Popularitas Jokowi, kepuasan rakyat, dan pekerjaan rumah

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Presiden Jokowi memanggil pengamat politik menanyakan popularitasnya di masyarakat. Betulkah ia khawatir akan citranya di mata publik?

Presiden Joko Widodo. Foto oleh EPA

JAKARTA, Indonesia — Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengundang pengamat politik ke Istana Negara pada Selasa siang, 14 April, perihal popularitasnya kini di mata masyarakat Indonesia.

Dalam jamuan makan siang di Istana Negara, Jokowi mengundang Ikrar Nusa Bakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hanta Yudha dari Poltrack Institute, Nico Harjanto dari Populi Center, Philips Vermonte dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Dodi Ambardi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Muhammad Qodari dari Indo Barometer, Yunarto Wijaya dari Charta Politika, dan Thamrin Tamagola dari Universitas Indonesia.

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan memang benar Jokowi menanyakan popularitasnya di kalangan masyarakat.

“Ditanya oleh Pak Jokowi atas survei terbaru. Mereka menjelaskan tentang popularitas Presiden, Wakil Presiden, dan Kabinet,” kata Andi, Selasa malam, di Istana Negara, seperti dikutip oleh Metrotvnews.

“Presiden lebih menerima penjelasan dan saran mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah. Presiden mendengar saja dan berterimakasih atas penjelasannya.” 

Namun, pengamat Yunarto Wijaya mengklarifikasi topik pembicaraan tersebut.

“Bukan popularitas. Kalau popularitas sih sudah optimal karena terkait dengan pengenalan. Yang penting sekarang adalah tingkat kepuasan masyarakat. Media salah quote,” katanya kepada Rappler, Rabu pagi, 15 April. “Kepuasan itu terkait dengan hasil kerja.”

Akibat kebijakan tak populer

Survey nasional Indo Barometer yang dirilis pada 7 April 2015 menemukan bahwa kepuasan masyarakat atas kinerja Jokowi hanya sebesar 57, 5% sementara untuk Jusuf Kalla hanya 52,3% di enam bulan pertama pemerintahannya.

Bagi Yunarto, penurunan angka ini sebenarnya sudah bisa diduga.

“Memang ada penurunan dari survei LSI dan Indo Barometer, dari 61-62% ke 57%. Tapi apakah ini anomali?” tanyanya.

“Ini sudah bisa diduga dan bukan hal yang mengejutkan. Ini berawal dari pilihan Jokowi mengambil kebijakan tidak populis, dengan membuat kelonggaran ruang fiskal. Menaikkan harga BBM selalu jadi lingkaran setan di kebijakan publik dan APBN. Pertama kalinya ada presiden menarik subsidi di awal,” terangnya.

“Resikonya apa? Di segmen B, C, D, E, ke grassroots, tingkat kepuasan publik akan turun. Terbukti di survei. Permasalahan utama yang dianggap bukannya KPK, hukum, atau Kapolri, tapi ekonomi dan BBM,” lanjut Yunarto.

Kepuasan masyarakat terhadap Jokowi dipersulit dengan belum cairnya program-program kompensasi seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) karena baru 14% dari dana APBN-Perubahan yang turun.

“Untuk 18 juta kartu kan perlu lelang, perlu uang. Baru 400 ribu kartu yang ada sebagai simbol dan uji coba. Belum masif, jadi tidak heran kalau turun,” jelasnya.

Selain itu, Yunarto melihat kalau pengendalian inflasi harga bahan pokok juga menjadi salah satu alasan mengapa tingkat kepuasan semakin turun.

Di sisi masyarakat menengah ke atas, ada kekecewaan-kekecewaan lain yang harus dijawab oleh Jokowi.

“KPK, Polisi, Kapolri, kisruh dengan partainya sendiri. Sekarang memang belum berpengaruh besar, tapi bisa menjadi efek domino ke depannya. Kita tahu kalau kelas menengah sudah kecewa bisa berpengaruh ke kelas-kelas yang lain,” ucapnya.

Apa yang bisa Jokowi lakukan?

Untuk sekarang, yang bisa dilakukan Jokowi untuk melanggengkan pemerintahan dan mendapatan kembali dukungan masyarakat, menurut Yunarto, adalah dengan memperkuat kabinetnya.

“Kalau Jokowi tidak punya dukungan parlemen, sekarang kembali ke bagaimana kabinet bisa diperkuat,” ujua Yunarto.

Seperti diketahui, partai-partai pengusung Jokowi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat hanya memiliki 208 kursi dari total 506 di DPR RI. 

“Publik hanya bisa memaafkan kebijakan tidak populis kalau hasil jangka panjangnya ada, tapi ini hanya bisa tercapai kalau kabinetnya bekerja bagus dan tidak politis. Ini butuh evaluasi berkala. Ini bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!