Nenek Asyani dan sepotong kenangan pahit di penjara

Oryza A. Wirawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nenek Asyani dan sepotong kenangan pahit di penjara

EPA

Asyani tak bisa tidur nyenyak di penjara. Apa yang membuat ia ketakutan? Rappler mengunjungi nenek berumur 70 tahun ini setelah dijadikan tahanan rumah karena dituding mencuri kayu.

 

SITUBONDO, Indonesia —”Saya ingin buang air kecil.” Permintaan sederhana lirih keluar dari bibir Asyani. Perempuan berusia 70 tahun itu tergolek lemah di ranjangnya. Ia dipapah salah satu kerabatnya ke kamar kecil di rumah tetangga.

Rumah Asyani yang berukuran 4 x 6 meter tak memiliki kamar kecil. Rumah di Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situndo, Jawa Timur, itu sebagian terbuat dari batu dinding bata dan sebagian lagi terbuat dari papan kayu triplek.

Hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu, dan sebuah dapur. Dinding dapur terbuat dari sesek atau anyaman rotan. Tak ada kompor dengan tabung elpiji 3 kilogram yang biasa dimiliki warga miskin.

“Sudah dijual. Ibu memasak dengan tomang (tungku dari batu bata),” kata Abdus Syukur, menantu Asyani, saat Rappler berkunjung ke rumahnya, Selasa, 17 Maret.  

Di luar dapur, ada WC yang tak terpakai dan tergenang air kecoklatan. “Kami tak punya uang untuk membangun kamar kecil,” kata Syukur.

Tak banyak perabot di rumah itu. Di ruang tamu hanya ada satu lemari kecil. Tak ada kursi dan meja.

Hari itu, hanya ada satu karpet berwarna biru kusam dan sebuah tikar. Asyani tidur di atas ranjang. “Itu pun ranjang pemberian orang,” kata Syuaib, anak ketiga Asyani.

“Ibu saya adalah orang paling kaya sedunia,” tambah Syuaib, tersenyum. Syukur tersenyum pula mendengar ucapan sang adik ipar.

Nenek Asyani yang sedang mendapat tuduhan pencurian kayu di Situbondo diperiksa oleh petugas kesehatan di rumahnya, Selasa, 17 Maret 2015. Foto oleh Oryza Wirawan/Rappler

Namun, seperti lagu musik legendaris Indonesia God Bless Rumah Kita, bagi Asyani, tak ada yang seindah rumah sendiri. “Saenan neng e bungkoh. Kaule takok e okom pole,” katanya dalam bahasa Madura. Artinya, lebih enak di rumah sendiri, dan ia takut masuk penjara lagi.

‘Takok e okom pole’ atau takut dipenjara lagi. Rasa takut itu masih membayangi Asyani. “Kaule tak bisa tedung, kepekkeran terros. Kaule pon toah engak nekah,” katanya. Ia mengaku tak bisa tidur, dan terus memikirkan kemungkinan dirinya menjalani masa tua di bui. 

‘Ibu saya bukan pencuri’

Asyani sudah menjalani masa penahanan sejak 15 Desember 2014 di Lembaga Permasyarakatan Situbondo, dan mendapatkan penangguhan penahanan pada Senin, 16 Maret.

Gara-gara 7 potong kayu jati, ia dijerat dengan pasal 12 juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukumannya 5 tahun penjara.

Syuaib merasa terpukul melihat nasib sang ibu. “Ibu saya bukan pencuri. Tujuh kayu yang dibawanya itu adalah kayu kecil dengan diameter 5-6 centimeter dan panjang 1,5 meter. Kayu itu mau dibikin kursi atau semacam dipan atau tempat tidur kecil untuk memijat anak,” katanya.

Asyani dikelilingi keluarganya di rumahnya yang sederhana di Situbondo. Foto oleh Oryza Wirawan/Rappler

Asyani selama ini memang dikenal sebagai tukang pijat anak. Dari sekali memijat, ia diupah Rp 5.000 saja. “Kalau saya tidak cocok dipijat sama ibu, soalnya sudah tua dan tidak punya tenaga. Tapi banyak orang kasihan dan memakai jasanya,” kata Syuaib.

Asyani biasa hidup sendiri di rumah dan mencari nafkah sendiri, sejak sang suami Sumardin meninggal dunia. Empat orang anaknya tinggal di tempat lain. Terdekat adalah Linda, putri keduanya, yang tinggal di belakang rumah.

Empat anak Asyani tahu kondisi sang ibu. Namun mereka juga dilipat kemiskinan dan tak berdaya untuk membantu. 

Mereka sebenarnya memiliki rumah di Dusun Secangan, Kecamatan Jatibanteng, namun rumah yang tak seberapa besar itu dijual untuk biaya pengobatan Sumardin yang menderita sakit liver, sebelum meninggal dunia 6 tahun lalu. 

Juli 2014 silam, Asyani mengambil 7 batang kayu di Secangan. Keluarga Asyani menyatakan, kayu itu sudah lapuk dan diambil dari lahan yang dulu menjadi milik orang tua Asyani, bukan di lahan Perhutani, sebuah badan usaha milik negara (BUMN).

“Lahan itu sudah dijual ke orang lain. Saya lupa kapan itu dijual. Lama sekali sudah. Namun sebelum dijual, sejumlah pohon jati di sana sudah dipotong kecil-kecil,” kata Syuaib. Potongan-potongan itulah yang dibawa Asyani.

Namun Perhutani berkata lain. Asyani ditangkap dengan tuduhan serius. Sebagaimana dilansir di media massa, 11 Maret 2015, Sekretaris Divisi Regional Perum Perhutani Jawa Timur Yahya Amin di Surabaya menyatakan, awalnya ada dua pohon jati dengan keliling 115 sentimeter dan 105 sentimeter hilang.

Lebih panjang dan lebar dari diameter yang diakui Asyani, yakni diameter 5-6 centimeter dan panjang 1,5 meter. Hilangnya 2 pohon jati menyebabkan kerugian Rp 4,323 juta.

Polisi hutan dan aparat kepolisian setempat menggelar operasi gabungan pada 7 Juli 2014, dan menyita 38 kayu jati ilegal di rumah Cipto, yang bekerja sebagai tukang kayu di Dusun Secangan.

Ukuran kayu-kayu itu beragam, mulai dari 90 x 3 x 8 centimeter hingga 200 x 2 x 15 centimeter dan terkecil 90 x 3 x 8 sentimeter.

Nenek Asyani didampingi seorang anggota keluarga saat beranjak keluar rumah. Foto oleh Oryza Wirawan/Rappler

Keluarga Asyani terkejut, karena barang bukti yang diajukan di persidangan berbeda dengan yang mereka yakini. Perhutani melaporkan, Asyani ikut mencuri 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi Perum Perhutani Resor Pemangkuan Hutan Jatibanteng, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Besuki, Sub-Kesatuan Pemangkuan Hutan Bondowoso Utara, Kesatuan Pemangkuan Hutan Bondowoso.

“Mana mungkin ibu saya kuat membawa kayu-kayu sebesar itu? Ibu saya membawa beras 5 kilogram saja tidak kuat,” kata Syuaib.

Sulistyo Wardono, salah satu tetangga, juga tak percaya Asyani menggangsir kayu Perhutani. “Bagaimana mungkin memotong dan membawa kayu milik perhutani? Untuk jalan saja, Ibu Asyani harus dibantu,” katanya.

Berita mengenai Asyani mengejutkan banyak orang. Bupati Situbondo Dadang Wigiarto dan Wakil Bupati Rachmad mengajukan diri sebagai jaminan, agar sang nenek bisa mendapatkan penangguhan penahanan. Senin, majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo mengabulkan permohonan penangguhan penahanan.

Syuaib berharap agar ibundanya dibebaskan dari ancaman hukuman penjara. “Ibu saya sudah tua. Kalau terjadi apa-apa di sana, seandainya sakit atau mati di penjara, pas gimana,” katanya. 

Selama di tahanan, kondisi tubuh Asyani anjlok. Bahkan di persidangan ia sempat tak sadarkan diri. Setibanya di rumah, kondisinya belum membaik. “Tadi pagi pingsan,” kata Linda.

Petugas medis secara intensif memantau kondisi Asyani. Arkan Wahyudi, petugas kesehatan puskesmas setempat, meminta kepada keluarga agar memindahkan Asyani ke puskesmas.

“Ia harus diinfus. Kondisi tubuhnya lemah, karena kurang cairan,” katanya.

Namun Asyani menolak. “Bikinkan saya tajin saja,” katanya dalam bahasa Madura. Tajin adalah sebutan untuk bubur khas Madura.

Asyani dan keluarganya masih risau soal biaya yang harus dikeluarkan jika harus ke puskesmas. “Tidak usah takut. Tidak usah bayar, gratis,” kata Arkan, meyakinkan.

Sejumlah wartawan yang berada di rumah Asyani juga membujuk Syukur untuk membawa sang ibu ke puskesmas. “Ya, nanti kami akan bawa,” katanya, akhirnya.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!