US basketball

Apa yang terjadi kala kegiatan kelas dunia melanda Jakarta?

Elisa Sutanudjaja

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apa yang terjadi kala kegiatan kelas dunia melanda Jakarta?

ANTARAFOTO

Saat ini Jakarta jadi tuan rumah 2 acara penting: WEF dan KAA. Sesungguhnya adakah manfaat yang didapat oleh kota penyelenggara event dunia?

Sydney 2000 adalah Olimpiade pertama yang mengusung tema dan konsep tertentu dalam penyelenggaraannya. Adalah Greenpeace yang menginspirasi Sydney, Australia, untuk mengusung tema ‘Green Games‘ saat Greenpeace mengikuti kompetisi desain untuk perkampungan atlit di tahun 1992. Setahun kemudian Sydney terpilih menjadi tuan rumah, dan pasca penyelenggaraannya, disebut sebagai Olimpiade terbaik sepanjang masa serta menjadi acuan bagi tiap event kelas dunia.

Sebagai penggemar Olimpiade, saya tidak pernah melewatkan upacara pembukaan. Masih teringat ketika pemanah menyalakan api Olimpiade di Barcelona 1992. Sebagai konsumen, dua minggu Olimpiade tersebut adalah sesuatu yang wajib ditunggu, terlebih ketika Danny Boyle diumumkan sebagai sutradara untuk upacara pembukaan London 2012.

Saya sekolah dan bekerja di Sydney pasca kesuksesan Olimpiade tersebut dan turut merasakan kemakmuran yang muncul. Biro arsitek tempat saya bekerja mendapat banyak proyek. Biro arsitek lain bahkan mendapatkan pekerjaan di Olimpiade berikutnya, yaitu Beijing, hingga untuk keperluan tender Olimpiade 2012 dan 2016. Sydney pun menjadi kunjungan pariwisata populer di mana warga kota merasakan manfaat lewat perbaikan infrastruktur dan transportasi publik. 

Banyak kota-kota besar dunia, termasuk Jakarta, berharap menjadi tuan rumah, entah itu Olimpiade atau Piala Dunia. Bahkan Jakarta memasukkannya dalam Naskah Akademis penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030, dengan harapan pagelaran kelas dunia tersebut dapat mendorong Jakarta menjadi lebih baik. 

Brazil, yang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, dan Rio de Janeiro, yang menjadi tuan rumah Olimpiade musim panas 2016, mengharapkan mendapatkan manfaat ekonomi jangka pendek dan panjang dari penyelenggaraan acara-acara tersebut. 

Namun apakah benar demikian? Apakah kegiatan kelas dunia seperti Olimpiade dan Piala Dunia dapat memberikan manfaat kepada kemakmuran negara dan kota? Atau Sydney hanyalah anomali?

Sejak Minggu, 19 April, Jakarta menjadi tuan rumah dua acara penting kelas dunia secara berurutan. Dimulai tanggal 19 hingga 21 April, Jakarta menjadi tuan rumah Forum Ekonomi Dunia – Asia Timur (WEF EA). Pada tanggal yang sama pula, Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) dimulai di Jakarta dan baru akan berakhir tanggal 24 April di Bandung. 

Di tahun 2018, Jakarta dan Palembang menggantikan Hanoi menjadi tuan rumah Asian Games selama 2 minggu. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sendiri sudah mengutarakan kekhawatirannya terkait peran Jakarta sebagai tuan rumah. Mendadak segala sesuatu dikebut, termasuk 6 ruas tol yang masih banyak dipertanyakan. Walaupun 2018 sudah di depan mata, namun fasilitas seperti kampung atlet belum mendapatkan kejelasan

Asian Games memang tidaklah sementereng Olimpiade dan Piala Dunia. Namun setidaknya akan ada ribuan atlet dari 45 negara berkumpul di Jakarta dan Palembang, belum ditambah para pendukung dan turis. Acara tersebut akan memerlukan pengamanan, terutama pada upacara pembukaan dan penutup yang biasanya dihadiri oleh petinggi dan tamu VIP dari 44 negara lain. 

Pagi ini, Jakarta mencicipi sedikit apa yang akan terjadi selama 2 minggu lebih di Asian Games di bulan Agustus-September 2018. Semenjak pagi hari, sekitar jam 7 pagi hari ini, Rabu, 22 April, jalan-jalan utama di kawasan Senayan, Semanggi, Sudirman, dan Thamrin ditutup untuk umum jelang pembukaan Peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA). 

Penutupan tersebut demikian brutalnya bahkan TransJakarta pun dilarang melewati koridor-koridornya. Imbasnya tentu sudah kita duga, kemacetan dari utara, sepanjang 10 km dari Angke hingga sebelum Semanggi, di ruas Jalan Panjang, Permata Hijau, Kebayoran Lama dan Kebayoran Baru, Jalan Tol Tomang Kebon-Jeruk, JORR. Demikian juga dari arah Timur, seperti Pramuka, Senen, maupun dari tenggara, seperti Gatot Subroto dan Kuningan. 

Kondisi tersebut menyebabkan kebingungan tak hanya pengguna jalan, tapi juga petugas. Pemprov DKI yang sesungguhnya sudah mempunyai aplikasi berbasis teknologi Smart City, seakan tidak berdaya. Sangat disayangkan aplikasi tersebut tidak dapat membantu warga di tengah kekacauan pagi itu. Mungkin itu sebabnya (pemerintah) DKI Jakarta sama sekali tidak mengambil dalam Asia Africa Smart City Summit yang juga berlangsung pada hari sama di Bandung?

Mari kita membayangkan, apakah tahun 2018 Jakarta siap untuk menghadapi kejadian yang sama selama 2 minggu? Dan perlu diingat, bahwa saat itu pasti jumlah mobil di Jakarta sudah lebih banyak, MRT mungkin sudah beroperasi, serta panjang jalan (jika sesuai dengan mandat RPJMD 2012-2019) akan bertambah 2 juta meter persegi (atau sekitar 100 km untuk jalan selebar 20 meter atau 4-5 jalur). 

Jangan gembira dulu jika ada jalan baru bertambah, karena penambahan jalan justru menimbulkan masalah baru dan kemacetan baru, atau kerap disebut dengan induced demand. Induced demand terjadi apabila terjadi peningkatan jumlah jalan, malah justru akan membuat orang ingin memakai jalan tersebut, yang akhirnya menyebabkan kemacetan yang lebih akut. 

Dan jika menilik bahwa Jakarta harus membangun berbagai macam infrastruktur demi menjamin kenyamanan pelaksanaan Asian Games, maka warga Jakarta akan menderita jauh sebelum tahun 2018, bahkan dari sekarang. Setidaknya ada 3 proyek besar jalan layang, underpass dan flyover di Jakarta, ditambah lagi jika 6 ruas jalan tol jadi dibangun, double double-track (DDT) kereta api Manggarai, serta rencana LRT bandara. Dimulai dari tahun 2015, Jakarta akan dikepung konstruksi yang terjadi di saat bersamaan dan berlokasi di seluruh penjuru Jakarta Timur, Barat, Pusat, Selatan, dan Utara. Apakah itu sepadan demi Asian Games?

Kembali ke pertanyaan di awal. Apakah benar acara besar itu memberi keuntungan jangka pendek, menengah, dan panjang untuk kota dan negara? Jawabannya adalah belum tentu.

Sydney dan Los Angeles mungkin adalah dua contoh sukses, namun bagaimana dengan Brasil, Athena, Sochi, dan Beijing sendiri? Olimpiade bahkan dituduh sebagai salah satu faktor bangkrutnya Yunani. Memang Asian Games bukanlah ajang sebesar Olimpiade, komitmen pemerintah Indonesia sendiri untuk pembangunan sarana prasara olahraga hanya sekitar 3 triliun rupiah

Yang tersisa dalam pertanyaan ini adalah, apakah kita memerlukan ajang dunia ini untuk memperbaiki kota Jakarta menjadi kota yang lebih baik? Untuk kota yang baru mampu melayani pengelolaan air kotor 3% dari total wilayahnya, sebaiknya kita bertanya ulang prioritas Jakarta. 

Sebagai kota dengan kemacetan nomor wahid di dunia, bukankah kita akan melakukan bunuh diri perkotaan di masa depan? —Rappler.com

Elisa Sutanudjaja adalah seorang Eisenhower fellow, editor Kata Fakta Jakarta, dan co-founder rujak.org. Ia juga pengupaya sosial, pewarta ‘open data’, dan warga kota Jakarta. Follow Twitter-nya di @elisa_jkt

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!