Lesunya bisnis hotel melati di Denpasar

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lesunya bisnis hotel melati di Denpasar
Jaringan hotel 'raksasa' di Denpasar bisa menjadi ancaman serius bagi hotel-hotel kelas melati. Akankah mereka mampu bertahan?

DENPASAR, Indonesia – Ketika hotel jaringan terus dibangun di Denpasar, tingkat hunian hotel-hotel melati di kota ini justru terus menurun. Inikah lonceng kematian hotel-hotel melati di Denpasar?

Sepi pelanggan

Hotel Rai di kawasan Sanglah, Denpasar, mungkin bisa membunyikan lonceng kematian itu. Dari 17 kamar hotel, pada awal pekan ini, hanya dua kamar yang terisi.

“Sehari-hari memang sepi begini,” kata karyawan Hotel Rai Kristoforus Lolomsaid saat ditemui Rappler pekan ini. 

Siang itu, suasana hotel terlihat sepi. Padahal hotel ini berada persis di Jalan Diponegoro, salah satu jalan utama Denpasar. Kristo dan satu karyawan lainnya hanya sibuk main ponsel dan menonton televisi. Teman Kristo malah rebahan di ruang resepsionis. 

“Biasanya tamu kami hanya orang yang sedang berobat,” ujar Kristo.

Berada di kawasan Sanglah, Hotel Rai hanya berjarak sekitar 1 km dari rumah sakit terbesar di Bali, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah. Menurut Kristo, tamu yang menginap di Hotel Rai lebih banyak dari pulau-pulau di timur Bali seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores yang sedang berobat di RS Sanglah.

Sekitar 500 meter dari Hotel Rai, masih di jalan sama, suasana Hotel Viking juga tak jauh berbeda. Hotel di kawasan pusat perniagaan Denpasar tersebut terlihat sepi. Hanya tiga dari 70 kamar yang terisi.

Menurut pengelola Hotel Viking Ketut Gara, hotelnya mengandalkan tamu-tamu lokal. Karena itu, hotel akan terisi penuh hanya pada musim tertentu seperti libur Lebaran dan tahun baru. “Kalau sudah Maret dan April memang sepi. Apalagi sejak banyaknya hotel-hotel baru di Denpasar,” katanya.

Seperti dikatakan Gara, hotel-hotel baru memang terus tumbuh di kota ini. Ironisnya, pada saat yang sama, beberapa hotel melati justru mati. “Hotel ini (Viking) masih mending. Saya dengar ada beberapa hotel melati yang sudah mati,” Komang Yudha, seorang pegawai lain, menambahkan. 

Yudha menyebut beberapa nama hotel melati yang sudah mati, seperti Hotel Dewi dan Hotel Diponegoro di jalan yang sama.

Saya cek, kedua hotel tersebut memang sudah tidak ada. Hotel Diponegoro, samar-samar saya ingat, dulunya ada di dekat Kompleks Pertokoan Genteng Biru, tempat makan saya zaman kuliah. Adapun Hotel Dewi, di ujung Jalan Diponegoro. Teman saya pernah menginap di sana. Namun, keduanya sudah tidak ada ketika saya cari dua hari lalu.

Tumbuhnya hotel murah dan berjaringan (city hotel) menjadi terduga utama atas matinya hotel-hotel melati di Denpasar. 

Melawan raksasa

Hotel jaringan seperti Santika, Harris, dan Accor mengancam keberlangsungan hidup hotel melati di Denpasar. Foto oleh Anton Muhajir

Jalan Teuku Umar bisa jadi lokasi paling tepat menggambarkan tidak adilnya persaingan antara city hotel dengan hotel-hotel melati itu di Denpasar. Dalam tiga tahun terakhir, hotel-hotel baru tumbuh di sepanjang jalan ini.

Sekadar menyebut nama hotel, ada Amaris, All Season, Pop, Ibis, dan lain-lain. Hotel-hotel ini berderet-deret muncul serupa cendawan di musim hujan di antara riuhnya Jalan Teuku Umar. 

Di Denpasar bagian lain juga ada Hotel Harris di Jalan Cokroaminoto, Hotel Neo di Jalan Gatsu Barat, atau Hotel Mars City di Jalan Kerta Dalem.

Umumnya, hotel-hotel murah tersebut dikelola secara berjaringan. Amaris, misalnya, adalah city hotel ala Santika Group yang dimiliki Kompas Gramedia. Pop adalah hotel murah milik jaringan Harris Hotel. Adapun All Season milik jaringan hotel Accor.

Selain menang jaringan, tarif mereka pun murah, antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per kamar per malam. Tarif tersebut kurang lebih sama dengan tarif tertinggi hotel-hotel melati di Denpasar.

Hotel Rai dan Viking, misalnya, memasang tarif tertinggi Rp 300 ribu per malam. Namun, pengelola Hotel Viking Ketut Gara mengatakan, tak mungkin mereka memasang harga sama.

“Kalau mau tetap bertahan, kami harus memasang tarif paling rendah, Rp 70 ribu per malam,” katanya. 

Di antara sekian banyaknya hotel baru di sepanjang Jalan Teuku Umar, tinggal beberapa hotel melati yang masih bertahan. Salah satunya Hotel Puri Royan. Hotel yang berdiri sejak 2001 silam ini harus melawan raksasa-raksasa besar seperti Santika Group, Harris, dan Accor.

Hasilnya mudah ditebak. Hotel-hotel melati kalah telak.

“Tingkat hunian kami turun terus tiap tahun sejak maraknya hotel-hotel itu,” kata AA Putu Martino Royan, pemilik Hotel Puri Royan. Menurut Martino, maraknya hotel baru di Denpasar terjadi sejak tiga atau empat tahun terakhir.

Begitu marak hotel murah berjaringan, tingkat hunian terus turun 10 persen tiap tahun. Biasanya, Martino melanjutkan, tingkat hunian di Hotel Puri Royan berkisar 50 hingga 60% pada saat high season seperti lebaran dan tahun baru. Sekarang hanya 40 sampai 50%.

Pada musim low season seperti sekarang hanya tinggal 30 persen. “Hari ini hanya ada satu kamar yang terisi,” ujarnya kemarin. Hotel Puri Royan hanya punya 14 kamar.

Menurut Martino, jika terus sepi seperti saat ini, bukan tak mungkin hotel-hotel melati di Denpasar akan segera gulung tikar. “Jika terus sepi begini kondisinya, bisa jadi hotelnya kami alih fungsikan,” tambahnya.

Martino menyebut pemerintah sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap ancaman kematian hotel-hotel melati. Seharusnya, kata Martino, pemerintah serius melakukan moratorium pembangunan hotel di Bali selatan. Jika tidak, maka hotel-hotel melati pasti mati.

Tumbuh di Batu

Tumbuhnya hotel murah dan berjaringan menjadi terduga utama atas matinya hotel melati di Denpasar. Foto oleh Anton Muhajir

Sepinya tingkat hunian hotel-hotel melati di Bali sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali. Menurut data BPS, dari 2009 hingga 2013, tingkat hunian hotel-hotel non-bintang hanya berkisar pada angka 30-an persen. Pada 2013, misalnya, hanya 36%. Turun dua persen dibandingkan tahun sebelumnya, 38,63%. 

Pada hotel melati dengan jumlah kamar kurang dari sepuluh bahkan ada yang hanya 22%. Bandingkan dengan hotel berbintang 1-5 pada tahun sama yang tingkat huniannya berkisar 60,68%.

Menurut I Nyoman Darma Putra, Ketua Program Studi S-2 Kajian Pariwisata Universitas Udayana, hotel-hotel melati di Denpasar pada umumnya memang menghadapi dilema manajemen dan reinvestasi. “Banyak yang gagal bersaing,” katanya.

Darma menambahkan, hotel melati sulit bertahan kecuali mau menerima tamu kanvas atau perkover. Maksudnya tamu pekerja, bukan tamu turis. Di sisi lain, hotel-hotel tersebut juga harus mengubah diri dengan layanan dan kenyamanan. Misalnya dengan kamar berpendingin ruangan (AC).

Namun, jika ini dilakukan, maka hotel-hotel melati membutuhkan biaya operasional lebih besar. Di sisi lain, mereka juga harus memasang tarif lebih murah agar terjangkau. Akibatnya, biaya operasi mahal tapi harga jual kamar murah. 

“Mereka jadi seperti kerakap tumbuh di batu, melarat,” Darma beranalogi.

Menurut Darma, agar bisa tetap hidup, hotel melati juga seharusnya mampu memposisikan merek atau produknya. Sebab, konsumen akan mencari kalau mutu mereka bagus dan memuaskan.

Dia mencontohkan hotel-hotel murah dengan manajemen keluarga di Sanur, Kuta, maupun Ubud. Meskipun hotelnya melati, mereka masih bisa bertahan. “Karena hotelnya diperbarui dari fisik sampai free wi-fi,” tambahnya.

Seperti saran Darma, hotel-hotel melati di Denpasar sebaiknya meningkatkan kualitas layanan. Jika tidak, ancaman kematian mereka mungkin bukanlah kekhawatiran berlebihan. —Rappler.com 

Anton Muhajir is a Bali-based journalist, blogger, editor, and (occasionally) provocateur. He blogs at anton.nawalapatra.com and tweets at @antonemus.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!