Ekspansi (kapital) sepak bola di tanah komunisme

Eddward S. Kennedy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ekspansi (kapital) sepak bola di tanah komunisme

AFP

Bagaimana nasib sepak bola di Kuba? Mengapa ia dijadikan anak tiri?


Kuba adalah mercusuar komunisme paling kokoh di dunia. Ketika Uni Soviet runtuh dan Tembok Berlin roboh, Tiongkok lalu menjadi gurita kapital baru dunia dan Korea Utara hanya melulu soal oligarki partai, Kuba terus membangun diri untuk membuktikan betapa komunisme ternyata bukan utopia.

Upaya amat keras itu pun membuahkan hasil luar biasa. Satu contoh, di tengah keterpurukan ekonomi akibat embargo Amerika Serikat, Kuba nyatanya berhasil memberantas buta huruf rakyatnya. Catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, 100% orang Kuba berusia 15-24 (laki-laki dan perempuan) sudah melek huruf.

Selain itu, 96,2% anak-anak usia sekolah dasar sudah terdaftar. Dan, pada tahun 2004, 92,6% anak-anak tersebut berhasil menyelesaikan pendidikan dasar. Dalam peringkat UNESCO, Kuba bahkan berada di urutan ke-10 dari 125 negara dalam hal melek huruf.

Selain pendidikan, pelayanan medis di Kuba juga merupakan salah satu yang diakui terbaik di dunia. Dalam data tahun 2008 yang dilansir Departemen Kesehatan Kuba, ada 14.671 kantor dokter keluarga, 444 Puskesmas, 162 klinik gigi, 267 rumah sakit, 272 balai kesehatan ibu, 144 balai kesehatan lansia, 32 balai kesehatan orang cacat, 25 bank darah, dan 12 pusat penelitian kesehatan di seluruh Kuba. Dan semua pelayanan tersebut pun dilakukan dengan gratis, tak peduli penyakit apa yang diderita tiap pasien.

Kendati pelayanan publik Kuba terhitung luar biasa, tetapi tidak demikian dengan kehidupan olahraganya. Sebagaimana hanya ada satu partai politik di Kuba — Partido Comunista de Cuba (PCC) — maka di bidang olahraga pun demikian: hanya bisbol yang “diakui” oleh negara. 

Tak ada yang tahu pasti mengapa hal ini terjadi. Tetapi banyak yang mengatakan, sebab bisbol adalah kegemaran Fidel Castro, maka tak heran jika privelese terhadap olahraga tersebut begitu besar.

Presiden Kuba Fidel Kastro menyapa turis di ibukota Havana, pada 30 Maret 2015. Foto oleh EPA

Jika Anda adalah seorang (atau yang hendak menjadi) pesepakbola di Kuba, maka hidup Anda tak ubahnya seorang terpidana mati: pasrah menerima hukuman atau kabur dengan segala konsekuensinya. Perbedaan kasta antara bisbol dengan sepak bola di Kuba memang menggelikan. Kian terasa ironis mengingat Kuba adalah negeri yang percaya bahwa pemerataan di berbagai bidang adalah kunci keberhasilan.

Sebagai gambaran, atlit bisbol di Kuba rata-rata mendapat bayaran sebesar 2000 peso per bulan di tiap klubnya. Sementara untuk pesepakbola hanya diberikan 530 peso atau sekitar 300 ribu rupiah per bulan. 

Contoh lain mengenai infrastruktur. Di setiap sudut Kuba, Anda dapat menemukan lapangan untuk bermain bisbol yang ditata rapi. Dan jangan tanya bagaimana pusat latihan tim nasional bisbol Kuba. Porsi hak siar di televisi pun tidak berimbang. Selain itu, setiap pertandingan bisbol dapat menyedot 15.000-20.000 fans di stadion. Bandingkan dengan pertandingan sepak bola yang maksimal biasanya hanya ditonton sekitar 2.000 hingga 3.000 penonton.

“Lapangan kami buruk, tidak ada pelatih berkualitas. Tim (sepak bola) harus menggunakan transportasi umum (untuk bertanding), sementara para pemain bisbol mendapatkan mobil masing-masing,” kata Yosef Borraya, salah seorang penggemar sepak bola di Kuba yang sempat dilansir BBC pada tahun 2012 lalu.

Lewat fasilitas dan bayaran yang mewah, maka tak heran jika timnas bisbol Kuba kerap menjadi juara di turnamen antar negara. Sementara bagi para pesepak bola, ketidakadilan ini membuat mereka, suka atau tidak, mesti menempuh pilihan sulit: kabur dari Kuba dan meminta suaka di negara tetangga, terutama Amerika Serikat, demi peruntungan (dan penghargaan) yang lebih baik. 

Satu nama yang paling terkenal dalam hal ini adalah Osvaldo Alonso, mantan kapten timnas Kuba,. Alonso kabur ke Amerika Serikat pada tahun 2007 dan sekarang bersama klub MLS, Seatles Sounders. Pada tahun 2012, Alonso pun memutuskan berpindah kewarganegaraan. Pilihannya tersebut membuatnya dicap sebagai sebagai pengkhianat dan tak pernah dianggap ada dalam sejarah sepak bola Kuba.

Kendati begitu, kenekatan Alonso justru menjadi inspirasi bagi para pesepak bola Kuba lain. Rey Angel Martinez dan Alberto Delgado, misalnya, juga melakukan hal serupa ketika meninggalkan timnas Kuba pada sela-sela perhelatan Piala Emas tahun 2002 di Los Angeles. Keduanya kemudian berhasil tampil untuk tim MLS lainnya, Colorado Rapids.
Momen paling parah terjadi saat timnas Kuba U-23 bertanding di Tampa, 2008 lalu. Kala itu, tercatat sebanyak tujuh pemain Kuba meninggalkan hotel tim dan tak pernah kembali lagi ke negara asalnya. 

Nama terbaru yang juga meninggalkan timnas Kuba adalah Yosniel Mesa. Mesa, yang kala itu masih memperkuat Cienfuegos, salah satu klub sepak bola di Liga Kuba, kabur dari pemusatan latihan saat tampil Piala Emas Concacaf, Amerika Serikat pada Juni 2014 lalu. 

Dengan kian mengglobalnya sepak bola, sulit kiranya bagi Kuba untuk terus hanya bertumpu pada bisbol. Anak-anak muda Kuba kini perlahan mulai sering terlihat memainkan si kulit bulat di gang-gang sempit di Havana. Jersey Barcelona bertuliskan nama Messi mulai seliweran dikenakan orang-orang di jalan. Gosip seputar Cristiano Ronaldo pun kerap menjadi perbincangan hangat di kedai-kedai kopi. 

Desakan untuk mempopulerkan sepak bola akan kian kuat mengingat pada 17 Desember 2014 lalu Amerika Serikat secara resmi mengumumkan normalisasi hubungan dengan Kuba. Ini artinya, peluang bagi para pesepakbola Kuba untuk meraih impian kian terbuka lebar. Tak akan ada lagi Mesa yang kabur dari pusat latihan atau Alonso yang berpindah kewarganegaraan. Sebab normalisasi hubungan antar negara ini akan berimbas pada kemudahan dalam transfer uang hingga urusan ekspor-impor, termasuk dalam hal sosial politik dapat diwujudkan.

Jika pun ada artinya yang lain adalah: kedigdayaan komunisme Kuba mulai akan mendapat serbuan dari eskpansi kapital dalam labirin sepak bola. 

Mana yang lebih buruk? Anda yang menilai. —Rappler.com

Eddward Samadyo Kennedy adalah seorang penulis dan blogger. Follow Twitter-nya di @propaganjen.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!