Filipino boxers

Mengkritik reklamasi lewat tayangan indah Kala Benoa

Anton Muhajir

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengkritik reklamasi lewat tayangan indah Kala Benoa
Kala Benoa mengajarkan bahwa video dokumenter perlawanan pun tetap bisa disajikan lewat gambar-gambar menawan.

DENPASAR, Indonesia — Film dokumenter Kala Benoa memberikan inspirasi bahwa kritik tak harus disampaikan dengan keras. Penyajian keindahan laut yang biru dan tenang di Teluk Benoa dalam film menyampaikan pesan bagi para pendukung reklamasi teluk untuk tidak merusak keindahan alam tersebut.  

Film ini dibuat oleh videografer dan fotografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Parta, di Bali, Lombok dan Pulau Bungin. Sejak diunggah di YouTube minggu lalu, film dokumenter ini sudah dilihat hampir 20.000 kali. Ini adalah karya lain mereka Inspirasi perlawanan dari warga Samin lawan industri Semen.

Kala Benoa menyuarakan mereka yang tak terdengar 

Bercerita tentang penolakan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa, Dandhy dan Ucok justru memulai film Kala Benoa dengan cerita dari Pulau Bungin, pulau berjarak sekitar 300 km di timur Bali. Pulau kecil di NTB ini salah satu pulau terpadat di dunia. Dengan luas hanya 12 hektar, jumlah penghuni pulau ini hingga 3.120 jiwa.

Selama 200 tahun, Suku Bajo yang tinggal di Pulau Bungin telah menguruk pulau dari hanya 3 hektar menjadi 12 hektar seperti sekarang.

“Tidak ada investor properti yang sesabar orang-orang Bajo. Terutama bila hendak mereklamasi 700 hektar dengan 23 juta kubik pasir.” Kalimat pembuka itu menghubungkan Pulau Bungin dengan lokasi utama film Kala Benoa, Teluk Benoa.

Dari situlah, Kala Benoa mulai menarasikan suara-suara akar rumput yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Dandhy dan Ucok mewawancarai Nyoman, nelayan paruh waktu yang masih mencari ikan di Teluk Benoa.

Ada pula Ketut Karya, Ketut Linggih, dan Made Raram. Semuanya orang-orang biasa yang selama ini tak pernah mendapat suara di media terkait dengan kontroversi reklamasi Teluk Benoa.

“Banjar saya semua tidak setuju. Satu desa tidak setuju. Alasannya? Kalau diuruk, bisa mati saya sebagai nelayan. Di mana saya naruh sampan dengan teman-teman saya,” kata Karya, salah satu nelayan, yang diwawancarai sembari membersihkan sampannya.

Raram, yang juga nelayan, menolak karena khawatir sebagai warga lokal akan terusir setelah Teluk Benoa direklamasi. “Pulau Serangan kan dulu begitu. Pas diuruk langsung diusir orang-orangnya,” kata Raram. Dia mengutip cerita tentang warga Pulau Serangan yang terusir dari tanahnya sendiri ketika pulau itu mulai direklamasi pada 1994.

Dari Teluk Benoa, Kala Benoa juga menceritakan penolakan warga Lombok Timur. Pantai di sisi timur Lombok ini akan dikeruk untuk membangun pulau baru di Teluk Benoa, Bali. 

“Orang yang membangun, masak pantai kami yang dirusak. Kalau diperbaiki boleh. Kalau dikeruk jangan,” kata Muhammad Tohri, nelayan di Labuhan Haji, Lombok Timur. 

Dandhy Laksono, pembuat video 'Kala Benoa' sedang mencoba alat, Lombok Timur, April 2015. Foto oleh Anton Muhajir/Rappler

Tak terjebak perlawanan

Warga melakukan penolakan kuat terkait rencana reklamasi oleh PT PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Perusahaan milik Tomy Winata, bos Artha Graha, ini akan mereklamasi hingga 700 hektar di kawasan teluk seluas 1.300 hektar tersebut. Berbagai kelompok warga menolak rencana reklamasi sejak 2013.

Namun, film ini tak hanya menyuarakan perlawanan tapi juga memberikan tempat bagi pelaku bisnis. Hendi Lukman, Direktur Utama PT TWBI, berkali-kali dikutip pernyataannya dalam video ini.

“Kami tidak mungkin menghancurkan bumi pertiwi dan bangsa ini dengan apapun. Percayalah,” kata Hendi Lukman saat Konsultasi Publik PT TWBI terkait rencana reklamasi Maret lalu.

“Percayalah saya tidak akan merusak budaya Bali, Pak. Karena di sanalah keunikan Bali. Alangkah bodohnya jika kami menghancurkannya,” lanjut Hendi.

Ekowisata jawabannya

Tak mendukung pariwisata mahal dengan rencana untuk reklamasi teluk, Dandhy dan Ucok menawarkan alternatif wisata bernama ekowisata. Ini bukan hal baru, namun sudah pernah dilakukan Jaringan Ekowisata Desa (JED), usaha pariwisata yang dimiliki dan dikelola warga lima desa di Bali. 

JED membuka ekowisata melalui Tenganan Pegeringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem.Tenganan merupakan desa Bali Aga atau Bali Kuno di mana kepemilikan lahan masih bersifat komunal. Tidak ada kepemilikan pribadi. Tanah seluas 917 hektar di desa ini tak boleh dijual karena milik bersama.

Tiap tahun, 46.000 turis mengunjungi desa ini. Tapi penghasilan utama desa tetap dari pertanian dan perkebunan. Warga tidak silau terhadap gemerlap pariwisata yang kini terjadi di Bali.

“Pariwisata hanya bonus dari apa yang kami lakukan. JED mengenalkan kami terhadap potensi lokal yang kami miliki sendiri,” kata Putu Wiadnyana, Ketua Koperasi JED.

Kala Benoa mengajarkan bahwa video dokumenter perlawanan pun tetap bisa disajikan lewat gambar-gambar menawan.— Rappler.com

Anton Muhajir adalah seorang jurnalis dan blogger di Bali. Kunjungi blognya di anton.nawalapatra.com dan follow Twitter-nya di @antonemus.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!