Soal twitwar dan adu argumen di media sosial

Pangeran Siahaan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Soal twitwar dan adu argumen di media sosial
Sebelum twitwar menjadi candu, ada baiknya membaca tulisan Pangeran Siahaan ini. Apa sebenarnya manfaat twitwar?

 

Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya berkelahi di Internet. Yang saya maksud dengan berkelahi di sini adalah beradu argumen secara sengit sampai berlarut-larut di salah satu kanal media sosial. Generasi Twitter menyebutnya “twitwar”.  

Ada satu masa di mana saya akan mencari setiap kesempatan yang tersedia untuk beradu argumen dengan siapa pun, dari mulai topik politik hingga sepak bola. Debat ngalor-ngidul ini tak melulu dipicu oleh ketidakcocokan pendapat. 

Kadang-kadang adu argumen dimulai hanya karena ingin mencari keseruan belaka. Hanya ingin bikin ramai saja. Rasanya puas jika bisa mengeluarkan argumen yang tak terbantahkan oleh lawan. 

Jika pihak seberang berhenti membalas, atau mulai mengalihkan pembicaraan dengan menggunakan logical fallacy (kesesatan pemikiran dalam berlogika), maka rasa puas muncul sebagai pemenang.

Seiring dengan bertambahnya umur (bukan umur biologis, tapi umur berada di Twitter), makin lama debat-debat seperti twitwar ini makin terasa nir-manfaat. Kalau sekadar bergurau dan melempar lelucon plus sindiran kanan-kiri, tentu tak akan pernah berhenti dilakukan. Kita semua butuh hiburan. 

Namun, jika sampai terlibat dalam balas mendapat pendapat dengan emosional yang dibarengi dengan sumpah serapah, entahlah. Di balik rasa heran, ada sedikit decak kagum kepada mereka yang menyelesaikan perdebatan di Twitter dengan bergelut di Istora Senayan. 

Bukan decak kagum kepada kekerasan, tapi kepada kedua belah pihak yang benar-benar menganggap perdebatan di Twitter sebagai sesuatu yang super serius hingga menyangkut masalah harkat dan martabat. 

Bukan, saya bukannya menganggap bahwa Twitter tidak serius. Sebaliknya, saya menganggap Twitter, dan berbagai platform media sosial lain, sebagai sesuatu yang sangat serius. Tapi naif jika berangkat ke medan peperangan verbal di Internet dan berharap bahwa lawan akan menyerah dan mengaku kalah. 

Inilah yang membuat saya berkesimpulan bahwa debat-debat Twitter yang serius ini tak ada gunanya. Anda tak akan bisa meyakinkan lawan twitwar Anda. Yang kita lakukan dengan terus menerus meladeni adu argumen hanyalah memijat ego kita masing-masing. Tidak ada orang yang mau dilihat sebagai pecundang, di ranah digital sekalipun. Padahal yang menang pun tidak dapat piala.

Perihal adu bacot di Internet ini menjadi pelik dengan keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE) yang memungkinkan siapa pun yang terlibat perkelahian verbal digital ini untuk menuntut lawannya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Masalahnya tak ada batasan jelas apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik itu.

Apakah nama baik itu? Adakah standar dari seberapa baiknya nama baik? Apakah ada nama yang kurang baik? Jika ada, apakah pemilik nama yang kurang baik tidak akan bisa menuntut dengan alasan pencemaran karena namanya sudah lebih dahulu tercemar? 

Jika si X menuntut Y dengan tuduhan pencemaran nama baik, apakah Y bisa menuntut balik X dengan tuduhan yang sama karena tuntutan awal dari X (yang kemudian diumumkan di ruang publik) telah mencemarkan nama baik Y?

Subyektivitas memegang peranan penting, tapi kita sudah melihat banyak kasus yang menggambarkan bahwa ancaman tuntutan hukum yang berawal dari adu argumen di media sosial adalah nyata. Secara teoritis, siapa pun yang menjadi lawan debat sengit anda di internet berpotensi menjadi orang yang menuntut anda di masa depan. Sepertinya harus bijak memang dalam memilih lawan.

Ini tidak serta merta menganjurkan agar diskusi tukar pendapat di ruang digital dihilangkan, tapi terkadang karakter media sosial yang tidak mempertemukan pihak-pihak yang terlibat secara tatap muka membuat orang terbawa suasana. 

Kecil kemungkinan dalam debat sesengit apa pun secara offline kata-kata makian kasar akan terucap dari mulut. Hiper realitas media sosial memudahkan kita untuk memakai kata-kata umpatan atau melayangkan tuduhan prematur yang belum tentu akan kita lontarkan jika bertemu langsung secara fisik.

Tidak hanya soal kebebasan untuk berdebat, namun ada kekhawatiran bahwa kebebasan untuk beropini pun bisa dirongrong seperti yang terjadi pada kasus Florence Sihombing, misalnya.

Kita bisa memperdebatkan soal kepantasan pilihan kata yang ia gunakan yang kemudian membuatnya mendapat masalah, tapi bagaimana pun apa yang ia publikasikan adalah opininya. Apakah ini berarti bahwa opini yang tidak populer lebih baik disimpan saja dalam hati?

Kita semua sepakat bahwa UU ITE adalah ancaman yang mengintai senantiasa dan mungkin lebih baik jika undang-undang tersebut ditiadakan saja, tapi selagi hukum tersebut masih berlaku, yang bisa kita lakukan adalah berjingkat-jingkat untuk menghindari kemungkinan terkena jeratnya.

 (BACA: Bersalah, Florence penghina Yogyakarta divonis 2 bulan

Lalu mengapa tidak semua twitwar dan debat panas di Twitter berakhir dengan tuntutan pencemaran nama baik? Jika boleh memparafrasekan kutipan Bang Napi, tuntutan atas pencemaran nama baik terjadi bukan hanya karena ada kesempatan, tapi juga karena ada niat dari penuntutnya. 

Inilah mengapa saya sekarang enggan berkelahi verbal di internet. —Rappler.com


Pangeran Siahaan adalah seorang penulis dan co-founder Provocative Proactive. Follow Twitternya di @PangeranSiahaan

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!