Tumbuhnya sikap anti-imigran Muslim di Eropa dan Australia

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tumbuhnya sikap anti-imigran Muslim di Eropa dan Australia

EPA

Konflik dan situasi ekonomi di negeri asal mendorong arus emigrasi ke negara Eropa. Berkembang sikap anti-radikalisme yang celakanya, selalu ditimpakan kepada kaum pendatang Islam.

Tragedi penyerangan ke kantor media Charlie Hebdo di Paris memunculkan isu yang panas: Perlakuan terhadap imigran di negeri tempat lahir prinsip demokrasi itu. 

Di laman Guardian saat itu, Nabila Ramdani menulis artikel berjudul: Charlie Hebdo: Don’t blame this bloodshed on France’s Muslims.  Saya kutipkan sebuah paragrafnya,“Sadly, the French capital has been associated with some of the worst barbarism in human history”.  

Nabila, jurnalis keturunan imigran dari Aljazair, tinggal di Paris dan lama mengamati perlakuan diskriminasi yang dialami warga imigran. Saya menuliskannya di sini.

Ibarat punya kaki, kekerasan menjalar ke mana-mana, pula memicu sikap anti terhadap kelompok tertentu. Ini yang terjadi saat ini di Eropa.

Di Jerman, aksi protes mencuat di beberapa kota, Senin akhir Maret ini. Aksi ini dimotori sebuah organisasi bernama Patriotic Europeans Against the Islamisation of the West (PEGIDA) – Patriot Eropa Melawan Islamisasi Barat. Gerakan itu juga berlawanan dengan titah Kanselir Jerman Angela Merkel yang melarang tindakan demo seperti itu karena dia nilai sebagai rasis.

Aksi yang diluncurkan PEGIDA itu berlangsung hampir setiap pekan di Dresden, kota di Jerman bagian timur. Yang ikut demo ini lumayan besar. Akhir Januari lalu, sampai 18.000 warga yang turut serta, angka terbesar yang pernah terjadi.

Salah seorang warga PEGIDA mengibarkan bendera Jerman yang warnanya hitam, merah, dan emas itu. Ia mengacungkan poster bertuliskan “Menentang fanatisme agama dan setiap bentuk radikalisme”.

”Kekerasan terhadap orang asing, serta syak wasangka terhadap umat beragama, semuanya harus dihindari.”

PEGIDA, yang dalam bahasa Jerman adalah Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes, didirikan di Dresden pada Oktober 2014. Kegiatannya adalah menggelar demonstrasi mingguan, terutama dari Oktober hingga Februari, untuk menentang apa yang disebut sebagai “Islamisasi dunia barat”.

Organisasi ini didirikan Lutz Bachmann, warga Dresden yang memiliki kantor jasa komunikasi. Melalui kelompoknya, Lutz menuntut pemerintah Jerman menerapkan aturan imigrasi yang lebih ketat, terutama terhadap kaum Muslim. Bachmann mengundurkan diri dari PEGIDA pada Januari 2015, setelah fotonya dengan model kumis dan rambut Hitler beredar. Ia diselidiki polisi.

Aksi yang digelar PEGIDA mendapat liputan luas. Tetapi yang menentang juga semakin banyak. Di koran The New York Times disebut, di Berlin dan di kota bagian barat, Cologne, aksi menentang PEGIDA berlangsung lebih meriah. Bahkan pesertanya lebih besar ketimbang yang di Dresden. Organisasi baru PEGIDA dinilai sebagai biang rasialisme dan intoleransi.

Satu poster di Cologne bertuliskan “Memilih kentang ketimbang kebab”. Kebab adalah masakan khas Turki – saat ini terdapat sekitar 3 juta warga Turki berada di Jerman, imigran terbanyak di Jerman. Mesut Ozil, bekas pemain Bayern Munich yang kemudian pindah ke Real Madrid dan kini bermain di klub Inggris, Arsenal, adalah salah satu imigran dari Turki yang sukses.

Jerman merupakan negara dengan aturan imigrasi cukup longgar. Keterkaitan Jerman dengan Nazi dicoba diredam dengan memberi kemudahan bagi imigran atau pencari suaka. Tahun lalu, terdapat 200.000 pencari suaka di Jerman, empat kali lebih banyak dibanding tahun 2012, sebagian besar dari Timur Tengah.

Dalam pidato menyambut tahun baru, awal tahun ini, Kanselir Angela Merkel mendesak warga Jerman menghindari rasa benci terhadap umat Islam.

“Kita perlu untuk… katakanlah ekstremisme sayap kanan, kekerasan terhadap orang asing, serta syak wasangka terhadap umat beragama, semuanya harus dihindari,” kata Merkel dalam kunjungannya ke kota di bagian timur, Neustrlelitz, awal Januari lalu. 

Migrasi dipicu perang di Suriah

Doa bersama terhadap korban penyerangan kantor media Perancis Charlie Hebdo di gelar di Berlin, Jerman, pada 13 Januari 2015. Foto oleh EPA

Di Eskilstuna, sebuah kota berusia hampir 500 tahun di Swedia, Khalif Samantar tengah salat di masjid, pada hari Natal tahun lalu. Ia merasakan hawa di dalam masjid, yang biasanya sejuk, perlahan-lahan memanas. Tetapi Khalif tetap memusatkan pikirannya ke salatnya.

Sampai, tiba-tiba seseorang berteriak kencang, “Masjid terbakar!” 

Ia membatalkan salatnya, lalu melompat melalui jendela, jatuh ke hamparan salju. Ia, bersama 70 orang lain yang ketika itu di dalam masjid, alhamdulillah selamat.

Pusat kegiatan Islam itu nama lengkapnya Eskilstuna Islamiska Dawa Center. Aksi pembakaran masjid itu merupakan kejadian terburuk yang dialami kaum Muslim di negara itu. 

Abdirahman Farah Warsame adalah imam di Dawa Center. Ia masygul melihat keganasan yang menimpanya. “Kami meninggalkan negara kami sebagai pengungsi. Kami ke sini bukan untuk mencari makan atau untung. Kami hanya mencari tempat yang aman, tapi inilah yang kami dapat,” katanya. 

Abdirahman aslinya dari Somalia. “Situasi damai itu telah pergi. Kami merasa, masyarakat sekarang memusuhi kami,” katanya. 

Sikap memusuhi pengungsi Muslim, mungkin itulah yang menimpa Abdirahman. Gelombang migrasi ke Eropa dipicu oleh perang di Suriah dan kekacauan di sebagian negara Islam di Timur Tengah dan Afrika. 

Masih ada faktor lain: Kesulitan ekonomi yang tengah menimpa Eropa serta ketakutan terhadap radikalisme yang membawa bendera bernuansa Islam. Akibatnya, sebagian orang langsung memasang wajah waspada terhadap semua yang mengusung warna Islam.

Kecurigaan terhadap pengungsi Islam itu menimbulkan kecurigaan dan perdebatan di seluruh Eropa, mendorong kontrol imigrasi yang lebih ketat. Ketakutan terhadap kaum imigran mengangkat pamor partai sayap kanan di Inggris, Denmark, Perancis, dan Hungaria.

Pemerintah Jerman mencatat, lebih dari 70 kekerasan terhadap masjid berlangsung dari 2012 sampai 2014, di antaranya pembakaran. Polisi Inggris mencatat kekerasan terhadap kaum Muslim juga bertambah.

“Situasi damai itu telah pergi. Kami merasa, masyarakat sekarang memusuhi kami.”

Tak banyak tempat yang menunjukkan aksi kebencian terhadap Muslim bertambah demikian tajamnya seperti di Swedia. Padahal, Swedia selama ini dikenal sebagai negara yang mendukung kebijakan pintu terbuka terhadap imigran, sebuah kebijakan berumur 65 tahun, dan dikagumi oleh banyak negara.

Akhir Desember lalu, ratusan orang berkumpul di luar gerbang istana di Stockholm. Aksi serupa berlangsung di kota lain. Mereka ingin menunjukkan solidaritas terhadap kaum Muslim, sehari setelah sebuah bom molotov dilemparkan ke sebuah masjid di Uppsala, sebuah kota di Swedia bagian utara. 

Tak ada kerusakan, tak ada pula korban. Tetapi lemparan bom itu terasa mengguncang sendi-sendi kerukunan masyarakat.

Selagi jumlah imigran yang datang dalam jumlah normal, tak ada yang perlu dirisaukan. Namun ketika jumlahnya meledak, toleransi di Swedia pun seperti tengah mendapat ujian.

Swedia memiliki perekonomian yang lumayan. Itu mungkin salah satu daya tarik bagi para pencari suaka. Jumlah pencari suaka di Swedia adalah nomor tiga di Eropa pada 2012, setelah Jerman dan Perancis. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya, persentasi imigran di Swedia menempati peringkat tertinggi dibandingkan dengan Jerman dan Perancis. Di Eropa, hanya Malta yang mengalahkan Swedia.

Konflik Suriah mendongkrak jumlah pengungsi. Dari 81.000 pencari suaka di Swedia, sekitar separuhnya berasal dari Suriah.

Keberatan terhadap terus bertambahnya jumlah pengungsi ini bermunculan. Partai Demokrat, kelompok politik sayap kanan yang dikenal sebagai anti-imigran, terus mendapat dukungan. Pada pemilu September tahun lalu Partai Demokrat mendapat suara 13%.

Hak-hak bagi imigran

Muslim di media sosial serukan #notinmyname menentang stereotip Islam dengan ISIS. Screenshot dari YouTube

Masuknya Partai Demokrat ke parlemen pada 2010 membuka diskusi yang sebelumnya sama sekali tak terpikirkan: Apakah kaum imigran berhak mendapat hak yang sama di bidang pendidikan dan hak dasar lainnya yang disediakan oleh negara.

Adrian Groglopo, profesor ilmu sosial di Universitas Gothenburg, mempelajari persoalan diskriminasi di Swedia pada dekade yang lewat. Katanya, Swedia adalah negara yang sebenarnya warganya terpisah secara rasial. Kaum imigran hidup di perkampungan, berjuang untuk mendapat pekerjaan. Kemudian muncul Partai Demokrat. Keberhasilan Partai Demokrat membuat sikap rasis secara sosial lebih diterima. 

“Ini situasi yang sangat sulit bagi Swedia,” katanya. “Sekarang kita bisa bicara hal-hal yang di masa lalu tidak pernah dibicarakan,” lanjutnya.

Akhir tahun lalu, Partai Demokrat mengancam untuk menjatuhkan Perdana Menteri Stefan Lofven, pemerintahan yang didukung kelompok partai minoritas. Pemilihan awal tak jadi dilaksanakan, karena ada kesepakatan untuk menempatkan Partai Demokrat sebagai oposisi utama, tak lagi di pinggiran. 

Partai Demokrat, yang mengusung program anti-imigran tumbuh cepat, meski sekitar seperlima dari 9,6 juta penduduk Swedia adalah kelahiran luar negeri atau keturunan imigran.

Kaum imigran di Swedia memiliki akses pendidikan. Tetapi angka statistik pemerintah menunjukkan, angka pengangguran kaum imigran hampir dua kali dari angka rata-rata nasional yang mencapai 8%. Kesenjangan ini turut memicu kerusuhan sosial di perkampungan kaum imigran di luar kota Stockholm pada 2013.

Dengan makin banyaknya pengungsi, salah satunya akibat situasi yang tak tenteram di Timur Tengah, potensi kerusuhan sosial ini semakin bertambah. Tak hanya di Swedia, melainkan juga di negara lain di Eropa.

Reclaim Australia

Seorang warga Australia dalam demonstrasi ‘Reclaim Australia’ membawa spanduk anti-Muslim di Sydney, pada 4 April 2015. Foto oleh EPA

Di Sydney, Sabtu pekan lalu, sekitar 500-800 an orang berkumpul di Martin Place, pusat bisnis di kota utama Australia itu. Mereka dikoordinir oleh kelompok yang menamakan dirinya Reclaim Australia. Mereka menuding, kian bertambahnya jumlah orang beragama Islam yang datang ke Australia, membuat kekuatiran akan pengaruhnya terhadap hidup masyarakat di Australia. 

Aljazeera.com melaporkan di Melbourne, polisi berupaya menengahi demo kelompok ini dengan kelompok yang anti-rasis. Organisator demo anti-rasis, Mel Gregson, mengatakan bahwa Reclaim Australia menyebarkan teori konspirasi.

Membangun saling pengertian antar agama dan ras bukan hal mudah. Bukan proses semalam jadi  Imigran datang untuk mencari penghidupan yang lebih baik, lari dari gonjang-ganjing politik di negeri sendiri.  

Tidak sedikit kasus di mana pelaku radikalisme juga datang dari kelompok lain, di luar yang beragama Islam. Tapi, stigma terlanjur menempel. Pekerjaan besar bagi pemimpin dunia, termasuk pemimpin agama dan mereka yang mencintai kemanusiaan. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!