Menteri Agama: Surga tak semurah pengorbanan jiwa

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menteri Agama: Surga tak semurah pengorbanan jiwa
Dalam wawancara eksklusif dengan Rappler, Menteri Agama Lukman Saifuddin angkat bicara tentang radikalisme di Indonesia — dari definisi hingga penanggulangan ancaman ISIS.

JAKARTA, Indonesia — Ancaman paham dan gerakan radikal kian terasa. Pada Maret tahun ini saja, Indonesia sudah digegerkan oleh berita penangkapan 16 WNI yang ingin menyeberang ke Suriah dari Turki, hilangnya 16 WNI lainnya yang juga dicurigai akan bergabung ke ISIS, dan penangkapan beberapa fasilitator ISIS di Indonesia. 

Jika sebelumnya Indonesia bisa saja mengacuhkan ISIS, kini tak ada alasan lagi untuk menunda-nunda penindakan sebelum paham radikalisme semakin menyebar.

Pada jurnalis Rappler, Adelia Putri, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membeberkan pandangan Kementerian Agama melihat radikalisme, batasan radikalisme, Front Pembela Islam (FPI), dan usaha negara untuk menghentikan mereka. 

Radikalisme, bagi Lukman, tak sekedar pemahaman keagamaan, tapi sebuah masalah kompleks.

“Dalam perspektif Kementerian Agama, ini berkaitan dengan pemahaman keagamaan. (Tapi) orang bertindak radikal itu kan macam-macam alasannya, bisa karena diperlakukan tidak adil, kemudian dia tidak lagi percaya dengan sistem yang ada, dan melakukan perlawanan dengan tindakan ekstrem,” kata Lukman kepada Rappler di kantornya, Kamis, 26 Maret.

“Bisa juga karena alasan politik, ketimpangan ekonomi, dan seterusnya. Hal-hal itu yang akan didekati oleh aparat penegak hukum di indonesia. Yang ditangani oleh Kementerian Agama adalah perilaku ekstrem yang muncul dari pemahaman keagamaan.”

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Foto oleh Jet Damazo/Rappler

Di mana batasan ‘radikal’ itu berada?

Bicara radikalisme, ada satu hal mendasar yang sering terlewatkan, yaitu di mana batasan radikalisme itu berada. Dari perspektif keagamaan, Lukman memberikan dua hal utama yang menjadikan sebuah paham radikal sehingga tak boleh ditoleransi keberadaannya di Indonesia.

“Yang pertama adalah paham takfiri, yaitu paham yang mengkafirkan orang lain. Jadi, (jika ada) orang yang berbeda dengan dirinya, maka orang yang berbeda itu dikategorikan sebagai kafir,” jelasnya.

“Jadi (mereka) memaknai mencapai ke surga itu terlalu murah. Hanya dengan mengorbankan jiwa saja orang sudah bisa mencapai surga. Betapa murah dan mudahnya kalau itu benar. Ini yang harus diluruskan.”

– Lukman Saifuddin

“Konsekuensi dari pengkafiran itu maka boleh diperangi, bahkan boleh dibunuh, boleh ditumpahkan darahnya. Paham seperti itu yang tidak boleh hidup di Indonesia ini.”

Ciri kedua adalah yang paling umum terjadi dalam gerakan ekstremis di seluruh dunia: Pemaknaan yang keliru akan kata ‘jihad’.

Abu Bakar Ba’asyir, salah satu pimpinan kelompok ekstremis di Indonesia, pernah menyiarkan ajakan ‘jihad’ pada umat Muslim. 

“Sekarang ini sudah diwajibkan bagi kita setiap Muslim untuk berjihad dengan fardlu a’in. Maka berhijrahlah saat kamu masih mampu. Hijrahlah ke tempat-tempat konflik. Apabila mampu, pergilah ke luar negeri, namun apabila tidak mampu di Indonesia ini, seperti di Poso dan Ambon.

Negara Indonesia saat ini hukumnya masih kafir karena tidak ditegakkan menggunakan hukum Islam. Orang Islam yang tidak menyetujui perubahan sistem negara ini kepada Islam yang kaffah, maka orang itu sudah murtad karena berarti menyetujui sistem kekafiran. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam berani mengadakan revolusi untuk tujuan ini,” ujar Ba’asyir pada Oktober 2012, seperti dikutip oleh situs media Islam Arrahmah.com.

Lukman menentang pengertian jihad seperti itu. Baginya, pemahaman ekstremis telah mereduksi makna jihad menjadi qital, atau pengorbanan nyawa baik milik sendiri maupun orang lain.

“Jihad yang sesungguhnya maknanya adalah bersungguh-sungguh membela ajaran agama. Jadi, dalam pengertian jihad dalam Islam itu luas sekali spektrumnya. Kita menempuh pendidikan, membantu orang banyak, itu jihad,” jelasnya. 

“Tapi dalam paham ini direduksi, dipersempit, menjadi kita bersedia mengorbankan jiwa kita sendiri atau orang lain demi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, jadi kemudian ada perilaku bunuh diri, misalnya bom bunuh diri.

“Jadi (mereka) memaknai mencapai ke surga itu terlalu murah. Hanya dengan mengorbankan jiwa saja orang sudah bisa mencapai surga. Betapa murah dan mudahnya kalau itu benar. Ini yang harus diluruskan.” 

Tentang FPI

Lalu, bagaimana dengan organisasi masyarakat (ormas) yang berada di ambang batas radikalisme — sering memaksakan pendapat, namun belum sampai tahapan membunuhi orang — seperti Front Pembela Islam (FPI)?

Bagi Lukman, selama tidak ada pelanggaran hukum, tidak ada yang dapat dilakukan terhadap organisasi semacam itu.

Anggota FPI demonstrasi menentang homoseksualitas di Jakarta, 28 September 2010. Foto oleh Adi Weda/EPA

“Indonesia adalah negara demokratis, semua orang dijamin hak kemerdekaannya untuk berpendapat, berserikat, dan sebagainya. Tapi Indonesia juga negara hukum. Ada hukum yang mengatur paham-paham seperti apa yang boleh dan tidak boleh dikembangkan di indonesia. 

“Maka, paham yang seekstrem apapun tapi tidak bertentangan dengan sendi-sendi kita berbangsa dan bernegara memang tidak cukup kuat untuk ditindak. Penindakan itu dimungkinkan kalau memang ada tindakan pidana, kejahatan yang dilakukan, misalnya melakukan kekerasan, aksi-aksi brutal, merusak, destruktif, maka itu ada dasar hukumnya.

“Tapi sejauh pandangan itu adalah yang seperti Anda katakan itu (FPI), selama dia tidak melakukan tindak kekerasan, ya sulit untuk ditindak secara hukum. Kecuali kalau dia sudah main hakim sendiri, merusak, mengganggu ketertiban umum atau bahkan merusak fasilitas umum, itu kemudian yang bisa diproses hukum.”

Peran Kementerian Agama

Pendekatan halus untuk mengatasi radikalisasi. Bahan dari presentasi BNPT, Maret 2015.

Jika institusi penegak hukum bergerak di bidang penindakan dan penguatan hukum, Kementerian Agama memilih untuk melakukan pendekatan yang lebih halus dan mendasar melalui pendidikan untuk meluruskan kembali pemahaman yang salah di masyarakat.

“Ini yang diisi oleh oleh Kementerian agama, Bagaimana menumbuhkembangkan paham agama yang baik, Islam yang bisa berdiri dan duduk bersama-sama dengan yang lain di tengah kemajemukan, yang bisa compatible dengan demokrasi, yang menjunjung tinggi HAM yang penuh dengan toleransi, menyebarkan kedamaian bagi seluruh alam semesta.

Islam yang seperti itulah yang menjadi ciri Islam di nusantara,” tuturnya.

Langkah awal telah dilakukan melalui kerja sama dengan Mahkamah Konstitusi untuk menyamakan persepsi dengan pesantren-pesantren mengenai konstitusi. Upaya yang sama juga dilakukan dengan ormas-ormas Islam. —Rappler.com


Lebih dalam mengenai radikalisme di Indonesia:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!