Konferensi Asia Afrika, bukan konferensi kemanusiaan

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Konferensi Asia Afrika, bukan konferensi kemanusiaan

Grosso Be

Apakah Konferensi Asia Afrika masih relevan? Tidak relevan, jika warga peserta masih tidak sejahtera. Paling tidak itu menurut pandangan blogger ini.

Ketika dunia terbelah menjadi kubu-buku antara komunis dan bukan komunis, Indonesia dengan gagah mengambil sikap: Tidak akan memihak kubu manapun Amerika Serikat atau Uni Soviet. 

Saat itu Indonesia tengah berada di antara dua kepentingan besar Perang Dingin, dan lebih dari itu, rasa najis terhadap kolonialisme yang baru saja mereka tinggalkan. 

Kini setelah sudut kanan dan kiri melebur menjadi satu narasi besar globalisasi, apakah Konfrensi Tingkat Tinggi Asia Afrika masih relevan? Lebih dari itu, pentingkah ia diselenggarakan lagi?

Terlalu banyak alasan untuk menentang KAA, sebagaimana juga terlalu banyak pembelaan yang diberikan pemerintah. Tapi perayaan ini akan sia-sia jika tidak menghasilkan kesepakatan yang berpihak kepada masing-masing warga negara peserta konferensi. Akan jadi nisbi dan sia-sia, ketika kita bicara tentang kedaulatan dan sebagainya dan sebagainya jika kesejahteraan warganya masih jauh dari layak.

Tapi tunggu dulu, Indonesia adalah negara yang bahagia. Setidaknya ini menurut Badan Pusat Statistik(BPS). BPS menyatakan bahwa masyarakat Indonesia cukup bahagia. Pernyataan itu berdasarkan hasil Indeks Kebahagiaan Indonesia 2013 yang dikeluarkan BPS dengan skala kebahagian warganya sebesar 65,11 poin. Saya tidak paham angka itu, tapi angka itu sekali lagi tidak berarti apapun ketika kebahagiaan melulu diukur dari jumlah rupiah. 

Tapi lupakan dulu soal kebahagiaan itu. Ada yang perlu kita pahami bersama mengapa Konferensi Asia Afrika ini penting. Pertemuan tingkat tinggi ini adalah usaha untuk menunjukkan pamor bahwa Indonesia masih ada dan semestinya diperhitungkan oleh negara-negara Asia juga Afrika. 

Mengapa ini jadi penting? Begini, beberapa waktu lalu seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama Siti Zainab, seorang buruh migran, dieksekusi mati di Madinah. Eksekusi Zainab dilakukan secara tertutup, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada keluarga, maupun pemerintah Indonesia.

Warga Indonesia di Arab Saudi protes hukuman mati terhadap salah satu TKI beberapa waktu lalu. Foto oleh @AnisHidayah/Twitter

Dalam etika bernegara, jika seorang warga negara asing dieksekusi, negara asal si narapidana semestinya diberitahu. Lantas mengapa Indonesia tidak diberitahu perihal eksekusi Zainab? Mungkin Arab Saudi menganggap bahwa Indonesia adalah kawan, kawan dalam pelaksanaan hukuman mati. 

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia masih mengadopsi hukuman mati. Barangkali Arab Saudi merasa tidak perlu memberitahu. “Ah sama sama negara pembunuh ini, ngapain juga ngabarin?”

Kematian Siti Zainab bukanlah yang pertama dan terakhir. Beberapa hari setelah mengeksekusi Siti Zaenab, pemerintah Arab Saudi kembali mengeksekusi mati warga Indonesia lainnya, Karni binti Medi Tarsim, seorang buruh migran asal Brebes, Jawa Tengah. 

Hebat betul. Indonesia dan Arab Saudi seolah ingin balapan mengeksekusi mati. Seperti yang diketahui, Indonesia, menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, masih punya stok 60 orang yang akan dihukum mati.

Kasus Zainab menjadi perhatian publik ketika Wahyu Susilo, salah satu aktivis Migrant Care, memberitahu melalui akun media sosialnya bahwa Siti Zainab dieksekusi tanpa pemberitahuan di Arab Saudi. Siti Zainab dikabarkan terpaksa melakukan pembunuhan terhadap majikan perempuannya karena membela diri atas penganiayaan yang diterimanya memasuki tahun kedua masa kerjanya di rumah majikan. Cerita mengenai penyiksaan tersebut, disampaikan Siti Zainab kepada keluarganya melalui surat.

”Mengapa Indonesia tidak diberitahu perihal eksekusi Zainab? Mungkin Arab Saudi menganggap bahwa Indonesia adalah kawan, kawan dalam pelaksanaan hukuman mati.”

Dari petisi Change.org yang disusun oleh Migrant Care dan putri almarhumah, Ruyati, yang dieksekusi secara tertutup oleh pemerintahan Arab Saudi, diketahui bahwa Siti Zainab berangkat ke Saudi Arabia pada 7 Maret 1998 melalui PT Banyu Ajisakti. Siti Zainab bekerja sebagai pekerja rumah tangga pada majikan Abdullah Muhsin Al-Ahmadi. 

Ia divonis hukuman mati oleh pengadilan Madinah pada 8 Januari 2001 atas tuduhan pembunuhan terhadap majikan perempuannya, Nauroh Bt Abdullah. Siti Zainab ditahan di penjara umum Madinah selama hampir 16 tahun, terhitung sejak 5 Oktober 1999 hingga 13 April 2015. 

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, Siti Zainab berhasil ditunda eksekusi atas lobby Gus Dur dengan Raja Arab hingga ahli waris majikannya akil baligh, atau mencapai umur dewasa. 

Setidaknya saat ini masih ada 290 buruh migran yang terancam hukuman mati di Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Tiongkok, dan Qatar, 59 di antara mereka sudah vonis tetap hukuman mati. 

Wah, kok bisa Gus Dur melakukan lobi? Padahal saat itu Gus Dur tidak melalukan Konferensi Asia Afrika? Apa kesaktian Gus Dur? Mungkinkah karena Gus Dur lebih ganteng daripada Walikota Bandung? 

Gus Dur adalah seorang presiden yang fair, alih-alih memberlakukan kebijakan keras, ia melakukan diplomasi damai. Tentu diplomasi ini diiringi kebijakan yang tepat, tidak sekedar meminta penangguhan hukuman mati, tapi pemerintah Indonesia sendiri masih memberlakukan kebijakan brutal itu.

Menurut Direktur Migrant Care Anis Hidayah yang membantu membuat petisi itu, masalah hukuman mati yang dihadapi ratusan buruh migran Indonesia di luar negeri memang tantangan berat bagi pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Permasalahan ini semestinya jadi salah satu prioritas pemerintah. Isu keselamatan buruh migran di luar negeri semestinya menjadi salah satu strategi hubungan internasional dan tenaga kerja. Menguatkan diplomasi perlindungan buruh migran Indonesia melalui diplomasi tingkat tinggi (high level diplomacy) yang dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi.

Kematian Siti Zainab juga menarik perhatian Amnesty Internasional yang menganggap eksekusinya dilakukan dengan tidak adil. Amnesty Internasional menyebutkan secara global setidaknya terjadi 778 eksekusi yang dilangsungkan pada 2013. Angka ini naik dari 682 eksekusi mati yang dilakukan pada 2012. 

Dalam World Day Against the Death Penalty yang diperingati pada 10 Oktober 2014, Amnesty International merilis beberapa data terkait protes terhadap hukuman mati. Setidaknya ada tiga negara yang dianggap menyalahi kode etik dan pelanggaran HAM serius karena melakukan hukuman mati kepada orang yang menurut mereka tidak pantas dihukum.

Sayangnya, dalam Konferensi Asia Afrika kali ini pembahasan hukuman mati bukanlah yang utama. Malah konferensi ini akan dihadiri oleh 400 CEO dari seluruh Asia dan Afrika. Ini adalah indikasi bahwa konferensi ini lebih mirip pitching tender bisnis dari perusahaan, daripada konferensi negara. Saya sendiri masih menunggu apakah permasalahan seperti Boko Haram, hukuman mati, dan isu-isu kemanusiaan lainnya akan dibahas. —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!