Memecahkan problematika beras melalui variasi kuliner dan komunikasi

Kokok Herdhianto Dirgantoro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memecahkan problematika beras melalui variasi kuliner dan komunikasi

EPA

Jika rakyat kurangi konsumsi beras 10-20%, maka akan ada cadangan sisa beras produksi nasional menembus 3,5-7 juta ton per tahun. Bukan hanya swasembada, Indonesia malah bisa ekspor beras.

 

Komoditas beras naik daun. Semua orang ramai membicarakannya karena harganya melesat naik. Bahkan di beberapa daerah harganya mendekati dua kali lipat harga dasar beras yang ada di gudang Bulog.

Jika masuk situs Bulog, maka akan terpampang harga patokan dari Gabah Kering Petani (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), hingga harga beras di gudang yang Rp 6.600 per kilogram. Bulog adalah Badan Urusan Logistik. Tidak ada hubungan dengan artis luar negeri Sandra Bulog. (BACA: Harga beras naik, salah siapa?)

Kok bisa sih terjadi kenaikan dalam waktu singkat dan membebani rakyat? Ada masalah demand-supply? Data Dari data yang saya baca di dokumen RPJMN 2014-2019, ada informasi menarik. Dari 2010-2012, panenan beras di 13 juta hektar lebih sawah di Indonesia menghasilkan beras 34-38 juta ton, sementara konsumsi nasional 33-34 juta ton. Berarti ada kelebihan produksi 10 persen.

Dari data GKG 2013-2014, jumlahnya sudah mencapai 70 juta ton. Berarti secara teori, beras yang dihasilkan lebih tinggi dari 2010-2012. Dengan demikian, seharusnya cadangan beras mencukupi. Di luar negeri juga tidak ada lonjakan harga beras yang dapat mempengaruhi harga dalam negeri. Jadi alasan demand-supply sepertinya jauh dari kenyataan.

Lalu bagaimana pemerintah mengatasi harga beras?

Menghadapi kenaikan harga beras, langkah pemerintah — sama seperti rezim-rezim sebelumnya — melakukan operasi pasar bersama Bulog. Kemampuan Bulog menyerap beras nasional adalah 5-9%. Sisa 91-95% dipegang ‘Bulog Swasta’. Bulog Swasta ini menguasai 90 persen pasokan dan jalur distribusi. Mafia? Entahlah.

Seperti yang sudah-sudah, pemerintah, DPR dan aparat mengatakan akan membasmi mafia beras, mengatur dan menertibkan melalui tata niaga yang rapih. Dan seperti yang sudah-sudah, teriakan basmi mafia komoditas hanya janji palsu. Ya, kalau bahasa anak sekarang PHP (Pemberi Harapan Palsu).

Ok, kita sudahi nyinyir langkah pemerintah dimulai dari paragraf ini. Saatnya memberi masukan. Ringkas saja, pemerintah harusnya menyusun komunikasi dan program strategis untuk menghadapi ketergantungan negeri ini atas komoditas beras dan mafia di sekitarnya. Memang tidak dapat berjalan jangka pendek, namun tidak ada salahnya dicoba.

Pemerintah perlu memiliki program strategis di bidang kuliner yang memanfaatkan lifestyle. Ide ini terinspirasi status Facebook Rahung Nasution akhir tahun lalu. Pria yang menggelari dirinya koki gadungan (ada ya orang yang menggelari dirinya sendiri. Dasar pria aneh), menulis mengenai kuliner Indonesia yang harusnya mampu go international tanpa harus mengikuti @agnezmo.

”Selama pemerintah menganggap talenta memasak adalah skill pinggiran, maka selamanya negeri ini akan susah memenuhi pangan dalam negeri”

Menurut Rahung, selama pemerintah menganggap talenta memasak adalah skill pinggiran, hanya hobi untuk mengisi waktu luang, maka selamanya berkah alam nusantara yang terjadi dalam kuliner nasional akan susah dikenal. Selama kemampuan memasak tidak pernah dianggap setara dengan fisika, matematika, ilmu ekonomi bahkan filsafat, maka selamanya negeri ini akan susah memenuhi pangan dalam negeri. Demikian yang saya rangkum dari Rahung, tentunya saya tambah-tambahi drama sedikit. Mosok saya kalah dengan Saipul Jamil.

Pendek kata, Presiden perlu membuat program serius di kuliner dengan melibatkan SMK, sekolah perhotelan, asosiasi restoran, PHRI, dan pemerintah daerah. Arahnya adalah menjadikan pangan lokal non-beras sebagai variasi kuliner nusantara menjadi pelajaran wajib di sekolah memasak, makanan tersebut harus dihias menarik, diukur kalori dan kandungannya, lalu dipopulerkan di hotel-hotel berbintang. Restoran-restoran dengan makanan utama karbo non-beras diberi fasilitas kemudahan perizinan, bahkan bebas pajak kalau perlu. Dengan demikian kuliner lokal berbasis umbi, jagung, singkong, sukun, sagu akan menjadi tren terutama di perkotaan.

Saya membayangkan nasi jagung Madura dengan lauk ikan dan sambal ditata oleh seorang chef dan menjadi menu mewah di hotel berbintang. Menantang turis asing dan kelas menengah atas dalam negeri untuk menikmati pangan lokal yang dimodernisasi. Keren, kan? Selebchef (istilah baru nih) tentunya mau ikut mengomunikasikan program ini karena merasa talentanya diapresiasi negara. Tinggal lobi televisi untuk membungkusnya menjadi program menarik. Biar isi TV tidak didominasi sinetron aneh seperti Ganteng-Ganteng Neolib, eh, Ganteng-Ganteng Serigala.

Saya juga membayangkan rumah makan kelas menengah dan atas menyajikan papeda kuah kuning tersebar di kota-kota besar di Jawa. Sagu dikomunikasikan sebagai karbohidrat sehat dengan indeks glikemik rendah, bagus untuk pencernaan dan sangat lezat jika dimakan dengan sayuran dan ikan laut. Tiba-tiba lapar saya.

Jajanan berbahan pangan lokal ubi kayu dan umbi-umbian juga dapat ditampilkan dengan modern. Sawut singkong dapat diolah lebih lembut disiram parutan kelapa dan maple syrup. Siapa tahu rasanya matching hehehe. Saya juga pernah makan di sebuah rumah makan yang menyajikan french fries tapi menggunakan bahan sweet potato alias ubi jalar. Rasanya lebih manis dan unik. Ini juga bisa jadi tren.

Presiden dan Wapres berikut jajaran menteri-menteri bisa mengangkat pangan lokal pilihan yang sudah dimodernisasi melalui akun media sosial masing-masing. Tentunya dengan syarat akun presiden dikelola istana, hehehe. Jika tampilan, rasa, dan keunikan pangan lokal memang memadai, secara alamiah para selebtwit sebut saja @unilubis dan @nukman akan menjadi buzzer gratisan atas program ini.

Seorang perempuan melintasi sawah di Bali. Tanah pertanian di Bali makin sempit, karena beralih fungsi menjadi hotel dan kafe. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Foto-foto pangan lokal yang unik akan menggeser #polwantime di linikala @ndorokakung. Itu baru akun yang membantu viral perubahan gaya hidup. Saya juga yakin akun seperti @hotradero akan membahas pangan non-beras dari segi ekonomi, keseimbangan asupan gizi masyarakat Indonesia yang akan meningkat dibanding 10 tahun terakhir.

Poltak Hotradero dengan mudah akan menguliti keunggulan sagu, sukun, jagung dibandingkan beras dan memaparkannya dengan sangat menarik. Bahkan saya yakin @panca66 juga akan aktif memopulerkan makanan non-beras sebagai sumber energi yang baik dan wajib dikonsumsi sebelum memulai perkelahian (Peace, Mas Panca).

Jika program ini berjalan dan menjadi domain publik mengingat begitu banyaknya kelas menengah terlibat ikhlas dan gratis menyukseskannya, dampak utama adalah penurunan konsumsi beras secara nasional dimulai dari perkotaan. Jika seluruh rakyat mengurangi konsumsi beras 10-20%, maka akan ada cadangan sisa beras produksi nasional menembus 3,5-7 juta ton per tahun. Bukan hanya swasembada, Indonesia malah bisa ekspor beras.

”Masyarakat, terutama kelas menengah ngehe, lebih menghormati dan menikmati pangan lokal yang variasinya luar biasa banyak”

Bisnis kuliner berbasis produk lokal akan meningkat. Berpadu dengan pertumbuhan ekonomi kreatif yang mendukungnya. Masyarakat — terutama kelas menengah ngehe — lebih menghormati dan menikmati pangan lokal yang variasinya luar biasa banyak.

Program strategis ini pasti memakan biaya. Namun perkiraan saya sangat rendah dibanding rencana negara membangun 49 waduk yang berbiaya 5-7 triliun per unit, sumbangan traktor, subsidi pupuk, benih, irigasi tersier dan program (maaf) mercusuar lainnya.

Targetnya toh sama, RI swasembada beras dalam tiga tahun. Bedanya, program pengubahan lifestyle biayanya jauuuuuuuuuh lebih rendah dibanding pembangunan fisik yang rawan korupsi dan keterlambatan proyek.

Mungkin kalau presiden tidak (belum) tertarik dengan program sederhana yang minim budget ini, kita saja yang memulai. Bagaimana Kak @unilubis, Mas @nukman? Kapan kita mulai? —Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan wartawan, mantan karyawan bank, kini ia mengelola kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Meski demikian, ia sangat berminat belajar seputar isu ekonomi. Gaya menulisnya humoris, tapi sarat analisis. Follow Twitter-nya @kokokdirgantoro 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!