Mari bicara tentang RUU Larangan Minuman Beralkohol

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mari bicara tentang RUU Larangan Minuman Beralkohol

EPA

Setelah beragam Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri, kini minuman beralkohol akan diatur dalam Undang-Undang.

DPR RI ajukan RUU pelarangan minuman beralkohol di seluruh Indonesia. Foto oleh EPA

JAKARTA, Indonesia — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol. Apa isinya?

RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol sebenarnya sudah diracik oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahter (PKS) sejak periode sebelumnya. Namun, karena belum sempat dijamah, RUU ini diwariskan pada anggota dewan periode 2014-2019.

RUU ini akhirnya masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015, yang artinya pada tahun ini RUU akan dibahas dan dirampungkan. 

Pasal 5-7 RUU ini melarang setiap orang, baik pribadi maupun kelompok, memproduksi, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan bahkan mengonsumsi minuman berakohol golongan A (kadar rendah, 1-5%), golongan B (kadar sedang 5-20%), golongan C (20-55%), tradisional, dan campuran, kecuali untuk kepentingan terbatas.

Kepentingan terbatas tersebut mencakup kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Bukan barang baru

Sebenarnya, pengaturan minuman beralkohol sudah ada di Indonesia, namun konteksnya masih peraturan lokal. Kementerian Perdagangan baru-baru ini mengeluarkan peraturan yang melarang penjualan minuman beralkohol di minimarket.

Peraturan ini mendulang beragam reaksi di masyarakat, ada yang menolak ada pula yang mendukung.

“Saya kira peraturan tersebut sudah baik. Bagaimana pun, minuman beralkohol tidak sesuai dengan budaya Indonesia,” kata Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay pada Suara Pembaruan, Selasa. 

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama bersikeras kalau peraturan yang terlalu ketat hanya akan meningkatkan angka peredaran alkohol ilegal oplosan yang berbahaya.

(BACA: Jakarta governor asks: What’s wrong with beer?

Hukuman berat

Lalu, kalau sudah ada sekian banyak peraturan mengenai minuman beralkohol, mengapa kita masih perlu satu undang-undang lagi untuk mengatur hal yang sama?

Sebuah undang-undang punya kekuatan hukum yang lebih kuat dibandingkan Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Menteri (Permen). Hukuman yang diberikan pun umumnya lebih kuat.

Selain itu, UU bersifat universal sehingga mengikat seluruh wilayah di Indonesia. Baca rancangan lengkapnya di bawah: 

RUU Larangan Minuman Beralkohol 24Jun14.pdf

Peraturan Menteri No. 20 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol hanya mengatur tata cara penjulan dan tidak mencantumkan hukuman apapun. Sementara, RUU yang sedang dibahas punya rentetan hukuman yang cukup jelas dan berat.

Memproduksi dan mendistribusikan minuman beralkohol dapat diganjar dengan penjara 2-10 tahun atau denda 20 juta hingga 1 miliar.

Mengonsumsi dapat dipidana 3 bulan sampai 2 tahun atau denda 10-50 juta, tapi bila sampai mengganggu ketertiban, pelaku bisa dikenai lagi penjara 1-5 tahun atau denda 20-100 juta. Luar biasa, bukan?

Dukungan untuk RUU LMB

Status RUU Larangan Minuman Beralkohol kini sudah dibahas di DPR dan mulai mendapatkan dukungan.

“Fraksi PKS karena termasuk pengusul, berarti sangat mendukung sekali, dan berkeinginan secepatnya agar RUU ini bisa diundangkan dan bisa secepatnya dibahas oleh Baleg (Badan Legislatif), dan langsung diparipurnakan,” kata Ansory Siregar, anggota Komisi IX dari Fraksi PKS, usai Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi DPR, Senin, 13 April.

Ansory juga berdalih kalau implementasi RUU ini bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, karena beberapa negara sudah sukses melakukannya.

“Mereka sudah tahu dampak kerusakan dari minuman beralkohol ini, termasuk di India. Di India minuman beralkohol dan produk rokok tidak kita dapatkan di jalan-jalan, padahal penduduk India itu 1,3 miliar. Mereka bisa menerapkan itu, mengapa kita di Indonesia tidak bisa?” ujar Ansory.

Bahkan, anggota Baleg dari Fraksi PKS Tifatul Sembiring menilai penghasilan negara dari penjualan minuman keras juga tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan peredaran miras. 

“Menurut saya, pajak dari minuman beralkohol ini tidak berkah, (jadi) tidak berkah anggarannya. Mengambil pajak dari sesuatu yang merusak orang lain. Maka kita dari Fraksi PKS mendukung RUU ini,” kata Tifatul, yang merupakan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika.

Ragam reaksi masyarakat

Meski demikian, usulan di atas tak sepenuhnya mendapat restu dari masyarakat. Sebagian masyarakat menolak usul RUU Larangan Minuman Beralkohol, seperti yang diungkapkan melalui media sosial.

Bagaimana denganmu? Apakah kamu pro atau kontra terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!