Laga anti-korupsi Ahok vs DPRD DKI Jakarta (1)

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Laga anti-korupsi Ahok vs DPRD DKI Jakarta (1)

AFP

Ahok meneken APBD 2015 di sidang paripurna DPRD. Mengapa dia meradang soal anggaran ‘siluman’?

UPS. Uninterruptable Power Supply. Kata yang dalam tiga hari terakhir menjadi buah bibir, berseliweran di pemberitaan media dan percakapan di media sosial.  UPS, sebuah perangkat pasokan daya listrik bebas gangguan, menarik perhatian karena pengungkapan kepada publik, melalui media, yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.  

Ahok membuka data penyelidikannya, bahwa 49 sekolah di wilayah Jakarta menerima UPS yang dibeli dengan anggaran “siluman”. Nilainya sekitar Rp 330 miliar, dan ini masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014.

(BACA: Ahok laporkan dugaan korupsi APBD 2015 ke KPK)

Anggaran “siluman”?  Menilik keterangan Ahok di media, yang dimaksudkan adalah anggaran yang muncul bukan dari usulan pihak eksekutif, dalam hal ini adalah dari kepala daerah. Istilah ini digunakan Ahok untuk merujuk kepada anggaran senilai Rp 12,1 triliun pada APBD 2015. Menurut Ahok, bujet itu muncul dari pihak legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, yang dia monitor via e-budgeting.  

“Akhirnya mereka (anggota DPRD) nekat kan, mereka nekat bikin (program) dan ketik sendiri program mereka dan ketahuan tuh (rencana beli) UPS dan lain sampai Rp 12,1 triliun,” demikian Ahok, seperti dimuat media.

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Arie Budiman mengatakan pihaknya tidak pernah mengusulkan pembelian UPS untuk APBD 2015.

Ahok dipuji karena berhasil menemukan dana siluman sebesar Rp 12,1 triliun yang menurut dia lebih baik digunakan untuk rehabilitasi sekolah. Tahapan penyusunan APBD 2015 antara tim eksekutif di bawah kepemimpinan Ahok dengan DPRD bisa dibaca di sini

Lika-liku itu termasuk ditolaknya APBD 2015 yang disampaikan Ahok ke Kementerian Dalam Negeri. Menurut DPRD, APBD 2015 yang disampaikan Ahok, bukan yang disepakati dalam rapat paripurna DPRD DKI.

Padahal menurut UU dan Peraturan Pemerintah, yang diserahkan ke Kemendagri haruslah yang disepakati di rapat paripurna, dan ditandatangani kedua belah pihak, DPRD dan Gubernur sebagai kepala eksekutif di tingkat daerah.  

“Pelaksana anggaran itu eksekutif. Jika eksekutif menemukan ada anggaran yang tidak sesuai prioritas sebagaimana ditetapkan KUA-PPAS, eksekutif bisa meminta pergeseran atau perubahan alokasi anggaran melalui mekanisme pembahasan APBD Perubahan. Itu biasa dan bisa dilakukan.  Kuncinya di eksekutif kok,” kata Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, kepada saya melalui sambungan telepon, Minggu malam, 1 Maret.

KUA, atau Kebijakan Umum Anggaran, dan PPAS, yaitu Platform Penggunaan Anggaran Sementara, memuat rancangan prioritas program untuk setahun ke depan, dan bakal menjadi acuan bagi penyusunan RAPBD.  

”Jika eksekutif menemukan ada anggaran yang tidak sesuai prioritas, eksekutif bisa meminta pergeseran atau perubahan alokasi anggaran”

Misalnya, sebuah daerah memutuskan akan memprioritaskan program swasembada pangan. KUA-PPAS yang dibuat pihak eksekutif akan menyusun program apa saja yang harus dibuat, berapa alokasi bujet, proyeksi pendapatan, sumber dan penggunaan bujet. Semua mendukung program swasembada pangan itu.  Kalau ada yang tidak sesuai prioritas ya dicoret. KUA-PPAS lantas diajukan ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan, karena DPRD memiliki hak anggaran, selain hak angket dan hak interpelasi.

“Sesudah KUA-PPAS disetujui DPRD, itulah dasar komisi DPRD dan pejabat di eksekutif membahas RKA-SKPD. Hasilnya adalah Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, yang kemudian dibawa ke sidang paripurna,” kata Nurdin.  

RKA adalah Rancangan Kerja dan Anggaran, sedangkan SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah. SKPD adalah pengguna anggaran. Kepala dinas dan eselon dua masuk di sini.  

Proses penyusunan APBD ini diatur dalam PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Saya bertanya kepada Nurdin, karena rekam jejak yang bersangkutan mengembangkan Kabupaten Bantaeng. Bupati yang kini menjabat di periode kedua itu banyak diganjar penghargaan, yang bisa disimak di sini.

Nurdin mengatakan, pengalamannya di Bantaeng, anggota DPRD bahkan ikut mengawal proses penyusunan rencana program mulai dari musyawarah rencana pembangunan  di level desa. “DPRD kan punya hak budgeting. Jadi, wajar saja kalau mereka berkepentingan dalam proses perencanaan sejak awal. Tapi eksekusi anggaran kan di eksekutif,” ujar Nurdin. Di Bantaeng, pihaknya menerbitkan peraturan daerah tentang transparansi anggaran.

Gubernur meneken APBD 2015?

Mengingat ada kewenangan penggunaan anggaran, termasuk menetapkan spesifikasi barang ada di eksekutif, memang menjadi pertanyaan mengapa Ahok memilih curhat ke publik soal  dugaan bujet “siluman” Rp 12,1 triliun, padahal APBD itu sudah disepakati di rapat paripurna. Diteken pula oleh Gubernur.  Kalau Ahok tidak setuju, dia bisa menolak anggaran itu saat pembahasan dengan DPRD.

Informasi persetujuan Ahok saya dapatkan dari linimasa Triwisaksana, wakil ketua DPRD DKI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Pada Jumat, 27 Februari, melalui akun Twitternya, Bang Sani, panggilan akrab Triwisaksana menjawab @elisa_jkt: “Pembahasan RAPBD DPRD kan bareng dg TAPD/SKPD pemprov mbak? Saat paripurna bahkan Gub juga ttd persetujuan.”

Puncak dari kisruh APBD DKI Jakarta 2015 adalah hak angket (hak penyelidikan). Sebanyak 106 anggota DPRD DKI menyetujui menggunakan Hak Angket untuk menyelidikan kisruh APBD 2015. Pangkal tolaknya adalah tindakan Ahok mengirimkan APBD versi sendiri, bukan yang disepakati dalam rapat paripurna dengan DPRD, sebagaimana disyaratkan dalam UU dan PP.  

Ahok membalas dengan membuka data anggaran “siluman” pengadaan UPS pada APBD 2014, dan rencana yang sama dari pihak DPRD di APBD 2015.  Ahok juga melaporkan dugaan penyelewengan dalam APBD DKI dari 2012-2015 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Saling balas antara Ahok dan DPRD bisa disimak di sini.

Untuk APBD 2015 yang jadi pemicu kisruh, menurut saya yang perlu dilakukan kedua belah pihak, baik Ahok maupun DPRD adalah membuka kedua versi APBD itu. Versi yang disahkan di rapat paripurna pada 27 Januari 2015. Jumlahnya Rp 73,08 triliun.  

Ahok mengatakan bahwa APBD 2015 yang dia serahkan ke Kemendagri disusun melalui sistem e-budgeting, dimaksudkan untuk transparansi dan menghindarkan dari penyelewengan, termasuk melalui modus “pokir” atau pokok pikiran yang biasanya muncul atas inisiatif DPRD. —Rappler.com


Klik di sini untuk baca bagian kedua dari opini ini


 

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!