Ada apa dengan UU ITE?

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ada apa dengan UU ITE?

SANJEEV GUPTA

Kontroversi tentang UU ITE semakin sering mencuat. Tapi tahukah kamu apa isi dan permasalahan undang-undang itu sebenarnya?

JAKARTA, Indonesia — Beberapa minggu belakangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mencuat jadi pembicaraan masyarakat dan media. Banyak yang menuntut penghapusan peraturan ini, namun ada pula yang malah menggunakan undang-undang ini sebagai landasan menuntut keadilan. Jadi, ada masalah apa sebenarnya dengan UU  ITE?

Sebelum kita membahas substansi UU ITE, mari kita bertemu Muhammad Arsyad.

Muhammad Arsyad dari Makassar adalah salah satu korban ketidakjelasan UU ITE. Foto oleh Adelia Putri/Rappler

Pada 2013, Arsyad, seorang penggiat antikorupsi yang juga pengurus Partai Golkar di Makassar, terusik nuraninya. Partai Golkar saat itu mengajukan Supomo Guntur dan Kadir Halid sebagai calon walikota dan wakil walikota Makassar. 

Kadir Halid merupakan adik dari mantan terpidana korupsi Nurdin Halid, rekam jejaknya pun tidak bersih. Arsyad kemudian memilih untuk mendukung pasangan lain dan menampilkan banner berisi pernyataan tersebut di status Blackberry Messenger (BBM) miliknya. 

Stasiun televisi lokal yang melihat status tersebut kemudian mewawancarai Arsyad di studio mereka. Tak disangka, ketika sedang live, segerombol orang datang dan menghajar Arsyad hingga babak belur. Ia melaporkan kejadian tersebut sebelum dirawat selama  5 hari.

Ketika dirawat itulah Arsyad menuliskan banyak status di BBM-nya, terutama karena ia menerima banyak ancaman, termasuk ancaman pembunuhan. Salah satu status tersebut berbunyi “no fear ancaman koruptor Nurdin Halid. Jangan pilih adik koruptor.” Status tersebut menjadi malapetaka selanjutnya bagi Arsyad. 

“Sebulan setelah keluar rumah sakit, saya dipanggil Polda mengenai status tersebut. Saya ditahan, tapi saya ditawari barter perkara, saya cabut kasus pemukulan, nanti kasus pencemaran nama baik daya dicabut,” ujar Arsyad. 

Karena menolak mencabut laporan, kasus diteruskan. Selama proses penyidikan dan persidangan, Arsyad mendekam di penjara selama 103 hari.

Pengadilan akhirnya memutuskan Arsyad bebas karena bukti yang ada tidak bisa dibuktikan keasliannya.

“Bukti hanya berdasarkan screenshot yang tidak diperiksa forensiknya, Blackberrynya pun sudah tidak ada. Lagipula, hanya ada satu teman yang melihat status tersebut,” jelas Arsyad.

Saat ditahan, Arsyad berkenalan dengan pemukulnya yang juga ditahan selama 8 bulan. Ia akhirnya mengetahui bahwa pemukul-pemukul tersebut memang dibayar untuk menyakitinya. Meskipun kini sudah bebas, Arsyad masih cemas karena jaksa masih mengusahakan kasasi atas kasus ini.

 

Tentang UU ITE

Menkominfo Rudiantara saat diwawancarai wartawan di kantor TVRI pada Kamis, 5 November 2014. Foto oleh Uni Lubis

UU ITE  yang dikeluarkan pada 2008 mengatur informasi elektronik, termasuk transaksi elektronik, penyebaran informasi, dokumen elektronik, penyelenggaraan sistem elektronik, dan perilaku ketika berkomunikasi elektronik. Pasal yang sering menjadi masalah adalah pasal 27 dan 28.

Pasal 27 berisi perbuatan yang dilarang dalam komunikasi elektronik, yaitu penyebaran muatan: (1) asusila (2) muatan perjudian (3) penghinaan atau pencemaran nama baik, dan (4) pemerasan.

Pasal 28 melarang penyebaran (1) berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dan (2) informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan SARA.

Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara tak menyangkal bahwa UU ITE ini butuh direvisi. Kementeriannya sudah menyasar perbaikan pasal 27 dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015.

“Iya, tahun ini lewat DPR, tapi hanya pasal 27(3). Kami mengusahakan agar hukumannya akan diturunkan supaya tidak ditahan sebelum terbukti bersalah,” ujar Rudiantara pada Rappler. 

“Peraturan itu sudah menjadi sebuah sistem, jadi hanya ini yang bisa kita lakukan. Saya mencoba untuk menghilangkan kontroversinya. Misal saja kasus Florence (Sihombing), perilaku dan pelanggarannya diatur dalam UU ITE, tapi apa pun hasil dan hukumannya ya itu tergantung penegak hukum dan sistemnya.”

“Saya tak bisa berbuat apa-apa terhadap sistem. Saya hanya bisa mengajukan agar hukuman diturunkan menjadi di bawah 5 tahun, sehingga pelaku tak bisa ditahan sebelum terbukti bersalah. Saya belum tahu berapa pastinya, ini harus dibicarakan ke parlemen, tapi saya mau memastikan hal itu. Saya bersimpati pada mereka, makanya saya mau ada revisi.”

Pelanggaran pasal 27 ayat 3 bisa diganjar dengan hukuman penjara maksimal 6 tahun. Padahal hukum Indonesia mengatur bahwa tersangka pidana yang terancam hukuman di atas 5 tahun boleh ditahan sebelum proses persidangan dimulai.

Namun, secara keseluruhan, UU ITE merupakan sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat, termasuk pasal 27 yang mengatur apa saja yang dilarang disebarkan di media elektronik. 

“Kita butuh deterrent effect itu. Lagipula, jutaan transaksi telah dilindungi oleh UU ini, transaksi mobile, e-banking, dan lain-lain. Kenapa hanya kontroversinya saja yang dibahas?”

 

Apa ada masalah lain? 

Bagi aktivis penggiat kebebasan komunikasi, permasalahan UU ITE bukan hanya ada pada ancaman hukuman. Anggara, peneliti senior dari Institute for Criminal Justice Reform, berkata kalau permasalahan utamanya bukanlah lama ancaman pidana, tapi substansi UU ITE terutama pasal 27. 

Peneliti senior ICJR Anggara, korban UU ITE dari Makassar M. Arsyad, dan pjs. direktur Medialink Mugtaba dalam penjelasan mengenai kasus UU ITE. Foto oleh Adelia Putri/Rappler

Setidaknya ada 5 masalah UU ini:

1.  UU ITE mencakup perilaku-perilaku yang sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Semua tindak pidana yang ada di KUHP harus dicabut dari UU ITE. KUHP sudah mengakomodasi kebanyakan perilaku di UU ITE. Ini juga akan berpengaruh pada kodifikasi KUHP yang sedang diusahakan oleh pemerintah,” ujarnya. “Kalau pemerintah masih membiarkan ini, ya terlihat seperti tidak serius.”

“Kalau dobel, kita kan ngga pernah tahu tindakan itu salah atau tidak, karena tidak ada kepastian hukum. Ambil contoh radio komunitas, yang siaran, lalu di-upload ke situs, dia bisa kena 3 undang-undang: penghinaan (KUHP), (UU) Penyiaran, dan UU ITE. Kan harusnya satu perbuatan cukup diatur satu undang-undang.”

2. Pentingkah klausa penghinaan dalam UU ITE?

“Kita tidak perlu (mengatur penghinaan), tapi kalau pemerintah dan DPR ngotot masih memutuskan itu perlu, ya paling tidak ada di satu tempat. Kedua, ya harusnya perdata, bukan pidana,” tuturnya.

Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa R. Kristiawan sependapat bahwa masalahnya bukanlah pada lama hukuman penjara, tapi karena pengkategorian sebagai tindak pidana. 

3. Penyeragaman kasus penghinaan

“Di KUHP, penghinaan dibagi 6 jenis, sementara UU ITE tidak. Sekarang, yang (melakukan) penghinaan ringan, kalau dikenakan UU ITE ya jadi penghinaan biasa. Jadi, masalahnya bukan di ancaman hukumannya, tapi di elemen dari tindak pidananya yang lebih ngawur daripada KUHP,” ujar Anggara.

“Kami menolak penghinaan di KUHP, nah sekarang ada di UU ITE, ya kami minta hapus. Untuk penghinaan saja ada 5 atau 6 UU, ini negara apa sih?” 

4. Proses pembuktian yang janggal dalam kasus yang menggunakan UU ITE.

“Realita yang terjadi kepolisian dan kejaksaan belum memahami proses pembuktian. Ini kan dunia elektronik, maka pembuktiannya harus di elektronik, misalnya dengan uji forensik. Di sini malah hanya dengan screenshot, alat bukti pun tak disita,” kata Arsyad.

5. Ketidakjelasan istilah ‘nama baik’ 

“Untuk kasus Nurdin Halid, apakah seorang koruptor masih pantas menyandang nama baik? Lalu, apakah nama baik itu hanya milik pejabat atau milik semua? Secara subjektif saya (pikir) UU sering dipakai penguasa membungkam lawan-lawannya,” kata Arsyad. 

“Saya maunya pasal 27 (3) itu dihapus, ini demokrasi, pemerintah pejabat harus mau dikritik. Kalau bersih kenapa harus risih?”

 

Jadi, apa efeknya?

Menurut Anggara, efek dari UU ITE —di luar pengaturan transaksi — bisa lebih besar dari sekadar hukuman penjara.

“Lihat kasus (sopir) Transjakarta. Kepolisian bilang kalau ada kejadian seperti itu jangan disebarkan dong, laporkan pada kami. Nah itu saja kan sudah ada unsur ancaman, bahwa siapa pun yang menyebarkan harus lapor. Padahal kan yang kita mau publik juga bisa mengawasi kinerja dari aparat,” ujarnya. 

“Implikasinya nanti tidak hanya ke sesama rakyat. Masyarakat akan akan semakin tertutup, ide pemerintahan terbuka malah tidak terlaksana.” 

Arsyad, yang sudah menjadi korban, juga mengkhawatirkan demokrasi Indonesia yang bisa terancam karena undang-undang ini.

“Indonesia kan sedang menjalankan proses demokrasi. Di negara-negara lain UU tentang penghinaan sudah tidak ada, kenapa di Indonesia masih ada? Apalagi hukumannya juga cukup tinggi,” kata Arsyad.

UU ITE juga mulai berhasil membungkam para aktivis di media sosial.

“Di Makassar,  sekarang untuk cari aktivis yang berani bicara sudah susah. Sudah sedikit sekali orang-orang yang mau melontarkan kata-kata kritis pada pemerintah karena ketakutan itu. Sekarang bahkan ada lelucon bagi yang sedang mengkritik keras lewat Twitter:  “Awas  nanti di-Arsyad-kan loh”. Jadi buat saya ini harus dihapuskan.”

 

Jalan terakhir?

Revisi yang sedang diajukan oleh pemerintah mungkin adalah jalan terakhir yang mungkin dapat dipengaruhi oleh publik. Pasal 27 (3) sudah pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review, namun permintaan tersebut ditolak.

“Dulu sebulan setelah keluar, pasal 27(3) sudah diajukan untuk judicial review, tapi hasilnya ditolak. Itu seminggu sebelum kasus Prita keluar. Sekarang kita tak bisa judicial review lagi karena itu hanya bisa diajukan sekali untuk satu pasal, dan tidak bisa untuk keseluruhan undang-undang. Makanya, sekarang kami berusaha agar revisi bisa mencakup keseluruhan (pasal yang bermasalah),” jelas Kristiawan.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!