceh, atau Islam, bukan seseram apa yang mereka lihat di televisi Australia. Saat kuliah di Adelaide, saya suka datang ke sekolah-sekolah dan mengajarkan Islam yang ramah kepada murid-murid.

Ada dosen mengajak saya datang ke kelasnya dan menjelaskan Islam. Saya mengajar bagaimana pakai jilbab, sarung, kopiah, bagaimana shalat, kepada mereka. Ini untuk mengubah image tentang Islam yang jarang terlihat ramah di televisi.

Setelah kembali ke Aceh, saya ingin tunjukkan juga bahwa Islam tidaklah seseram yang mereka bayangkan. Kebetulan saya mengajar tentang gender termasuk pandangan kekristenan.

Saya ingin mahasiswa saya mendapat penjelasan dari orang yang pas … pendeta itu sendiri. Maka mahasiswa itu saya bawa ke gereja.

Saya ingin katakan ke pembaca Australia Plus, “Lihat mahasiswa saya toleran koq. Mereka datang ke gereja dan belajar.” Artinya, mahasiswa saya cukup terbuka untuk belajar hal berbeda.

Ini salah satu cara agar mereka bisa melihat orang yang berbeda. Ternyata niat baik saya disalahartikan.

Dalam Facebook Anda ada gambar Anda memegang anjing dan tidak pakai jilbab?

Kakek saya adalah ulama di Takengon. Beliau punya dua anjing yang dipelihara untuk mengejar babi di kebun. Kami terbiasa dengan anjing. Sesuatu yang mungkin tidak biasa bagi mereka yang di pesisir. Lagipula anjing itu kering. Kalau kering dia kan tidak najis?

Tentang jilbab, ketika kamu berada di negara yang mayoritas berbeda agama dan kamu berada di lingkungan mereka, kamu ingin tahu kehidupan mereka. Apakah kamu mau dilihat aneh karena terlihat berbeda? Mungkin bagi mereka yang hanya hidup di seputaran kampus, terbiasa melihat mahasiswi berjilbab.

Tapi kalau kamu berada di wilayah yang tidak berjilbab? Saya memilih tidak menggunakan jilbab. Ia membuat saya lebih leluasa belajar dan melihat budaya mereka, tanpa dicurigai sebagai pembawa bom dalam ransel. Banyak dari mereka masih mengidentikkan Muslim sebagai teroris, bawa ransel berisi bom bunuh diri. 

Sesudah esai Australia Plus terbit, serta dikutip beberapa media Aceh, apa yang terjadi?

Pagi-pagi sudah ada teman di Australia tag tulisan itu ke laman Facebook saya. Setelah itu ada lagi teman di Aceh lakukan hal sama. Siang harinya, mulailah laman Facebook saya di-tag oleh seorang mahasiswa Aceh, yang selesai belajar di Australia, yang mengatakan hal yang jelek, penuh kemarahan. Mulai ada orang berusaha berteman dengan saya di Facebook.

Lalu muncul telepon-telepon dari orang yang tidak saya kenal. Tidak pernah sepanjang hidup saya ada 100 orang lebih ingin berteman dengan saya dalam sehari. Ada yang namanya seperti asli, ada juga yang nama buatan. Akhirnya saya tutup Facebook. 

Mengapa Anda memutuskan meninggalkan Banda Aceh?

Nyawa saya terancam. Malam kedua, seorang teman menawarkan saya segera keluar dari rumah. Saya mengikuti sarannya. Ternyata benar. Pukul 1 malam ada massa bergerak menuju rumah saya. Untung dihentikan polisi.

Di satu desa, masyarakat sudah terprovokasi dan naik ke mobil bak terbuka untuk datang ke rumah saya. Teman-teman saya minta ibu dan keluarga saya mengungsi, keluar dari rumah. Situasinya sudah tidak aman. Saya meninggalkan Banda Aceh hari ketiga. 

Anda dituduh melakukan “Kristenisasi” bahkan ada istilah “pemurtadan” terhadap mahasiswa Anda. Bagaimana sebenarnya reaksi dari mahasiswa Anda? 

Apa maksud Kristenisasi? Apa ada bukti kalau saya melakukan Kristenisasi? Para mahasiswa yang saya bawa ke gereja malah menguatkan saya, menelepon dan bilang kalau saya sama sekali tidak salah. Mereka yang mengalami kejadian itu. Lalu kenapa orang-orang di luar sana mengatakan bahwa itu salah? 

Namun Senat Fakultas Dakwah UIN Ar Raniry menilai Anda salah dan minta Anda diberi skorsing dua semester, ikut “pembinaan aqidah” serta minta maaf kepada “civitas akademika, rektorat, tokoh masyarakat Aceh, orang tua para mahasiswa maupun masyarakat Aceh” lewat media Banda Aceh. Bagaimana pendapat Anda? 

Yang saya lakukan itu murni sebagai bagian dari pendidikan inclusive, bukan belajar exclusive. Mahasiswa bisa mendengar sendiri dari pendeta atau bhiksu.

Sebenarnya saya juga akan membawa mahasiswa saya berkunjung ke vihara. Ini vihara yang pernah dilempari oleh orang tidak dikenal beberapa tahun lalu. Kalau masih saja ada curiga-curiga, kapan kita bisa bekerja sama dan membangun Aceh?

Apa yang Anda kerjakan di Jakarta? 

Saya mengungsi di rumah seorang kenalan yang mau menampung saya.

Bagaimana tanggapan keluarga Anda terhadap kejadian ini?

Ibu saya mendukung saya dan mengatakan, “Anggap ini jihadmu.” Kami sekeluarga sudah biasa berteman dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama.

Ketika ayah saya masih hidup, kami biasa datang tahun baru ke rumah teman ibu yang beda agama. Teman ibu tadi, datang pas Lebaran. Dalam keluarga kami, itu sudah biasa saling mengunjungi. 

Bagaimana pembicaraan Anda dengan Menteri Agama Lukman Saifuddin? 

Pak Menteri cukup baik. Beliau mendengarkan klarifikasi yang saya sampaikan. Pak Menteri mengucapkan terima kasih kepada kenalan saya, yang menampung saya, di Jakarta. -Rappler.com

Tulisan ini diambil dari blog Andreas Harsono dan sudah mendapatkan izin untuk diterbitkan lagi. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!