#PHVote

Mahasiswa Yogyakarta lawan tekanan ormas dalam pemutaran film ‘Senyap’

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mahasiswa Yogyakarta lawan tekanan ormas dalam pemutaran film ‘Senyap’
Pemutaran film The Look of Silence, atau Senyap, seringkali diwarnai ancaman dan protes. Kali ini, Jogja melawan.

JAKARTA, Indonesia – Untuk kesekian kalinya, pemutaran film The Look of Silence, atau Senyap, diwarnai oleh protes dan tekanan dari organisasi masyarakat.

Pada Selasa pagi, 11 Maret, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta sudah bersiap untuk menyaksikan pemutaran terbuka dan diskusi film Senyap di kampus mereka.

Sayangnya, antusiasme mereka juga dibarengi dengan perasaan was-was akan adanya ancaman atas pembubaran paksa dari organisasi masyarakat yang membawa nama agama. Forum Umat Islam (FUI) dan Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI) disebut-sebut sebagai bagian dari kelompok masyarakat tersebut.

(BACA: TNI nonton ‘Senyap’: Kekosongan pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM)

Sejak pukul 9 pagi, mahasiswa yang was-was sudah berjaga-jaga di depan kampus. Bahkan, beberapa orang yang bukan mahasiswa pun turut membantu memantau keadaan. Tak lama kemudian, penyelenggara mulai menghadapi pelarangan untuk memulai acara.

Di dalam kampus, gedung acara digembok, dan di luar kampus, demonstran berpenutup muka mulai hadir.

Tunggal Pawestri, seorang aktivis yang melaporkan kejadian melalui media sosial, membawa ketegangan tersebut ke dunia maya. Dengan tagar #jogjamelawan, ia menyampaikan apa yang terjadi.

Beberapa saat kemudian, Tunggal melaporkan rektor UIN pun turun tangan. Bapak rektor memberikan sambutan pembuka, namun ternyata sinyal positif yang diberikan tidak berakhir baik. Ia meminta pemutaran film tetap dibatalkan, namun diskusi boleh diadakan.

“Ini rektor bilang sudah diskusi dari hati ke hati sama laskar. Diskusi boleh berlangsung tapi pemutaran tetap dilarang! What!” kata Tunggal melalui Twitter.

“Mic direbut oleh mahasiswa. Pelarangan harus dibuktikan. Kebebasan mimbar akademik harus dijaga!”

“Eh pak rektor UIN bilang boleh setel film, tapi film tentang Rasulullah. #senyap #jogjamelawan #iniserius,” cuitnya lagi.

Akhirnya rektor menyerah dan keluar ruangan. Sayangnya, di luar kampus ia harus menghadapi demonstran.

Tidak ada bentrok fisik yang terjadi. Demonstran akhirnya membubarkan diri dan pemutaran film bisa dilanjutkan hingga selesai.

 

Senyap adalah film dokumenter tentang korban pembantaian massal tahun 1965 karya sutradara asal Amerika Serikat Joshua Oppenheimer. Dalam pembuatan dan produksinya, ia bekerja sama dengan kru dari Indonesia yang, demi alasan keamanan, memilih menggunakan nama Anonim.

Salah seorang Anonim menyatakan kepada Rappler bahwa ketegangan hari ini memang sudah diprediksi.

“Beberapa hari sebelumnya kami sudah dapat broadcast (message) dan lihat di media sosial. Kami juga sudah terima undangan baik dari kelompok penentang dan pihak yang ingin meramaikan pemutaran,” katanya, Rabu, melalui sambung telepon.

Setelah pembicaraan berhari-hari, panitia bersikukuh untuk tetap menyelenggarakan pemutaran film.

(BACA: Violence anti-communism is alive and well in Indonesia)

“Bukan masalah pemutarannya, ini adalah perlawanan mereka atas pemaksaan kehendak dan penggunaan kekerasan,” ujar Anonim.

“Dalam demokrasi penyampaian pendapat tidak boleh tunduk pada ancaman kekerasan. Lagipula, sebenarnya masyarakat yang tidak setuju itu jumlahnya tidak banyak. Mereka membuat suaranya lebih keras dengan menggunakan kekerasan. Ini yang harus ditolak. Kalau diterima terus, ini akan menghantui Indonesia.”

Sebenarnya, tim produksi Senyap sudah mengetahui bahwa pertentangan akan terjadi ketika film ini ditayangkan. Film sebelumnya, The Act of Killing, atau Jagal, juga menerima tekanan yang sama dari berbagai organisasi masyarakat.

“Kami mengetahui bahwa film ini akan menjadi kontroversi karena selama ini hanya satu versi cerita yang tidak lengkap dan isinya dipenuhi oleh propaganda dan fitnah. Ini menjadi propaganda selama puluhan tahun, salah satunya melalui film Penghianatan G30S/PKI,” lanjut Anonim.

“Mitos yang dibangun di atas kuburan massal itu masih berkembang, bahkan pengaruhnya melampaui hidup Soeharto sendiri.”

Ke depannya, gerakan #jogjamelawan ini diharapkan bisa mendorong keberanian pihak-pihak lain untuk mengobarkan kebenaran.

“Tekanan kekerasan tidak akan menghentikan kami. Kalau hanya masalah takut, sih, sudah sejak 10 Desember (2014, pemutaran publik perdana film Senyap). Semua selalu pasang surut. Kami dapat dukungan dari IKJ (Institut Kesenian Jakarta), dari Komnas HAM, kemudian muncul tekanan-tekanan, tapi tidak pernah berhasil menghentikan kami,” ujar Anonim.

“Hingga hari ini sudah 2.500 pemutaran di seluruh Indonesia. 600-700 di antaranya merupakan pemutaran terbuka. Kalau tidak bisa mengadakan pemutaran terbuka, bisa pemutaran tertutup, penyebaran CD, dan nanti akan kita unggah gratis,” sambungnya.

“Saya yakin, kalau kita bisa bertahan, memilih tempat yang sesuai dan aman, serta ada keinginan kuat, upaya menakut-nakuti tidak akan berhasil. Kita tidak perlu takut lagi,” pungkas Anonim. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!