Mengenal Rizki, abdi dalem termuda di Keraton Yogyakarta

Prima Sulistya Wardhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenal Rizki, abdi dalem termuda di Keraton Yogyakarta

EPA

Sejak usia 15 bulan, Rizky membantu di keraton Yogyakarta. Berikut kisah abdi dalem cilik yang yatim sejak dalam kandungan.

YOGYAKARTA, Indonesia — Jika berkunjung ke Keraton Yogyakarta dan bertemu Rizky Kuncoro Manik, akan sulit mengobrol dengan jenaka bersamanya. Dalam 15 menit saja sudah 10 kali dia disambangi turis yang minta berfoto bersama, baik turis lokal maupun asing, muda maupun tua.

Jika sedang berdiri ketika akan difoto, Rizky akan langsung berpose layaknya penari Jawa. Berdiri dengan kaki dibuka, tangan satu melengkung ke dalam, tangan lainnya menjentik ke arah luar.

Rizky memang pemandangan unik di keraton. Rata-rata orang yang mengabdi di keraton atau abdi dalem berumur paruh baya. Sementara Rizky baru berusia enam tahun. 

Dengan tubuh mungilnya, ia tampak mencolok di antara para simbah dan pakdhe atau budhe abdi dalem lainnya. Pakaiannya lengkap, persis seperti abdi dalem lain. Bedanya hanya yang satu ini adalah abdi dalem cilik.

Rizky adalah cucu Mbah Suyat, abdi dalem yang sudah melayani di keraton sejak lebih dari 40 tahun lalu. Sejak usia 15 bulan ia sudah diajak ke kediaman Sultan Yogyakarta.

Kata Mbah Suyat, meski masih kecil, Rizky tidak rewel. Ia cukup sangu (membawa bekal) botol dot berisi teh, minuman kesukaannya. “Susu malah nggak mau,” ujar Mbah Suyat.

Bocah lelaki ganteng ini memang pendiam. Ia diam terus ketika bertemu orang asing. Tapi dengan kakeknya, ia bicara dengan lancar dalam bahasa Jawa halus. 

Di Jawa, keluarga-keluarga tertentu memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Bahkan kadang, ada anak-anak yang kesulitan berbahasa Indonesia meski paham ketika mendengar.

Meski pendiam, Rizky ingat banyak hal, soal jadwal mereka di keraton atau kegiatan apa saja yang ia dan kakeknya lakukan kemarin-kemarin. Mbah-nya yang kerap lupa. Rizky juga hafal media-media yang datang meliputnya.

Sejak usianya 2 tahun, banyak media yang menulis tentang Rizky karena statusnya sebagai abdi dalem cilik. Mbah Suyat menyimpan kliping koran-koran lokal yang memuat artikel Rizky. 

Tahun 2014 lalu, sebuah stasiun televisi bahkan datang ke rumah mereka. Pekan lalu, sebuah majalah anak-anak juga datang dari Jakarta. Mereka membuntuti Rizky mulai dari ia mandi, berangkat ke sekolah, hingga saat di keraton.

Yatim piatu sejak balita

Kata Mbah Suyat, ikut ke keraton adalah kemauan Rizky sendiri. Suatu hari ia berkata pada kakeknya,

Pak, aku nderek sowan neng kraton karo bapak. ning aku nganggo iket, njut pake kain, pake stagen, kamus timang, njut pake keris (Pak, aku ikut menghadap ke keraton sama bapak. Tapi aku pakai blangkon, terus pakai kain jarik, pakai stagen, kamus timang, dan pakai keris).”

Mbah Suyat menuruti. Dulu, ia juga mengajak dua anak lelakinya, Hasto Broto dan Dewo Broto, ke keraton. Keduanya masih berumur 4 tahun ketika diajak pertama kali. Hasto dan Dewo adalah paman Rizky.

Rizky memanggil Mbah Suyat dengan sebutan “bapak” karena sejak bayi diasuh oleh kakek dan neneknya. Kepada neneknya, ia menyebut “mak-e”. “Wis kulino (sudah biasa),” kata Mbah Suyat.

Ayah Rizky meninggal ketika ia masih 3 bulan dalam kandungan. Tak lama setelah Rizky lahir, ibunya pergi ke luar negeri dan tak pernah pulang sampai sekarang. Maka, kakek dan neneknya-lah yang menjadi pengganti orang tua bagi Rizky.

“Ibunya pergi kerja?”

Ibune yo mamake (Ibunya ya Mak-e).” Maksud Mbah Suyat, ibu Rizky ya neneknya itu. 

Mbah Suyat, dengan suara kecil, lalu berkata bahwa ayah Rizky meninggal muda karena sakit. Saat ayah Rizky, yang juga anaknya sendiri, masih berumur 22 tahun. 

Tangis Rizky meledak. Ia tahu kalau kakeknya sedang membicarakan almarhum ayahnya. Mbah Suyat memeluk anak itu sambil bicara terus supaya Rizky diam.

Hari itu dan beberapa hari kemudian ketika bertemu di keraton, pembicaraan soal ayah dan ibu Rizky tidak pernah dilanjutkan lagi.

Ingin jadi dalang, penari, dan penabuh gamelan

Rizky Kuncoro Manik yang masih berumur 5 tahun menjadi abdi dalem termuda dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Foto oleh Prima Sulistya/Rappler

Kata Rizky, ia mau jadi abdi dalem untuk “nglajengke simbah-simbah (meneruskan para mbah)”. Kebanyakan abdi dalem di keraton memang sudah kakek-kakek.

Mbah Suyat dan Rizky datang ke keraton tiap hari Senin, Selasa Kliwon, Rabu, Kamis, dan Sabtu. Mereka bisa ditemui di keraton bagian belakang, tempat pentas wayang digelar untuk wisatawan tiap Rabu dan Sabtu pagi.

Sebelum Rizky masuk sekolah, mereka berangkat berdua dengan sepeda. Mbah Suyat memasang boncengan dari rotan untuk tempat duduk Rizky. 

Dari rumah pukul 9 pagi, mereka baru pulang pukul 2 siang. Sejak dua tahun lalu, Rizky mulai masuk taman kanak-kanan (TK). Ia masuk sekolah pukul 7:30, pulang pukul 10. Pukul 10:30 ia sudah tiba di keraton dengan diantar bibinya. 

Saat di jalan pulang atau pergi, Mbah Suyat dan Rizky sering diberhentikan orang untuk diajak foto bersama. Di keraton pun, tiap hari selalu ada saja yang mengajak berfoto. Bisa dibilang, abdi dalem cilik ini adalah ikon tersendiri. Bahkan dengan orang besar pula.

Di rumah mereka, foto-foto itu dipajang dengan bangga di ruang tamu: Berfoto dengan Sultan Hamengkubuwono X, dengan Presiden Ceko Václav Klaus saat datang ke Yogya, serta dengan anak-anak Sri Sultan.

Mbah Suyat adalah abdi dalem yang mengurus wayang. Ia dulu jebolan sekolah dalang keraton. Itu tahun 1975. Kini usianya sudah 61 tahun. Di keraton, ia bertugas mengangin-anginkan wayang kulit serta menata wayang ketika hendak ada pentas. Rizky membantu memasang wayang di batang pisang.

Meski orang menyebutnya abdi dalem, Rizky masih sekadar membantu saja. Untuk menjadi abdi dalem, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Ia sendiri tidak digaji. Namun, ketika ada pentas wayang, tim abdi dalem yang menggarapnya diupah Rp 175 ribu. Uang sekian dibagi kepada 40 orang. Rizky juga kebagian.

“Dapetnya Rp 3.000,” kata Mbah Suyat sambil tertawa.

Mbah Suyat sendiri, yang sudah mengabdi selama 40 tahun, mendapat gaji Rp 45 ribu per bulan serta tunjangan dari Dana Keistimewaan sebanyak Rp 460 ribu per bulan. Rizky tidak mendapat gaji karena cuma membantu. 

Mbah Suyat tidak punya kerjaan lain. Rumahnya di daerah Janturan, Kota Yogyakarta, juga sangat sederhana.

Sembari membantu, sebenarnya Mbah Suyat sedang mengajari Rizky budaya Jawa. Anak ini hafal banyak tokoh wayang.

Kata Rizky, kelak ia ingin menjadi dalang, penari Jawa, juga penabuh gamelan. Semua cita-cita itu adalah profesi yang sehari-hari ia lihat di keraton. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!