Menakar kadar radikalisme situs media ‘Islam’

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menakar kadar radikalisme situs media ‘Islam’

GATTA DEWABRATA

Sudah tepatkah langkah pemerintah memblokir 22 situs radikal? Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Jakarta menyebut langkah pemerintah legal. Tapi Pemred Hidayatullah dan aktivis muda NU punya pendapat sendiri. Seperti apa pandangan mereka?

 

JAKARTA, Indonesia — “Kami kena getahnya,” kata Mahladi, pemimpin redaksi grup Hidayatullah saat memprotes pemblokiran 22 situs ‘radikal’ oleh pemerintah, dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, di Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu, 5 April. 

Padahal, kata Mahladi, cita-cita Hidayatullah sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yakni berjihad melawan gerakan propaganda yang mengajak pada kekerasan dan menebar kebencian. 

Alih-alih dirangkul, BNPT dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir situs hidayatullah.com beserta sejumlah situs lainnya. “Kami dicap berbahaya. Sampai sekarang saya bertanya, apa bahaya kami? Tapi tidak ada yang menjawab,” katanya. 

Hidayatullah tak pernah merasa dihubungi pihak Kemenkominfo lewat telepon atau e-mail, hingga grup media yang sudah berdiri sejak 1996 itu memutuskan untuk menanyakan hal tersebut pada kementerian. 

(BACA: KembalikanMediaIslam: Media Islam protes pemblokiran situs ‘radikal’)

Jawaban kementerian tak memuaskan, selain dua poin yang membuat mereka bingung. “Kami dituding mengajak orang ke Suriah, mengajak orang (bergabung) ke ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah),” katanya. 

Mahladi mengaku kaget dan balik mengklaim bahwa selama ini Hidayatullah justru mengajak umat Islam kritis terhadap gerakan ISIS. Hidayatullah, klaim Mahladi, mengajak para pembacanya untuk menimbang kembali ajakan bergabung dengan ISIS. 

Tudingan kedua dari kementerian adalah mengkafirkan negara. “Aneh jika ada yang menganggap Indonesia kafir,” katanya. 

Benarkah situs Hidayatullah mengandung pesan radikal?

Menjawab keluhan Pemimpin Redaksi Hidayatullah, Kepala BNPT Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution buka suara. Ia menyebut ada dua berita di situs Hidayatullah yang dikategorikan bermuatan negatif. 

“Menurut kami ada beberapa berita negatif yang tidak layak ditayangkan,” kata Saud. Tapi Saud menolak menyebut konten dua berita negatif yang dimaksud. 

Di akhir acara, Mahladi menyebut dua berita yang disebut negatif oleh Saud terkait ISIS. “Si A misalnya mengatakan ISIS itu tidak berbahaya. Apakah itu sikap kami? Itu bukan sikap kami,” katanya. Si A yang dimaksud adalah seorang ulama lokal. 

Debat soal penggunaan istilah ‘radikal’ 

Apa itu konten radikal? BNPT punya kriteria sendiri soal konten radikal. Menurut BNPT, ada 4 kriteria radikal: 

  1. Mengadung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)
  2. Mengandung penyebaran faham takfiri atau pengkafiran
  3. Mengandung propaganda terkait ISIS
  4. Mengandung unsur kebencian, kekerasan, ancaman, dan anjuran untuk berjihad

Sementara itu, pendiri Indonesia Online Advocacy Margiono berbeda pendapat dengan BNPT. 

“Ada sedikit yang kurang pas dalam mengkomunikasikan kebijakan ini, ketika mengatakan bahwa ini situs radikal. Radikal ini pandangan politik, bukan hanya Islam,” kata Margiono, yang juga seorang pengamat media siber. 

Jika dibandingkan dengan negara lain, bahasa yang lebih populer bukan ‘radikal’ melainkan ‘mengandung konten berbahaya’ atau ‘membahayakan keselamatan umum’. 

(BACA: Mempertanyakan kewenangan Kemenkoinfo Memblokir Situs)

Soal konten negatif, kata Margiono, belum tentu melanggar hukum. Negatif dianggap subyektif dan tak ada patokan pasti. 

Ia mencontohkan, ada yang negatif, legal, dan tak bisa diblokir negara. “Misal rokok, itu negatif tapi legal, karena bayar pajak,” terangnya. 

Sedangkan konten yang perlu dibatasi, bukan radikal atau negatif, tapi lebih dikenal dengan bahasa populer ‘konten berbahaya’ yang punya damage control atau kerusakan yang tinggi. 

Misal film yang mengandung syiar kebencian seperti Innoncence of Muslims yang dianggap menghina Nabi Muhammad adalah salah satu konten yang harus segera diblokir. “Kalau tidak ditutup dalam waktu dekat akan terjadi kemarahan,” katanya. 

Jalan tengah dari pengelola situs Islam 

Di balik perdebatan tentang penggunaan istilah radikal, dua pengelola situs Islam punya pendapat yang berbeda. Mahladi dari situs Hidayatullah berpendapat tak mudah menyebut sebuah situs radikal, tapi mudah mengenali sebuah tulisan yang menebarkan kebencian. 

Yakni jika berita dalam situs tersebut tidak melakukan konfirmasi. “Misalnya ada kebencian dari pihak A, kalau kami hanya melulu memberitakan A, maka kami sudah tidak fair,” katanya. 

(BACA: Kemenkominfo: Pemblokiran situs radikal tidak permanen)

Pemimpin redaksi NU Online Savic Ali menjelaskan lebih lanjut. Ia memisahkan antara situs yang memberitakan berita negatif tentang aliran Islam yang lain dan situs yang mempromosikan kekerasan serta teror. 

Savic menyebut ada beberapa di antara 22 situs yang diblokir pemerintah yang tidak berkategori radikal. “Meskipun tidak mempromosikan kekerasan atau teror, tapi situs-situs itu rata-rata mengkafirkan, membidah-kan, suka bilang sesat kelompok lain,” katanya. 

Ia mencontohkan situs eramuslim.com. Situs ini disebut sarat dengan klaim tuduhan kafir dan sesat pada kelompok lain. “Tapi kan mengkafirkan tidak melanggar hukum, beda dengan mempromosikan kekerasan atau teror,” katanya. 

“Kalau suka menyesatkan dan mengkafirkan, biarin saja lah. Itu bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena memang keyakinan mereka begitu,” katanya. 

Asalkan, kata Savic, tidak mengancam hak hidup orang lain. “Tapi kalau web yang mempromosikan teror kekerasan, saya kira memang layak untuk diblokir,” katanya. 

Tiga situs ini dianggap radikal karena menebar teror

Salah satu pertimbangan dalam menutup situs, kata Margiono, adalah tingkat ‘kerusakan’ atau damage control yang ditimbulkan oleh tulisan di situs tersebut.

Savic menyebut kriteria itu dipenuhi oleh 3 situs. Antara lain: 

  1. Al Mustaqbal yang berafiliasi ke ISIS. 
  2. Arrahmah yang dianggap punya afiliasi ke Abu Jibril yang pernah ditangkap karena terorisme. “Baik dia maupun anaknya,” kata Savic. 
  3. VOA-Islam karena dianggap punya afiliasi dengan Abu Bakar Ba’asyir yang juga ditahan karena isu terorisme.  

Menurut Savic, pemblokiran atas tiga situs ini tidak melanggar kebebasan berekspresi. Justru menghentikan propaganda. “Mereka ingin mengimpor peperangan ke Indonesia, mengimpor konflik Timur Tengah ke Indonesia lewat berita yang sering tidak bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.  

Sedangkan 19 situs lainnya dianggap hanya masuk kategori takfiri atau suka mengkafirkan. “Tapi menurut saya takfiri boleh-boleh saja. Tapi masalahnya BNPT punya kriteria, takfiri tidak boleh. Itu menurut saya yang membatasi kebebasan berpendapat,” kata Savic. 

Menurut Savic, pemerintah tak perlu risau dengan situs-situs kategori takfiri tersebut. “Aliran Islam itu macam-macam. Itu sudah lama. Biar saja yang satu mengganggap yang lain salah sejauh tidak membayakan nyawa orang lain, tidak mengancam negara, tak mengancam hidup bermasyarakat,” kata Savic. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!