Kisah empat sekawan mengukir giok Aceh

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah empat sekawan mengukir giok Aceh
Warga Aceh antusias demam batu giok. Mereka berharap tren ini bertahan lama karena banyak yang menggantungkan hidup mereka di industri ini.

BANDA ACEH, Indonesia – Puluhan rencong dipajang di atas rak lemari kaca setinggi satu meter. Senjata tradisional Aceh berbagai ukuran mulai 10 hingga 40 centimeter memancarkan warna hijau, hitam, dan putih di bawah siraman cahaya lampu lantai 3 Pasar Atjeh di pusat ibukota Banda Aceh.

Berbeda dengan rencong yang selama ini beredar di pasaran, suvenir itu terbuat dari batu giok. Biasanya bahan untuk membuat rencong dari besi. Sedangkan, giok diasah menjadi mata cincin. Tetapi di tangan Fera Buanto, 25 tahun, bersama tiga rekannya, batu giok diasah menjadi rencong untuk suvenir.

Selain rencong, keempat pengusaha batu mulia asal Kabupaten Nagan Raya di Aceh bagian barat juga mengukir giok dalam berbagai bentuk seperti aneka jenis binatang, bunga, mobil-mobilan, tongkat komando, granat manggis, mata cincin wujud hewan, papan nama pejabat, liontin seperti dedaunan, dan cincin siap pakai. Semuanya dari giok, tanpa campuran bahan lain.

“Kami juga mengasah mata cincin seperti yang umum dijual, tapi itu hanya sambilan saja karena fokus usaha kami mengukir giok dengan aneka bentuk,” tutur Fera ketika diwawancarai Rappler Indonesia di Banda Aceh, Rabu, 11 Maret 2015.

(BACA: Pameran batu giok dan akik di Aceh targetkan transaksi Rp 4 miliar)

Pria belum menikah yang lebih senang disapa Fera Kato bersama tiga rekannya: Agus Didilianti, 31 tahun; Zulfikar, 33 tahun dan Dedi, 30 tahun, berada di ibukota Provinsi Aceh sejak Kamis petang, 5 Maret 2015, untuk ikut pameran dan kontes kontes batu cincin tingkat nasional yang berlangsung lima hari hingga Rabu dinihari.

“Batu kami menang untuk kategori black jade (giok hitam) dalam kontes,” ujar Fera Kato, seraya menambahkan, total keuntungan mereka raih dari acara pameran itu hampir mencapai Rp 100 juta.

Sebuah rencong sepanjang 40 centimeter yang bahannya dari nefrite dibeli seorang turis Jepang senilai Rp 5 juta. Suvenirrencong itu cukup berkesan karena gagangnya seperti kupiah meukeutop (kopiah kebesaran dalam adat Aceh) dan di matanya ada ukiran kalimat, ‘Bismillah hir-Rahman nir-Rahim’ dalam bahasa Arab.

Selain itu, ada juga sebatang tongkat komando yang dibeli seorang tentara seharga Rp 10 juta. Beberapa rencong ukuran kecil juga dibeli pengunjung pameran. Idocrase super seberat 5 kilogram yang mereka bawa dijual pada seorang pencinta batu giok seharga Rp 25 juta.

“Yang saya sangat berkesan ada seorang pengunjung dari Bandung yang memborong 15 biji liontin berbentuk daun ganja. Kata warga Bandung itu, liontin ini adalah oleh-oleh tak terlupakan dari Aceh,” tutur Agus, seraya menambahkan harga sebiji liontin itu Rp 400 ribu.

Untuk membuat berbagai macam suvenir bukan sembarang giok, tetapi bahan super dari jenis black jade dan nefrite. Di kalangan pencinta batu mulia di Aceh, black jade biasa disebut “blek jek”. Harga bongkahan black jade seberat 1 kilogram biasanya dijual hanya Rp 250.000 dan mudah didapat. Untuk kategori super bisa tiga kali lipat.

Berawal dari suka

Suasana lelang batu cincin di kontes batu cincin tingkat nasional yang digelar di Pasar Atjeh, Banda Aceh, Selasa, 10 Maret 2015. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Fera Kato dan tiga rekannya mulai menyukai batu mulia sejak 2010. Mereka sering “berburu” giok bersama warga lain di kawasan pegunungan yang ada di Nagan Raya. Tapi empat sekawan itu tak tahu nama-nama jenis batu.

“Paling orang-orang di kampung kami bilang batu hijau,” jelas Agus mengenang awal mula mereka ‘jatuh cinta’ kepada batu, sambil tertawa. “Kami baru tahu nama-nama batu seperti indocrase, nefrite, solar, black jade, tahun 2013 lalu.”

Disebutkan bahwa waktu itu, harga nefrite super cuma Rp 40.000 per kilogram. Kini, ketika booming batu mulia melanda Indonesia sejak setahun terakhir, nefrite super bisa mencapai Rp 2 juta per kilogram.

“Dulu giok solar super hanya Rp 250.000 per kilogram. Sekarang harganya mencapai puluhan juta sekilo,” ujar Fera Kato, yang gagal menamatkan kuliahnya pada Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. “Solar tidak biasa dibuat suvenir karena kurang keras.”

(BACA: Ketika demam batu giok dan akik melanda Aceh)

Sebagian besar stok giok berbagai jenis yang mereka cari di gunung atau membelinya dari warga, disimpan di rumah. Sekitar delapan bulan lalu, saat demam batu semakin melanda rakyat Aceh, mereka membuka “Kato Gemstone” di Suka Makmue, ibukota Nagan Raya.

“Karena lokasi gerai kami agak jauh, tak banyak orang yang datang membeli. Apalagi banyak warga membuka kios asah mata cincin di pusat kota sehingga usaha kami tak laris,” kata Fera Kato, yang masih aktif sebagai pengusaha konstruksi.

Kemudian, empat sekawan itu berembuk untuk menciptakan sesuatu yang berbeda. Akhirnya, mereka memutuskan membuat aneka suvenir giok. Tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu mengasah giok dalam bentuk ukiran. 

Setelah ikut pameran di Tangerang

Pada September 2013, mereka memutuskan ikut pameran batu mulia di Tangerang, Provinsi Banten. Di sini, Fera Kato bertemu seorang ahli ukiran asal Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Fera Kato membujuk ahli ukir itu bersedia datang ke Aceh, “tapi dia tak mau karena banyak pekerjaan di Tangerang.”

Ahli ukir itu memperkenalkan Fera Kato dengan Asep Setia Bangga, seorang pria asal Bandung, yang juga mahir mengukir. Fera Kato mengaku sangat senang karena Asep bersedia dibawa ke Aceh. Ketika keempat sekawan itu pulang ke Aceh, Asep juga ikut bersama mereka.

“Asep memang benar-benar orang seni. Semua ukiran mampu dibuat secara manual dengan mesin grinder,” tutur Fera Kato. “Kalau mengasah batu cincin bisa dua pekan baru selesai, tapi untuk membuat ukiran bisa dia kerjakan dua hari. Asep suka sekali dengan tantangan. Semakin rumit ukiran, makin dia suka.”

Empat sekawan membayar Asep Rp 10 juta  per bulan. Mereka juga memperkerjakan empat warga setempat yang bertugas untuk membersihkan dan mengkilatkan hasil ukiran Asep. Seiring makin lancarnya bisnis suvenir giok, Agus mulai dapat mengasah suvenir dedaunan setelah belajar pada Asep.

Mereka juga bersedia mengukir giok milik orang lain. Banyak pelanggan yang minta dibuatkan aneka suvenir dalam jumlah besar. Biasanya, para pelanggan itu menjual ke Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia. Ongkos mengasah suvenir itu mulai Rp 150.000 hingga Rp 5 juta per biji.

“Sekarang banyak orang yang minta dibuatkan ukiran sehingga mereka harus tunggu seminggu baru selesai,” jelas Fera Kato.

Sebelum giok diukir menjadi suvenir, bahannya disortir karena jika ada retak sedikit saja tidak bisa diasah. “Suvenir yang kami ukir dari bahan tunggal. Karena bahannya sudah disortir dari giok kualitas bagus, maka saat mengasah atau mengukir tidak ada yang patah,” katanya.

Dia mengaku memilih bisnis ukiran giok karena banyak orang suka pada seni. Apalagi harga yang dipatok terjangkau mulai Rp 100.000 hingga Rp 10 juta. “Meski bahannya super, tapi yang penting adalah orang bisa beli karena orang kan ada keperluan lain juga. Kami ambil untung sedikit saja,” ujarnya, sambil menyebutkan dalam sebulan, omset usaha empat sekawan mencapai Rp 100 juta.

“Kami ingin booming batu ini bisa bertahan lama karena banyak orang menggantung hidup dari sini. Melalui giok ukiran, kita bisa terus berkreasi dengan model berbeda. Kalau hanya mengandalkan batu cincin, suatu saat orang akan bosan.” –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!