LGBT, pilihan hidup, dan agama

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LGBT, pilihan hidup, dan agama

(c) TiM SANTOS (+62817-60300-11)

Menteri Agama Lukman Saifuddin bicara tentang isu yang sulit bisa disandingkan dengan isu keagamaan: LGBT.

JAKARTA, Indonesia— Isu kaum minoritas, khususnya gay, lesbian, biseksual, dan transgender (LGBT), selalu jadi pembicaraan yang menarik, baik dari sisi kontroversi, perlindungan hak-hak, hingga intoleransi di masyarakat. Satu hal yang jarang sekali menjadi diskursus adalah permasalahan agama dan isu LGBT, yang hampir selalu berakhir dengan opini dan penolakan yang keras.

Kali ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berusaha menjembatani keduanya.

Bulan lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpendapat bahwa kaum homoseksual layak dihukum mati. Pernyataan ini langsung menimbulkan respon keras dari masyarakat. Ada yang menolak, memprotes keras MUI, ada pula yang menganggap harusnya pendapat tersebut tak perlu dipedulikan sama sekali.

(BACA: Gay Indonesia soal fatwa mati: MUI ketinggalan zaman

Pada Rappler, Lukman meluruskan hal tersebut. Menurutnya, pendapat tersebut bukanlah fatwa dari MUI secara institusional. 

“Itu adalah pandangan salah satu pengurus, karena ada pengurus lain yang tidak mengatakan seperti itu. Jangan menyederhanakan seakan-akan itu sudah pandangan MUI,” katanya.

Homoseksualitas sebagai pilihan hidup

Secara pribadi, Lukman mengaku masih berusaha mengerti isu homoseksualitas. Menurutnya, diskursus yang ada saat ini belum bisa menjawab apakah orientasi seksual itu sesuatu yang sudah tertanam dalam diri seseorang, berasal dari pengaruh luar, atau kombinasi dari keduanya. Namun, satu hal yang pasti, tidak ada agama yang mentolerir hubungan sesama jenis.

Lukman pernah berkata bahwa homoseksualitas adalah sebuah pilihan. Ia menjelaskan alasan dari pendapatnya tersebut.

“Orang yang menjalani perilaku seperti itu pilihannya dua saja, apakah itu pilihan yang bersangkutan, atau itu takdir dari Tuhan. Saya pribadi berpandangan itu pilihan, karena Tuhan tidak mentakdirkan, sejauh yang saya yakini,” katanya.

“Mungkin saya salah karena keterbatasan pengetahuan keagamaan saya. Tapi, dalam keterbatasan saya, saya meyakini bahwa hal tersebut bukanlah kehendak tuhan, bukan takdir tuhan.”

“Karena pilihan, maka masing-masing orang bertanggung jawab nanti suatu saat dengan pilihannya sendiri-sendiri itu. Konsekuensi yang dia terima atas pilihan yang ia lakukan, itulah yang harus ia pertanggungjawabkan. Jadi, saya lebih memilih bahwa itu sebagai pilihan daripada takdir. Karena kalau itu takdir, ya selesai urusannya, karena memang maunya Tuhan, gitu kan? Tapi buat saya, apa iya benar itu maunya Tuhan?” sambungnya.

Berangkat dari pemahaman ini, Lukman berpendapat bahwa masyarakat harus ikut campur dalam permasalahan ini.

“Inilah tantangan bagi para tokoh agama, para pendidik, untuk bagaimana memberikan panduan agar pilihan masyarakat itu tidak salah, dalam artian melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan agama, karena ya itu, semua agama tidak mentolerir perilaku seperti itu,” ujarnya.

“Jadi, karena itu pilihan, maka menjadi kewajiban kita semua untuk bagaimana dalam menggunakan pilihannya masyarakat itu bisa bertanggung jawab, bisa sesuai dengan ajaran agamanya, bukan bebas sebebas-bebasnya tanpa acuan agama.” 

Pernikahan sesama jenis di Indonesia, mungkinkah?

Pertanyaan lain yang sering terlontar mengenai LGBT adalah mengenai pernikahan sesama jenis. Beberapa negara sudah melegalkan praktek tersebut, tapi mungkinkah hal yang sama akan terjadi di Indonesia?

Untuk saat ini, atas alasan hukum, jawabannya adalah tidak.

“Indonesia adalah negara hukum. Hukum di indonesia tidak mentolerir tindakan seperti itu. Jadi kalau mereka memiliki anak, membangun rumah tangga sendiri, itu tidak dimungkinkan di Indonesia karena tidak ada hukum yang memayunginya yang bisa menjadi landasan bahwa perilaku tersebut dibenarkan di bawah hukum,” kata Lukman.

“Dalam UU Perkawinan misalnya, negara mengesahkan sebuah pernikahan antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan agama yang bersangkutan. Nah, kalau tidak memenuhi kedua syarat itu, maka pernikahan itu tidak sah di bawah negara.”

Tapi, apakah mungkin hal ini bisa berubah nantinya? Menurut Lukman, semua kembali lagi pada pilihan dan pandangan masyarakat.

“Bisa berubah atau tidak, berpulang pada aspirasi mayoritas masyarakat Indonesia, karena Indonesia adalah masyarakat demokratis, maka prinsip demokrasi adalah kalau aspirasi itu adalah kehendak mayoritas, maka akan menjadi regulasi, ketentuan yang mengikat kehidupan bersama.”

Proteksi terhadap LGBT

Kaum transgender melakukan protes di hari peringatan Hak Asasi Manusia di Jakarta, 10 Desember 2007. Foto oleh Jurnasyanto Sukarno/EPA

Proteksi terhadap kaum LGBT yang sering diserang juga merupakan permasalahan yang terus ada. Pandangan negatif dari berbagai pihak menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi mereka yang ingin mengadakan aktivitas seperti diskusi dan advokasi isu karena selalu ada ancaman dari kelompok-kelompok tertentu.

Lukman punya pengertian sendiri atas proteksi yang bisa diberikan oleh masyarakat dan pemerintah.

“Sejauh yang saya tahu, betul di Indonesia ada pengikut, penganut LGBT, itu harus kita akui. Tapi, mayoritas bangsa Indonesia memiliki pandangan bahwa perilaku itu tidak bisa ditolerir, bukan perilaku yang benar menurut paham mayoritas ini, sehingga tentu bentuk proteksi terhadap mereka haruslah dalam koridor untuk bagaimana mengarahkan mereka ke arah yang benar, sesuai paham mayoritas itu.”

Setujukah kamu dengan pandangan Menteri Agama? Beri tahu kami melalui Twitter @RapplerID—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!