Kisruh harga beras disebabkan kualitas data yang buruk?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisruh harga beras disebabkan kualitas data yang buruk?

EPA

Presiden Jokowi terbitkan Inpres kenaikan HPP beras dan gabah, dan perintahkan Bulog serap hasil panen. Mampukah Bulog menjadi stabilisator harga?


“Control oil and you control nations. Control food and you control the people”.  

Kutipan di atas adalah milik Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Richard Nixon, tahun 1973-1977.  

Kissinger sebelumnya adalah penasihat keamanan Presiden Nixon dan mendapat hadiah Nobel Perdamaian 1973 atas perannya di perang Vietnam.  Kamis, 19 Maret ini, kutipan di atas saya lihat dalam paparan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa dan ketua Bank Benih Tani Indonesia Azwar Hadi Nasution. 

Dwi Andreas Santosa menyajikan paparan bertajuk “Carut-marut krisis beras: Mafia atau data politik?” dalam diskusi yang diadakan Himpunan Alumni IPB. Acara yang berlangsung di Auditorium Badan Urusan Logistik (Bulog) ini berbicara mengenai kebijakan perberasan. 

Sejak tiga pekan ini, saya mengikuti diskusi pendahuluan mengenai kisruh harga beras naik, yang menyebabkan pemerintah menyalurkan beras untuk rakyat miskin (raskin), untuk memastikan tak ada rakyat yang kelaparan karena tak mampu beli beras yang menjadi bahan pangan pokok 250an juta penduduk Indonesia.

(BACA: Harga beras naik, salah siapa?)

Sejumlah isu muncul dalam diskusi dalam konteks mencari solusi kedaulatan pangan. Bagi orang Indonesia, ini diterjemahkan sebagai kecukupan stok beras dengan harga terjangkau. Pokok diskusi beragam. Mulai dari pentingnya reformasi pertanahan dalam artian mengembalikan fungsi lahan pertanian yang banyak diambil oleh fungsi lain, termasuk membongkar kepemilikan tanah yang terpusat pada segelintir orang, dikembalikan ke petani. Kearifan lokal termasuk mengubah paradigma bahwa makanan pokok harus beras. 

Bicara pangan menurut definisi yang dianut oleh Dewan Ketahanan Pangan bukan melulu soal ketersediaan stok dan harganya, tapi juga mengenai kualitas dan serapan gizinya. Kedaulatan soal sarana produksi pertanian juga dibahas, karena masih dikuasai asing, penguasaan teknologi tepat guna, sampai kondisi mengenaskan infrastruktur pertanian, termasuk irigasi. 

Hal-hal itu juga dibahas kondisi gudang Bulog. Indeks Ketahangan Pangan Indonesia ada di posisi 72 dari 109 negara. 

Dari diskusi ini, kami mendapat informasi, misalnya, bahwa Bulog yang selama ini paling disorot setiap kali ada kenaikan harga beras, ternyata hanya menguasai 8% dari stok beras nasional.  

Pada posisi seperti itu, bagaimana mungkin Bulog bisa dengan semena-mena memengaruhi harga? Praktis, harga beras ditentukan oleh mekanisme pasar: Permintaan dan penawaran.

Jadi, ketika ada petinggi negeri yang membuat pernyataan bahwa harga beras naik maka petani untung, muncul pertanyaan. Petani mana yang untung? Sebanyak 76% petani beras kita adalah net konsumer beras.  

Artinya, keluarga petani membeli beras lebih banyak dari beras yang dihasilkannya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebanyak 68% orang miskin ada di desa, dan 57% di antaranya adalah petani. Beras masih mencapai 27%-35% dari total pengeluaran petani.

Saya tidak heran dengan data yang disampaikan para senior saya itu. 30 tahun lalu saat saya masih kuliah di IPB, data yang kami dapat adalah, mayoritas petani kita menguasai lahan kurang dari seperempat hektar. Padi yang mereka tanam hasilnya sudah dipesan oleh tengkulak. Di-ijon. Dikunci di harga tertentu.  

Ketika harga naik atau turun, petani kecil menerima sesuai dengan harga kesepakatan dengan tengkulak. Jadi, bagaimana mereka dikatakan untung dengan kenaikan harga beras? Yang untung adalah petani berdasi dengan penguasaan lahan besar, dan pedagang.  

Pada 17 Maret 2015, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2015 tentang tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yang salah satunya mengatur HPP beras.

Berdasar Inpres tersebut, untuk harga pembelian Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25% dan kadar hampa maksimum 10% adalah Rp 3.700 per kilogram (kg) di petani atau Rp 3.750 per kg di penggilingan.

Sebagaimana dimuat  di laman berita Antara, harga pembelian Gabah Kering Giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14% dan kotoran maksimum 3% ditetapkan  Rp 4.600/kg di penggilingan atau Rp 4.650/kg di gudang Bulog.

Adapun untuk harga pembelian beras kualitas kadar air maksimum 14%, butir patah maksimum 20% persen, kadar menir maksimum 2% dan derajat sosoh minimum 95%  adalah Rp 7.300/kg di gudang Perum Bulog.

Harga baru ini naik 10% dibanding harga sebelumnya.

Akurasi data beras dipertanyakan

Seorang perempuan melintasi sawah di Bali. Tanah pertanian di Bali makin sempit, karena beralih fungsi menjadi hotel dan kafe. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Awal pekan ini Jokowi menginstruksikan agar Bulog beli gabah langsung dari petani. Direktur Pelayanan Publik Bulog Lely Pelitasari  mengatakan dengan HPP baru, pihaknya siap menyerap 2,5-2,7 juta ton beras dari petani.

Kapasitas gudang Bulog selama ini bisa menyimpan untuk 4 juta ton. Kalau penuh, itu artinya menyerap sekitar 10% dari stok nasional.  Pertanyaannya, jika hasil panen kali ini mencapai puluhan juta ton, apakah gudang Bulog siap menampung? Cukupkah? Jika dikalikan harga saat ini yang Rp 4.000an untuk per kilogram gabah, dari mana alokasi dananya? Di mana gabah itu akan digiling? Apakah Bulog memiliki armada angkutan yang cukup? 

Banyak sekali pertanyaannya, dan sampai saya menulis ini belum ada jawaban. Kisruh harga beras, salah satunya, disebakan karena selama ini kualitas data yang buruk.

(BACA: Revolusi Pangan dimulai dari menghabiskan makanan Anda)

Persoalan data pertanian, termasuk luasan lahan dan produksi, menjadi salah satu debat panjang. Data yang ada hasil ekstrapolasi. Yang mendekati kenyataan entah di mana mendapatkannya. Jika datanya saja belum tentu akurat, solusinya juga bisa melenceng. Sejauh ini kesimpulan yang bisa didapat adalah, Bulog cuma menguasai 8% stok beras nasional, dan tidak bisa mengendalikan harga beras.

Ini digarisbawahi oleh Ketua Himpunan Alumni IPB Bambang Hendroyono. Dia menilai ada sejumlah masalah di sektor perberasan nasional, salah satunya menyangkut data produksi. Data produksi yang kurang akurat menurutnya telah memicu kenaikan harga secara tidak terkendali. Harga beras di beberapa daerah pernah mengalami kenaikan hingga 30%.

Menurut Bambang, kenaikan sebesar 30% itu menjadi isu nasional yang menyita perhatian pemerintah.

Dia menyoroti Jokowi yang sampai turun tangan membenahi sektor perberasan nasional dengan berkunjung langsung ke Gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pekan lalu.

“Kemudian tak sampai sebulan, harga beras kembali stabil. Hal tersebut disebabkan dua hal penting, yaitu operasi pasar melalui Perum Bulog dan masuknya musim panen sampai hari ini,” ujar Bambang saat diskusi HA-IPB di soal kebijakan perberasan.

Hendroyono menyebutkan, ada sejumlah masalah, salah satunya menyangkut data produksi. Menurut hitung-hitungan, di tahun 2013 saja produksi beras mencapai 35 juta ton, dengan luas lahan sawah 7,8 juta hektare. Apabila konsumsi per kapita 121 kg/kapita/tahun dikalikan jumlah penduduk kita, maka total konsumsi mencapai 30 juta ton. Berarti Indonesia harusnya surplus 5 juta ton.

“Apakah data ini kurang tepat dan ada persoalan lain yang belum diperhatikan seperti laju alih fungsi lahan?” katanya.

Dwi Andreas Santoso, yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani, berpendapat, data produksi beras saat ini meragukan.

“Dari data produksi kita pada tahun 2014 lalu sebesar 43,3 juta ton atau surplus 6,2 juta ton. Kalau dihitung sebenarnya tidak terjadi gonjangan harga seperti kemarin. Oleh karena itu, kita menduga ada persoalan di data. Terkait data kita harus hati-hati karena deviasi di data internasional, data produksi beras kita sekitar 16%,” jelasnya.

Versi Bulog soal kenaikan harga

Lely Pelitasari menyatakan salah satu pemicu kenaikan harga beras adalah keterlambatan pembagian beras untuk keluarga miskin.

Pemerintah memang tidak menyalurkan raskin pada bulan November dan Desember 2014 sebesar 460 ribu ton. Sementara itu, penyaluran raskin pada Januari 2015 mengalami keterlambatan.

“Artinya, ada 700 ribu ton kekosongan suplai di pasar dan ditutup atau ditambal hanya dengan operasi pasar (OP) sebesar 75 ribu ton di bulan November-Desember dan 139 ribu ton di bulan Januari atau jumlahnya 260 ribu,” katanya.

(BACA: Memecahkan problematika beras dengan variasi kuliner)

Lely menjelaskan tidak adanya penyaluran raskin selama hampir 3 bulan memang cukup berpengaruh signifikan terhadap kenaikan harga beras. Alasannya selama ini raskin membantu pasokan di tingkat pasar dan suplai beras kepada masyarakat umum.

“Suplai yang biasa rutin setiap bulan ada 230 ribu ton untuk raskin. Kenapa 230 ribu ton itu penting? Konsumsi kita per bulan dengan asumsi konservatif 139 kg beras/kapita/tahun dikalikan jumlah penduduk kita maka dibutuhkan 2,6 juta ton beras per bulan. Diisi 230 ribu ton untuk program raskin tadi. Share 10% terhadap pasar sangat signifikan,” paparnya.

Alasan ini sudah jelas menjadi penyebab kenaikan harga beras. Apalagi ketersediaan pasokan beras juga ikut terganggu karena ketiadaan stok akibat mundurnya musim panen. “Belum lagi paceklik dan tanam mundur, jadi lengkap sudah harga beras naik,” kata Lely.

Diskusi yang diadakan HA-IPB dan Perum Bulog juga identifikasi problem kurang leluasanya Bulog dalam bergerak, karena sifat birokrasi dan regulasi yang mendasari cara kerja. 

Bulog kini juga dipayungi oleh sejumlah kementerian, alias memiliki lebih dari satu induk. Ini juga memengaruhi kelincahan Bulog dalam merespon situasi, apalagi krisis harga beras seperti yang kita alami selama Januari-Februari 2015.  

Yang menjadi pertanyaan kini, apakah pemerintah dan Bulog mau belajar dari kisruh harga beras yang baru dialami? —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!