Surat rakyat buat wakilnya: Dana parpol Rp 1 triliun masuk akal

Iqbal Aji Daryono

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Surat rakyat buat wakilnya: Dana parpol Rp 1 triliun masuk akal

EPA

Begitu dengar ide Rp 1 triliun itu, banyak orang berteriak. Marah, sinis. Tapi blogger ini mengaku tahu kondisi yang sesungguhnya tidaklah sesimpel yang orang pahami.

Para anggota dewan yang terhormat, izinkan saya, rakyat biasa yang telah memilih Anda-Anda sebagai wakil kami, sesekali memberikan dukungan yang tulus dari lubuk hati.

Kita tahu, Bapak Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melontarkan usulan yang maha-brilian, yakni agar setiap partai politik mendapatkan anggaran tambahan Rp 1 triliun per tahun. Gagasan cerdas itu pun segera disambut kompak di Senayan. Saking kompaknya, tak ada lagi itu gap antara koalisi ini dan koalisi itu.

Dana tersebut memang bukan untuk Anda, para anggota dewan, melainkan untuk partai politik. Namun parpol adalah rumah tinggal Anda semua. Sementara, Anda-Anda yang kini tengah bekerja keras demi rakyat di gedung-gedung dewan, adalah tulang punggung parpol masing-masing.

Alkisah, begitu mendengar ide canggih Rp 1 triliun itu, banyak orang berteriak. Marah, sinis, protes. Abaikan saja mereka. Saya pribadi tahu, kondisi yang sesungguhnya tidaklah sesimpel yang orang-orang itu pahami.

Segalanya memang dimulai dari majunya Anda-Anda semua sebagai wakil kami. Saya yang gaul ini tentu mengerti, sejak langkah awal pendaftaran calon anggota dewan ke partai politik pun Anda sudah keluar biaya. Banyak, jauh dari sekedar uang rokok. Partai selalu butuh oli untuk memutar mesinnya. Partai juga mengayomi banyak mulut yang terus menganga dan menggantungkan hidup dari sana. 

Jadi, sangat wajarlah ketika partai meminta biaya pendaftaran yang tinggi untuk tokoh-tokoh yang akan dimajukan sebagai calon anggota dewan. Istilah sakralnya: mahar. Ini perkara lumrah sekali.

Itu baru pembukaan. Tahap selanjutnya, setelah Anda positif menjadi calon wakil rakyat, Anda harus berkampanye. Tanpa promosi yang hingar-bingar, mustahil Anda dilirik calon pembeli. Maka muncullah rentetan pengeluaran untuk pasang baliho-baliho, spanduk-spanduk, dan tak ketinggalan ongkos cetak ribuan kaos yang memajang besar-besar nama Anda. Lengkap dengan tagline cakep di bawahnya: “Jujur, Amanah, Siap Bekerja untuk Rakyat”.  

Cukup? Belum. Anda harus merekrut tim sukses, dan menggelar rapat-rapat di rumah Anda. Hampir setiap malam selama musim kampanye, rapat koordinasi dijalankan. Mana sudi para timses itu Anda suguhi singkong dan ubi rebus? Belum lagi ongkos bensin dan pulsa, yang terus masuk ke tagihan atas nama Anda.

Bila bicara dana parpol Rp 1 triliun, tak ada lagi perbedaan pendapat antara koalisi ini dan koalisi itu. Foto oleh Adek Berry/AFP

Lanjut. Di daerah-daerah yang potensial mendukung Anda, para warga cukup cerdas menangkap peluang bisnis. Anda butuh mereka, mereka butuh Anda. Maka mereka pun sowan ke rumah. “Pak, kami seluruh warga kampung Jambu siap mencoblos Anda. Tapi sudah lama gedung pertemuan serbaguna kami butuh renovasi.” Atau, “Bu, jalan menuju masjid di kampung Duku sudah lama butuh dicor semen. Kalau Ibu berkenan membantu, kami juga siap membantu Ibu.”

Ya, mungkin cor jalan dan renovasi tembok serbaguna tak banyak menyedot biaya. Tapi ada berapa ratus kampung yang membutuhkan uluran tangan dermawan Anda? Maka, dengan ikhlas Anda pun merogoh dompet. “Itu politik uang!” teriak beberapa anak muda yang masih asyik-asyiknya aktif di gerakan mahasiswa. Ah, tak perlu dengarkan mereka. Mereka cuma ababil. Ini murni profesional, bukan? 

Anda boleh berikan cor jalan, tapi kompetitor bangun gapura. Anda boleh belikan cat tembok baru di gedung pertemuan, kompetitor sumbang lapangan badminton. Maka, tak terhindarkan, perhelatan acara wajib Anda amankan. Caranya gampang, setiap warga harus diberi pelega hati. Tidak banyak, memang. Per orang cuma senilai tiga-empat liter bensin. Tapi coba kalikan saja dengan berapa puluh ribu kepala.

Singkat cerita, jumlah suara yang mendukung Anda cukup bulat untuk mengantarkan ke kursi dewan. Alhamdulillah, hasil kerja keras yang tak sia-sia. 

Sudah? Ternyata belum. Anda harus menghelat syukuran, makan-makan, juga menyisipkan bonus kepada semua anggota timses yang telah berjasa menyukseskan Anda. Ternyata banyak sekali ya, mahar yang harus dikeluarkan untuk bisa berjuang mewakili rakyat. Konon, menurut pasaran terakhir, untuk duduk di Senayan saja angka Rp 10 miliar masih mepet. 

Benar begitukah, Bapak-bapak dan Ibu-ibu? Saya yakin itu benar. Dan karena itulah saya sangat memaklumi betapa berat kondisi ekonomi Anda semua.

Karenanya, ketika gagasan Rp 1 triliun itu muncul, inilah jalan keluar yang selama ini dinanti. “Sepakat! Ide ini adalah solusi agar anggota dewan terhindar dari korupsi!”

Tibalah saat bekerja. Anda lihat, ternyata gaji anggota dewan tak seberapa. Padahal Anda sudah menggadaikan sertifikat tanah untuk investasi yang miliaran itu! Bagaimana menyelamatkan tanah warisan dari sitaan bank? Terpaksalah, Anda menyentuh juga lembar-lembar di luar struk gaji. 

Ada banyak sekali. Pengadaan fasilitas, itu langkah-langkah pertama. Mulai mobil dinas hingga jas. Lalu kunjungan kerja, itu yang paling biasa. Uang sakunya bisa belasan kali lipat dari gaji resmi bulanan. Apalagi studi banding ke luar negeri yang standarnya dolar. Perkara hasil dari kunjungan itu apakah sesuai dengan ekspektasi, itu perkara nanti. Yang jelas Anda harus mengembalikan modal yang telanjur keluar.

Tapi break even point belum juga tercapai. Tenang saja, masih banyak peluang lain. Proyek-proyek pemerintah adalah cemilan berikutnya. Anda bisa ikut tender dengan bendera perusahaan yang tinggal dibikin di notaris sebelah rumah, dengan jaminan pemenangnya nanti sudah pasti Anda. Kuncinya tinggal seberapa rajin Anda berkunjung ke kantor-kantor departemen yang menggawangi proyek-proyek itu, dan memegang tengkuk para pentolan instansi. 

Demikianlah, segalanya berlangsung sebagaimana mestinya. Hingga tiba-tiba Anda sadar bahwa partai politik tempat Anda bernaung membutuhkan perhatian Anda. Potongan sekian persen gaji Anda-Anda semua ternyata jauh dari cukup. Dana rutin dari APBN selama ini juga tak bisa menutupi. Padahal Rakernas akan segera digelar di Bali, dan partai butuh uang yang tidak sedikit. Yang seperti itu berlangsung terus menerus. Anda direcoki kepentingan keuangan partai, sehingga mengganggu kinerja Anda dalam memperjuangkan rakyat!

Karenanya, ketika gagasan Rp 1 triliun itu muncul, inilah jalan keluar yang selama ini dinanti. “Sepakat! Ide ini adalah solusi agar anggota dewan terhindar dari korupsi!” teriak Anda lantang sekali. 

Seorang pemilih memasukkan surat suara ke kotak suara pada pemilihan umum 2014 lalu.
Foto Dhana Kencana/EPA

Malam ini dengan jernih saya merenung. Benar sekali ide Bapak Mendagri itu. Segalanya sangat masuk di akal. Jika organisasi partai sudah berkecukupan, segala problem bisa diudar satu demi satu. Mulai dari rekrutmen calon wakil rakyat, partai tak perlu meminta mahar yang besar. Bibit-bibit unggul dari tengah masyarakat bisa dimajukan, tanpa harus terlalu peduli dengan seberapa besar kocek mereka. 

Dengan demikian, tak akan lagi terdengar cerita-cerita pilu. Misalnya cerita pada Pemilu lalu, ketika Ketua Umum Partai Anu yang sangat cerdas itu justru gagal duduk di Senayan, hanya karena dikalahkan bocah ingusan yang anak seorang jenderal berkantong tebal. Tak akan lagi terdengar ceritanya para calon wakil rakyat menggadaikan tanah dan rumah, sebab ongkos pencalonan diri sudah bisa diturunkan.

Lebih jauh lagi, selama masa bakti, anggota dewan tidak akan dituntut terlalu berat untuk mengembalikan utang modal. Mereka pun tak akan direcoki permintaan partai untuk kebutuhan ini-itu. Efeknya jelas sekali, yaitu wakil rakyat tidak akan perlu sabet sana sabet sini, mengambil proyek sana-sini, merancang kunjungan ke sana dan ke sini. Semua itu akan segera menjadi cerita masa lalu. Setelah dana Rp 1 triliun dicairkan setiap tahunnya, para anggota dewan akan jauh lebih maksimal berkonsentrasi memikirkan kepentingan rakyat. Logis sekali, bukan? 

Maka, saya 100% mendukung gagasan brilian ini. 

Namun, syaratnya satu: sosok-sosok yang duduk di kursi dewan dan di partai-partai memang harus mereka yang sama sekali baru, yang tidak menanggung beban modal kampanye yang sangat besar itu. Jika masih saja sama dengan Anda-Anda yang sekarang ini duduk di sana, bagaimana bisa saya percaya? Anda masih harus mengembalikan investasi, bukan? Sejauh apa uang triliunan itu mampu membebaskan Anda dari kebutuhan bermain-main dengan pengadaan dan proyek jalan-jalan? 

Jadi, cairkanlah dana triliunan itu. Syaratnya, beri kami jaminan, manusia-manusia yang ngendon di parpol-parpol itu, termasuk yang duduk di kursi dewan, bukan lagi Anda. Turunlah dulu Anda semua, berhentilah pada 2019 nanti. 

Setelah Pemilu Legislatif 2019, mari realisasikan dana itu, dan kita memulai lembaran baru. Apa kali ini Anda setuju? —Rappler.com

Iqbal Aji Daryono adalah seorang penulis lepas yang kini sedang bermukim di Australia. Follow Twitter-nya, @IqbalKita.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!