Mengapa liburan di daerah penting saat rupiah melemah?

Kokok Herdhianto Dirgantoro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa liburan di daerah penting saat rupiah melemah?

EPA

Sebuah kajian ekonomis sederhana. Mengulas tentang pentingnya berlibur di daerah saat Rupiah melemah, bukan hanya soal promosi tapi juga membantu pemerataan ekonomi.

Umat Hindu di Bali berjalan di sekitar Danau Buyan, Singaraja, 20 April 2008. Dalam upacara ini, umat Hindu diajak untuk menghormati alam agar dapat hidup seimbang. Foto oleh Made Nagi/EPA

Biasanya pasca liburan tengah tahun dan akhir tahun, linimasa akun media sosial saya dipenuhi foto-foto liburan handai tolan. Biasanya, yang liburan ke luar negeri paling heboh.

Foto tiket, paspor, bandara dalam negeri, masuk pesawat, bandara luar negeri, tempat wisata, landmark, makanan, belanjaan, dan lain sebagainya, mengalami inflasi luar biasa.

Foto-foto mereka mencerminkan kebahagiaan sekaligus memamerkan kegiatan liburan. Mungkin tagihan kartu kredit saja yang tidak dipamerkan di media sosial. 

Saat ini kondisi berubah. Rupiah melemah cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Teman-teman saya yang biasa ‘pemanasan’ dengan sedikit congkak membuat status seperti, “Nggak sabar pengen ke Malaysia” dan “Pengen buruan liburan Juli ke Thailand” mulai berkurang drastis.

Biasanya Maret-April status alay seperti ini bertaburan. Melemahnya rupiah membuat kelas menengah pun berpikir ulang untuk liburan ke luar negeri. Bisa jadi utang kartu kredit liburan akhir tahun lalu juga belum lunas.

(BACA: Tips berhemat kala Rupiah melemah)

Biasanya karena pernah liburan ke luar negeri, standar liburan keluarga jadi merujuk ke sana. Mungkin karena keinginan suami, istri, atau memenuhi permintaan anak-anak.

Atau bisa juga takut bayangan sendiri karena sudah mengunggah foto liburan tahun lalu di luar negeri via akun media sosial, terus kalau liburannya pindah ke dalam negeri akan dilihat rendah oleh teman-temannya.

Padahal sih, tidak ada yang peduli mereka mau liburan ke mana. Kadang jumlah jempol like dan retweet membuat mereka merasa sungguh diperhatikan kendati realitanya tidak demikian. Dampak budaya narsis tidak boleh setengah-setengah sungguh luar biasa hahaha.

Di tengah kenyinyiran, saya menertawakan teman-teman yang mulai membatalkan liburan ke luar negeri karena kondisi nilai tukar.

Ketimpangan uang masyarakat

Saya memperoleh data Bank Indonesia (BI) mengenai sebaran Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan, atau yang dikenal sebagai Dana Masyarakat di perbankan Indonesia. Datanya cukup baru, per Januari 2015.

Dana masyarakat di perbankan Indonesia mencapai Rp 4.000 triliun lebih. Dari total dana tersebut, sekitar 75 persen ada di Jawa. Yakni di 6 provinsi, antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sisanya tersebar di 28 provinsi lainnya. Catatan tambahan, dari Rp 4.000 triliun lebih dana masyarakat, hampir setengahnya ada di DKI Jakarta. Posisi ini mencerminkan ketimpangan perekonomian yang amat sangat antara Jawa dan luar Jawa.

Sebentar, saya juga mengambil data dana masyarakat di BI berdasarkan Daerah Tingkat II (Dati II) dalam provinsi-provinsi di Jawa. Khususnya Jabar, Jateng, dan Jatim.

Ternyata dana masyarakat di ibukota provinsi ditambah kota satelit dan kota terbesar kedua, jumlahnya antara 65-80% dana masyarakat se-provinsi. Sisanya tersebar di Dati II lainnya.

Ini memperlihatkan bahwa ketimpangan bukan hanya di Jawa dan luar Jawa, namun juga milik kota-kabupaten utama di Jawa berbanding non kota-kabupaten utama.

Saya ambil contoh Jawa Timur. Total dana masyarakatnya Rp 381,94 triliun, dan 56,54% ada di Surabaya. Setelah itu disusul Kota Malang 5,22%, Kabupaten Sidoarjo 3,86%, Kabupaten Gresik 2,95%, Kabupaten Malang 2,91%, Kota Kediri 2,48%.

Jumlah di 6 Dati II ini saja mencapai 70% lebih. Jatim kalau tidak salah ingat ada 38 Dati II, jadi 30% dana masyarakat Jatim terpecah menjadi ‘remah-remah’ di 32 Dati II. Kondisi Jabar dan Jateng tak jauh beda.

Ketimpangan dana masyarakat kota utama dan kota tersier memperlihatkan jumlah uang beredar di daerah tersebut tidak terlalu banyak. Akhirnya kekuatan lokal yang tumbuh alamiah kalah karena masyarakat makin pragmatis, alias butuh uang.

Jadilah turunan kedua dan ketiga keluarga di daerah terpencil mengadu nasib ke kota besar untuk mencari nafkah. Saya salah satunya.

Lalu apa hubungan ketimpangan dana masyarakat dengan refreshing tengah atau akhir tahun bagi kelas menengah ngehe? Dua hal ini saling berkaitan.

Dana masyarakat di daerah yang minim mengalami peningkatan saat lebaran. Tapi tak lama turun lagi karena jumlahnya masih kurang untuk menjadi bantalan masyarakat bertahan di daerahnya.

Kata kawan saya, yang juga redaktur di sebuah koran bisnis, RI butuh 6-7 kali lebaran agar uang di kota utama mampir agak lama di daerah. Saya tahu dia berkelakar, tapi dia benar.

Dalam kondisi rupiah melemah terhadap dolar dan terjadi ketimpangan uang yang dimiliki masyarakat, menggalakkan liburan ke daerah terpencil adalah pilihan cerdas. Masyarakat bisa liburan, daerah mendapat berkah uang beredar bertambah dan generasi berikutnya tidak perlu jadi kaum urban.

Tentunya negara harus hadir melihat kondisi ini. Pariwisata di daerah-daerah yang minim dana masyarakat dijadikan patokan tujuan wisata. Pilihannya pun beragam, dari wisata alam yang ekstrem, kuliner yang menantang, hingga mengajak wisatawan masuk dalam stage experience (memanggungkan pengalaman).

Contoh, petik Apel di daerah Batu, mengapa tidak diikuti dengan panen Bawang Merah Sumenep yang terkenal? Sudah ada yang pernah menggoreng Kerupuk Tangguk Madura? Lebar kerupuk ini seluas meja belajar.

Sudah pernah makan Sate Laler (Lalat)? Itu sate ayam dalam potongan ekstra kecil yang hanya ada di Madura dan sebagian Surabaya. Pantai-pantai di Banyuwangi pun tak kalah dengan luar negeri untuk dikunjungi dan pamer selfie.

Petani Kentang di Tengger, Bromo, Jawa Timur. Foto oleh tim ekspedisi Indonesia biru/Rappler

Itu cuma contoh di Jawa Timur. Kalau mau lihat yang lebih keren sila follow kawan saya Dandhy Laksono yang tengah keliling Indonesia sembari pamer lokasi-lokasi yang sungguh keren.

(BACA: Merekam laku dan cerita tentang Ekspedisi Indonesia Biru Dandhy Laksono)

Mungkin yang agak mengganggu, ya selfie Dandhy Laksono yang sering kurang pas. Mungkin masalah tampang, ah ampun Dhan, saya cuma bercanda.

Mungkin bisa juga follow Rahung Nasution yang kerap memamerkan foto-foto makanan daerah yang ditata sungguh rancak dan membuat Anda lapar seketika.

Jangan pernah, saya ulangi, jangan pernah nekat lihat foto-foto masakan Rahung jika Anda sedang puasa atau diet. Foto-foto makanan penggoda iman dari Rahung masuk kategori godaan jahanam.

Kemarin lihat foto-foto pemandangan Sumatera Barat dari @panca66 juga bagus. Sepertinya Panca sungguh mengambil gambar dengan semangat #berikanyangterbaik.

Saya rasa, liburan di daerah minim dana masyarakat harus menjadi perhatian dan program khusus kelas menengah. Lupakan liburan ke luar negeri karena kondisi rupiah seperti ini.

Coba alokasikan dana liburan ke luar negeri itu menjadi liburan lokal yang tak kalah asik. Refreshing sembari membagi rezeki kita untuk saudara-saudara di daerah. Secara tidak langsung berkontribusi terhadap pemerataan pendapatan nasional.

Warga Papua menari di pinggiran Danau Sentani, Jayapura, Sabtu, 19 Juni 2010. Foto oleh Hermanus Prihatna/EPA

Tapi liburan atau jalan-jalan ke luar negeri tidak haram. Boleh-boleh saja. Contoh yang bagus liburan luar negeri bisa didapatkan dari akun Twitter @ngabdul.

Dijamin Anda akan iri. Tapi jangan sekali-sekali mengikuti hobi jalan-jalannya. Percayalah, kekayaan Anda tidak ada apa-apanya dengan beliau.

Awalnya mungkin liburan untuk refreshing. Hanya menginap seminggu atau dua minggu, jika berkelanjutan tentunya banyak peluang yang ditangkap.

Misalnya pengusaha bawang goreng yang liburan di Sumenep akhirnya membuka usaha bawang goreng bekerja sama dengan petani lokal. Atau bisa juga awalnya liburan melihat pantai di Banyuwangi sendiri, eh tahun depan foto pre-wedding di sana. Tentunya saya sedang tidak menyindir jomblo.

Jadi kapan kita saingan selfie dengan hestek #LiburanDiIndonesia, Kak @unilubis, Mas @nukman? —Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan wartawan, mantan karyawan bank, kini ia mengelola kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Meski demikian, Ia sangat berminat belajar seputar isu ekonomi. Gaya menulisnya humoris, tapi sarat analisis. Follow Twitternya @kokokdirgantoro 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!