Love and Relationships

Menuju Pilkada Surabaya: Siapa pesaing Risma?

Ahmad Santoso

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menuju Pilkada Surabaya: Siapa pesaing Risma?
Peta politik Surabaya jelang pemilihan walikota dibagi menjadi tiga: Politisi, jurnalis, dan artis. Siapa yang mampu geser walikota terbaik Risma?

SURABAYA, Indonesia — Tahun 2015 adalah tahun politik panas bagi kota bercuaca panas, Surabaya. Setidaknya pada tahun inilah pemilihan kepala daerah (pilkada) akan digelar. Jika tak ada aral melintang, pemilihan walikota (pilwalkot) akan digelar Desember mendatang. 

Untuk memetakan peta politik pada pilwalkot nanti, dari bakal-bakal calon yang bermunculan, kita bisa membaginya menjadi tiga: Politisi, jurnalis, dan artis.

Risma dibayangi wakilnya sendiri

Dari beberapa politisi tulen yang ada di Surabaya, nama Wisnu Sakti Buana menjadi satu-satunya politisi yang berpeluang besar bertarung di pilwalkot nanti.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai tempat Wisnu bernaung adalah partai pemenang pemilu di Surabaya. Perolehan 15 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sudah cukup untuk membuat Wisnu maju sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1/2014 tentang Pemilu Kepala Daerah, syarat minimal pencalonan adalah dukungan oleh partai yang memiliki 20% kursi DPRD atau 25% suara ketika pemilu. 

Total anggota DPRD Surabaya saat ini berjumlah 50 orang. Dengan perolehan 15 kursi, otomatis PDI-P di DPRD telah menguasai dewan dengan 30% suara.

Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana. Foto oleh Wikipedia

Sebagai ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI-P Surabaya, amat mudah bagi Wisnu menggeret simpatisan PDI-P di Surabaya untuk satu suara mendukung dirinya. Dalam rapat kerja cabang yang digelar Minggu, 15 Maret, semua kader sepakat tak memunculkan nama Risma di pilwalkot nanti.

“Tidak ada satupun PAC (pengurus anak cabang) yang mengusulkan nama Risma. Mereka menganggap Risma bukan kader PDI-P. Coba tanya Risma, apakah dia punya KTA (kartu tanda anggota) partai? Tentu saja tidak, karena dia bukan kader partai,” kata Ketua Rakercab PDI-P Surabaya Budi Leksono secara menggebu-gebu kepada Rappler, Minggu malam. 

Sekencang apa pun kader di bawah berteriak mengusung Wisnu, tetap saja keputusan pengusungan berada di tangan pimpinan partai Megawati Soekarnoputri dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P di Jakarta.

Tragisnya, keberpihakan orang pusat lebih condong ke Risma ketimbang Wisnu. Hal ini tersirat dari pembelaan pengurus pusat kepada Risma kepada beberapa media seperti di bawah ini:

“Saya masih ingat betul jaminan Bu Mega terhadap Risma untuk diusung PDI-P dua periode. Bahkan, beliau juga berpesan Bu Risma jangan diganggu, kecuali kalau selama kepemimpinannya, Bu Risma membuat sakit hati warga Surabaya,” kata Mat Mochtar, tokoh PDI-P Jawa Timur yang dekat dengan Megawati seperti dikutip dari beritajatim.com.

“PDI-P itu partainya rakyat dan rakyat masih percaya terhadap Risma. Jangan menutup mata tentang semua itu, apalagi DPD dan DPP tidak melihat cacatnya selama memimpin Surabaya,” katanya lagi. 

Dukungan serupa muncul dari Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Ahmad Basarah. Ucapannya yang satir seolah menyindir Wisnu yang terlalu berambisi merebut jabatan Surabaya satu.

“Untuk kepentingan strategis partai, DPP berwenang untuk menentukan sendiri calon kepala daerah yang dianggap layak dan kompeten untuk diusung menjadi calon kepala daerah sekali pun yang bersangkutan tidak terjaring ditingkat penjaringan DPC Partai,” kata Basarah seperti dikutip jpnn.com. 

DPP PDI-P di Jakarta terkesan malah mengisyaratkan dukungan ke Risma untuk kembali maju melalui gerbong PDI-P dalam pilwalkot mendatang.

“Karena ada beberapa program kerja Bu Risma yang masih belum tuntas, dan menjadi kewajiban Bu Risma pula untuk menyelesaikan itu. Jadi PDI-P juga memberikan kesempatan luas agar bisa menyelesaikan dua kali periode itu,” ucap Plt Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristianto seperti dikutip dari media.

”PDI-P itu partainya rakyat dan rakyat masih percaya terhadap Risma. Jangan menutup mata tentang semua itu”

Ibarat senjata makan tuan, Wisnu pun sadar bahwa dirinya sedang ditekan oleh DPP. Karenanya, baru-baru ini kepada media Wisnu menegaskan dirinya secara legowo akan menerima segala keputusan DPP, termasuk diantaranya adalah pencalonan Risma kembali menunggangi partai PDI-P. 

Berdasarkan info yang didapat Rappler dari orang terdekat Wisnu, figur yang kini jadi wakil walikota Surabaya ini sudah rela jika mengalah untuk Risma. Hanya saja, Wisnu meminta jatah dijadikan sebagai calon wakil walikota untuk mendampingi Risma. 

“Suara-suara kader di daerah sudah ada yang menginginkan Risma berduet dengan Wisnu,” kata seseorang anggota DPRD yang enggan disebut namanya.

Namun hubungan Risma dan Wisnu saat ini ibarat air dan minyak. Meski mereka saat ini berpasangan memimpin Surabaya, nyatanya dalam soal kebijakan mereka tak pernah akur. Dalam kasus penutupan lokalisasi Gang Dolly misalnya. 

Tak hanya itu, naiknya Wisnu menjadi wakil walikota menggantikan Bambang Dwi Hartono pun sempat bermasalah. Secara hati, Risma tak setuju jika Wisnu yang menjadi wakil walikota. Ia dilantik menjadi wakil walikota Surabaya pada November 2013 menggantikan Bambang yang mengundurkan diri.

Menurut Risma, proses pelantikan Wisnu saat itu tak sesuai aturan prosedural.

Derai air mata Risma di acara Mata Najwa menyiratkan kegelisahan itu. Kehadiran Wisnu di birokrasi ini sempat membuat Risma mengancam mundur dari kursi walikota. Lantas menyatukan Risma dan Wisnu dalam satu nahkoda jadi kemuskilan.   

 

Risma dilirik partai tetangga

Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Foto oleh Kartika Ikawati/Rappler

Tak diusung PDI-P bukan soal bagi Risma. Figur yang tahun lalu menyabet sebagai walikota terbaik dunia ketiga ini dengan mudah bisa maju tanpa dukungan partai sekalipun. Meski begitu, banyak partai ingin mendorong Risma di pilwalkot. Golkar, Partai Kadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) berada di garda terdepan.

PAN bahkan mengaku sudah mengadakan penjajakan ke Risma secara langsung.

“Sejauh ini, hasil penjaringan kami masih sama. Risma masih yang tertinggi, kami sudah bersilaturahmi dengan Bu Risma,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPD PAN Surabaya Ahmad Zainul Arifin.

Meski begitu PAN tak bisa mengusung Risma sendirian. Empat kursi di DPRD tentu saja tak cukup. Mereka butuh 10 kursi untuk bisa mengusung Risma. Peluang terdekat yang bisa dijadikan partner koalisi adalah PKS. Dalam survei internal PKS, Risma bahkan digadang-gadang mampu menyabet 60-70% suara.

Koalisi antara PAN dan PKS masih tetap tak cukup. Risma masih perlu mendapat dukungan satu kursi lagi di DPRD untuk mencapai 10 kursi kuota yang ditetapkan. Untuk menambal kekurangan ini, koalisi bisa saja melibatkan PPP yang suaranya saat ini masih mengambang.

Jika Golkar bergabung, maka gabungan koalisi ini bisa mendapat 16 kursi DPRD.

“Kedekatan sama-sama dari Koalisi Merah Putih di nasional membuat kans bergabung semakin besar,” ucap Sekretaris Fraksi PKS DPRD Surabaya Zakariya.

Akan tetapi, semakin gemuk partai yang diusung, akan semakin sulit pula menentukan pendamping Risma. Silih gontok-gontokan keinginan mengusung kader akan terjadi. Namun watak Risma yang keras dan tak mau diatur partai politik siap-siap saja membuat jajaran politisi ini kecewa.

Risma sendiri sebenarnya bisa maju lewat jalur independen. Berdasarkan Perppu Pilkada yang telah direvisi, syarat dukungan calon independen harus mencapai 6,5% dari jumlah total penduduk.

Data dinas penduduk dan catatan sipil (Disdukcapil) menunjukan penduduk Surabaya berjumlah 2,8 juta jiwa. Maka agar bisa maju tanpa parpol Risma meski wajib dapat dukungan e-KTP atau kartu penduduk elektronik milik warga sejumlah 188.500 orang.

“Yang penting lagi, jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50% dari jumlah kecamatan, tak boleh terpusat,” ucap Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jatim Sufyanto.

Rival dari mantan anak buah Dahlan Ishkan 

Tampuk kepemimpinan Surabaya selalu diminati oleh para jurnalis. Tren itu bermula saat mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos Arif Afandi maju sebagai calon wakil walikota menemani Bambang Dwi Hartono di Pilwalkot 2005. 

Pada tahun 2001-2005, Arif masih duduk di redaksi Jawa Pos. Jawa Pos adalah koran dengan oplah terbesar di Jawa Timur yang dimiliki mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan.

Tawaran Bambang yang kala itu sebagai petahana, membuat Arif kepincut dan pensiun dini dari Jawa Pos. Keputusannya itu tepat, mengingat dia akhirnya dilantik jadi wakil walikota menemani Bambang.

Pada Pilwalkot 2010, Arif pun maju lagi. Ambisinya tentu ingin menjadi nomor satu. Mendapat dukungan dari banyak partai, Arif malah gagal. Kesuksesan eks-jurnalis di dunia perpolitikan Surabaya ini memancing tokoh-tokoh media lain untuk turun di Pilwalkot nanti. 

Setidaknya, muncul 4 calon penantang Risma yang berasal dari kalangan jurnalis dan aktif di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Mereka adalah M. Mahmud, Sukoto, Dhimam Abror, dan Budi Sugiharto.

Mahmud adalah Ketua DPRD Surabaya dari Partai Demokrat. Dulunya, dia sempat jadi wartawan di Koran Memorandum dekade 90-an, sejalan dengan Sukoto yang saat ini dipercaya jadi direktur koran yang sama. Koran Memorandum adalah koran kuning yang berisikan berita-berita kriminal.

Bakal calon lain adalah Dhimam Abror. Ia sempat malang melintang di media-media Surabaya. Dia pernah jadi pemimpin redaksi di Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, dan lain-lain. Dhimam dikenal mempunyai kekuatan di dunia olahraga. Maklum dia menjabat ketua harian Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jatim.

Sedangkan bakal calon terakhir adalah Budi Sugiharto alias Ugl. Saat ini dia menjabat sebagai Kepala Biro portal berita detik.com Jawa Timur.

Dari beberapa eks-jurnalis ini. Hanya Mahmud yang punya dukungan partai politik. Karenanya meski pernah aktif di media, bukan jaminan nama besar mereka mampu memengaruhi parpol memberikan suara pada mereka.

Arzetti Bilbina (kanan) dan Menteri Sosial Khofifah Indarparawansa yang juga politisi Partai Kebangkitan Bangsa. Foto oleh Arzetti Bilbina/Instragram.

 

Dari panggung hiburan Jakarta menuju kursi walikota

Baru-baru ini, bursa politik pilwalkot sempat dihebohkan dengan masuknya musisi Ahmad Dhani dan Arzeti Bilbina. Artis lain yang masuk bursa adalah pelawak lokal Sujadi, atau yang lebih dikenal dengan Djadi Galajapo.

Munculnya Ahmad Dhani di pemilihan kepala daerah adalah hal usang. Dia sempat digadang-gadang maju pada Pilgub Jabar dan Jatim 2013 silam, tapi wacana itu tak terealisasi. Pada Pilwalkot Surabaya, suami Mulan Jameela ini dikabarkan akan didukung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). 

Untuk bisa mengusung Dhani, 5 kursi di DPRD membuat Gerindra mesti berkoalisi. Namun siapakah partai yang mau bekerja sama mengusung Dhani?

(BACA: Apa kata pemilih muda Surabaya tentang Ahmad Dhani jadi walikota?)

Hal serupa dialami Arzeti Bilbina. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dikabarkan akan mengusung Arzeti. Selain terbentur dukungan dari parpol, popularitas Arzeti di Surabaya pun amat minim. Meski bisa masuk ke DPR-RI lewat dapil Surabaya, raihan itu didapat karena keberuntungan semata.

Arzeti bisa masuk DPR RI sebab Imam Nahrawi dilantik menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Pada Pileg 2014 lalu, Arzeti hanya mampu mendapat suara Arzeti 48.306 suara.

(BACA: Arzeti Bilbina siap hadapi Tri Rismaharini di Pilwalkot Surabaya)

Jika berkaca pada Pilwalkot Surabaya 2010 lalu, keapatisan arek Suroboyo terhadap politik amatlah besar. Angka golongan putih atau golput mencapai 58,69% — sebuah rekor nasional yang sampai sekarang belum terpecahkan.

Akankah sikap kritis bercampur apatis masyarakat Surabaya membuat langkah artis dan eks-jurnalis sangat menipis?—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!