Kemenkominfo bentuk tim panel cegah situs konten negatif

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kemenkominfo bentuk tim panel cegah situs konten negatif
Tim panel bertugas beri penilaian pada situs yang memuat konten negatif, seperti pembajakan, pornografi, SARA, dan radikalisme.

BANDUNG, Indonesia — Menyusul protes dari tujuh situs yang diblokir karena dianggap menyebarkan paham radikal, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membentuk tim panel yang beranggotakan tokoh masyarakat dan ahli di bidangnya, Rabu, 1 April.

Tim yang anggotanya puluhan orang itu bertugas untuk memberikan penilaian dan rekomendasi terhadap situs yang dinilai memuat konten negatif, seperti pembajakan musik dan film, pornografi, kekerasan pada anak, SARA, terorisme, dan radikalisme. Menurut Rudiantara, pembentukan tim panel juga terkait dengan perbaikan kepemerintahan.

Beberapa anggotanya meliputi Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka SIrait, Tokoh HAM Salahuddin Wahid, Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Din Syamsudin,  Ketua Dewan Pers Bagir Manan, dan musisi senior Sam Bimbo.

Dasar hukum dari terbentuknya tim panel itu adalah Keputusan Menteri.

(BACA: #KembalikanMediaIslam: Media Islam protes pemblokiran situs ‘radikal’)

“Saya sudah tanda tangan keputusan menteri tentang panel yang akan melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi atas aduan konten-konten negatif,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di sela-sela kunjungan ke Bandung, Rabu, 1 April 2015.

Lebih lanjut Rudiantara mengungkapkan, ia telah menghubungi secara pribadi para tokoh masyarakat untuk masuk dalam tim panel. 

Rudiantara menegaskan tim panel itu akan bertugas menilai dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait situs-situs yang mengandung konten negatif. Selanjutnya pemerintahlah yang akan melakukan pemblokiran.

”Teknis kan tetap teknis, tanggung jawabnya tetap di pemerintahan,” ujarnya.

Pemblokiran itu, lanjut Rudiantara, akan mengacu pada proses dan prosedur yang ada.

(BACA: Kemenkominfo: Pemblokiran 19 situs radikal tidak permanen)

Pemblokiran 19 situs Islam yang dinilai menyebarkan paham radikal sempat dipertanyakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam rilis yang diterima Rappler, AJI menyatakan, prosedur pemblokiran tersebut berpotensi memberangus kebebasan berpendapat warga negara yang merupakan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945.

“Pemberangusan hak warga negara dalam sebuah negara hukum hanya bisa ditentukan oleh undang-undang atau melalui putusan pengadilan,” tulis pernyataan pers AJI.

AJI juga menyatakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak ada menyebut secara eksplisit mengenai pemblokiran sebuah situs. Menurut AJI, dalam UU ITE juga tidak mengatur ada kewenangan Kemenkominfo untuk memblokir sebuah situs. 

Meskipun ada Peraturan Menteri yang mengatur soal pemblokiran, AJI menilai itu sebuah penyalahgunaan kekuasaan.

(BACA: Mempertanyakan kewenangan Kemenkominfo memblokir situs)

Menanggapi hal itu, Rudiantara mengatakan tidak ada opsi lain.

“Opsinya apa untuk memperbaiki governance?” tanya Rudiantara sambil menegaskan proses pemblokiran tetap mengacu pada proses dan prosedur yang ada.

Bila ada situs yang tidak merasa menyebarkan radikalisme, Rudiantara mengatakan, masih bisa mengklarifikasinya melalui tim panel. Proses blokir, kata dia, tetap berdasarkan bukti yang ada.

“Kemarin kan ada tujuh (situs) yang merasa tidak mempunyai konten radikalisme, nanti kita perhatiin. Misalnya, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) punya bukti seperti apa, teman-teman seperti apa, nanti kelihatan ada evidence-nya. Kalau semua orang, semua institusi bisa klaim, susah kita,” seloroh Rudiantara.

(BACA: Ada apa dengan UU ITE?)

“Nanti kalau memang ternyata tidak ada konten atau yang dulu ada tapi sudah dihilangkan kita normalisasi lagi, nggak ada masalah,” katanya.

Untuk menghindari kesalahpahaman, Rudiantara menghimbau para pengguna Internet hendaknya mengunakan domain . [dot]id dan bukan .[dot]com. Tujuannya agar bisa dikenal.

“[dot]com itu, kita nggak tahu itu siapa. Coba ganti [dot]id. [dot] id itu kita kenal siapa. Sama-sama kita saling jaga itu,” tandasnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!