Kapan Jokowi bicara isu perempuan seserius ia desak reformasi PBB?

Kokok Herdhianto Dirgantoro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kapan Jokowi bicara isu perempuan seserius ia desak reformasi PBB?
Presiden Jokowi menggebu-gebu menyerukan reformasi di PBB. Tapi pernahkah Jokowi juga melirik isu krusial lainnya? Misal soal perempuan dan ekonomi. Topik itu sebenarnya bisa dimulai di Konferensi Asia Afrika.

 

Sebelum menulis artikel ini, saya sempat ikut heboh dengan pidato Pak Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Konferensi Asia Afrika (KAA). Tidak main-main, Pak Presiden mengatakan KAA perlu mendesak reformasi di PBB. 

(BACA: Jokowi serukan reformasi PBB dalam pidato KAA

Tentunya PBB ini maksudnya Persatuan Bangsa-Bangsa. Bukan Pelajaran Baris Berbaris atau Partai Bulan-Bulanan, eh Bulan Bintang. Ibaratnya, Jokowi mengibarkan bendera perang kepada negara yang memiliki hak veto.

Jokowi juga mengatakan pentingnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat di wilayahnya. Terakhir, Jokowi juga bicara bahwa solusi perekonomian dunia tidak boleh lagi didasarkan hanya kepada Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), serta lembaga sejenis. Solusi-solusi itu sudah terasa usang. Luar biasa.

Pendek kata, pidato Jokowi kali ini sungguh menggetarkan jiwa. Persis seperti Tanta Ginting yang berperan sebagai Semaoen menyanyikan Internazionale di film Tjokroaminoto

(BACA: Film terbaru Garin ‘Tjokroaminoto’ bicara tentang guru bangsa dan komunisme

Saya tidak akan mendebat beliau terkait menentang para raksasa dunia, baik dari segi politik, ketahanan dan keamanan, hingga perekonomian. Saya akan berpikir 1.000 kali untuk bertentangan dengan presiden. #akumahgituorangnya.

Saya hanya ingin sedikit menulis betapa pentingnya Presiden mengedepankan isu perempuan di dalam negeri, dan syukur-syukur Asia Afrika. Untuk gaya-gayaan? Bukan. Untuk menyelamatkan periuk nasi ekonomi nasional. Apa hubungannya? Banyak.

 

Saya tidak begitu ‘ngeh’ dengan isu feminisme. Beberapa orang yang membuka cakrawala berpikir saya adalah Tunggal Pawestri (@tunggalp) dan Paring Waluyo Utomo (@paringwaluyo).

Dari Paring saya mendapat kosakata baru: pengarusutamaan gender (PUG). Sila dicari artinya di Wikipedia. Singkatnya adalah memberi ruang dan kesempatan yang setara dalam berkehidupan, bernegara, dan bekerja.

Pasti semua akan ngomong: kan perempuan sudah boleh bekerja di bidang yang sama dengan pria. Ya, benar. Tapi perlindungan dan PUG kebijakan negara masih jauh. Lalu apa hubungannya dengan perekonomian? Sabar.

Saya akan uraikan dengan sedikit ilmu yang saya miliki. Kalau salah, silakan salahkan Tunggal atau Paring.

Dulu ketika saya kecil di daerah Surabaya, tetangga saya seorang supir angkot. Hidupnya cukup sejahtera, anak-anaknya sekolah tinggi. Uangnya dari mana? Istrinya membuka toko pracangan kecil. Pracangan itu toko kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, kopi, jajanan anak-anak, kerupuk, mi, kacang hijau, telur, kacang tanah, dan lain sebagainya. 

Istrinya menopang pendapatan keluarga dari rumah. Tetangga yang lain bekerja sebagai tukang jual roti keliling. Sama juga, istrinya membuka pracangan kecil dan hidup keluarga tersebut sejahtera.

Sekarang, toko-toko pracangan atau dikenal juga dengan kelontong mulai langka. Bergeser menjadi ritel modern atas nama efisiensi dan mengurangi pengangguran. 

Pendapatan ibu-ibu untuk menopang suami berkurang. Suami harus bekerja lebih keras itu harus, namun persaingan usaha di jalanan seperti supir angkot dan tukang roti keliling tidaklah mudah. 

Uang-uang kecil toko pracangan itu hilang berganti menjadi laba minimarket modern yang juga dilakukan melalui waralaba. Negara saat memutuskan sebuah arus modal raksasa masuk mengambil bisnis masyarakat kecil dan kebetulan ibu-ibu, sama sekali tak memasukkan kajian PUG dalam kebijakan tersebut.

Hal yang sama kita dapati di daerah pesisir. Nelayan pulang melaut langsung menjual ikan yang diperolehnya. Lalu beristirahat, kadang ada juga yang pergi dangdutan. Eh.  

Bagaimana peran perempuan di pesisir? Siapa kira-kira yang bekerja keras mengolah ikan menjadi ikan asin dan ikan asap agar punya nilai tambah berikut lebih awet? Semua dilakukan perempuan. Mereka memutar otak agar ikan dan hasil laut lainnya awet karena tidak ada pabrik es batu serta listrik sangat terbatas.

Lalu bagaimana peran pemerintah untuk usaha perikanan laut? Yang diberikan adalah bantuan kapal, jaring, bahan bakar dan pinjaman lunak. Apakah ini penting? Penting banget. 

Tapi pertanyaan saya, apakah negara mengedepankan PUG dalam kebijakan perikanan laut? Adakah program riil untuk ibu-ibu nelayan yang tangannya begitu piawai mengolah hasil laut menjadi ikan asin, ikan asap, kerupuk, petis, dan lain sebagainya? 

Apakah pemerintah menelurkan kebijakan agar pabrik-pabrik penghasil makanan olahan di pesisir harus memperhatikan sungguh-sungguh industri rumahan yang dikerjakan ibu-ibu. Menjadikan mereka mitra strategis bukan malah menghabisi bisnis mereka dengan kuasa modal.

Juga program pertanian. Yang terbayang adalah subsidi pupuk, benih, traktor yang ternyata ditarik lagi, waduk besar yang biayanya bisa di atas Rp 5 triliun per unit, refocusing swasembada, dan banyak lagi. 

Apakah semuanya itu perlu? Tentu. Tapi apakah pemerintah memberikan dukungan kepada perempuan petani? 

 Ibu Negara Iriana Joko Widodo berporse bersama ibu-ibu negara dari negara lain di depan Museum Tekstil, Jakarta, 22 April 2015. Foto oleh Prasetyo Utomo/aac2015/Rappler

Saya pernah bertemu dengan direktur perusahaan benih. Kata beliau, tangan perempuan Indonesia itu seperti mengandung sihir. Lewat ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu, tangan petani perempuan Indonesia, bergantunglah ketersediaan benih sayur dan buah kualitas hibrida. 

Untuk menghasilkan benih unggul, serbuk sari tanaman jantan harus dikumpulkan. Lalu nanti ditaburkan ke tanaman betina. Kedengarannya mudah, saya melakukan sendiri dan susah minta ampun. Itu yang jago petani perempuan, petani pria tidak ada yang berkualitas tinggi untuk menjadi polinator.

Dulu juga ibu-ibu di pedesaan memelihara ayam kampung. Kalau ke pasar mereka sering membawa beberapa butir telur ayam untuk dijual ke pasar. Juga menebar bibit bayam dan sawi untuk diikat kecil-kecil dan dijual ke pasar.

Kini telur dan ayam musnah terlibas kuasa modal ayam petelur dan ayam pedaging. Masih adakah telur ayam kampung dan ayam kampung pedaging? Masih. Tapi secara volume tentu terdesak melawan industri peternakan besar.

Demikian juga saat harga komoditas pertanian jatuh sementara panen melimpah. Siapa yang mengolah sayur dan buah menjadi asinan, jus apel, berbagai makanan lokal, dan sejenisnya. 

Semua fungsi manufaktur hasil pertanian segar dilakukan oleh ibu-ibu petani — dan pabrik tentunya. Negara tak pernah hadir dalam kebijakan untuk menopang usaha ibu-ibu. Sekali lagi PUG belum menjadi concern negara.

Bagaimana dengan perkotaan? Tulisan cuti hamil yang saya buat — yang katanya #uhuk menginspirasi banyak orang — ternyata pernah menjadi program nasional, saya coba googling kemarin. 

 (BACA: Mengapa saya beri cuti hamil 6 bulan?

Sayangnya baru rencana. Kalau browsing, beberapa partai sudah mengusulkan cuti hamil minimal 6 bulan. Tapi tak kunjung realisasi. Demikian juga usulan day-care di kantor-kantor agar pekerja perempuan bisa menitipkan anak dan mungkin memberikan ASI langsung ke anaknya. 

Semua masih rencana dan belum ada langkah konkrit. Sama seperti rencana swasembada gula yang digagas dari 2003-2004, lalu direvisi 2006, lalu direvisi terus sampai hari ini. 

Demikian juga upaya peningkatan produksi kedelai yang tahun 2014 saja menghabiskan biaya Rp1,45 triliun dengan hasil produksi tidak naik, bahkan turun dan impor kedelai kian meningkat. 

Betapa sayangnya anggaran dibuang-buang demi dua slogan kosong: Swasembada dan nasionalisme. Kalau gagal, berlindung lagi ke dua kata tersebut.

Cuti hamil dan juga day-care dalam kerangka PUG tidak menjadi perhatian negara kita tercinta. Perusahaan pasti berdalih beban usaha tinggi. Memangnya kalau beban usaha rendah dan laba tinggi, mayoritas hasilnya dinikmati karyawan? 

Pasti pemegang saham dan manajemen yang memperoleh hasil besar terlebih dahulu. Dengan alasan sebagai pemilik modal, menanggung risiko, dan lain sebagainya.

Uniknya, usaha besar selalu mempopulerkan kebijakan yang menguntungkan usaha dari negara lain. Misalnya listrik. Ada lho industri yang berucap, listrik kalau di negara maju, tarif untuk industrinya disubsidi. 

Tarif untuk masyarakat malah tinggi agar efisien. Giliran kalau ada beban tambahan tarif mengacu ke luar negeri, giliran dengar negara maju beri cuti hamil 6 bulan bahkan setahun ngomongnya: beban usaha dan kita ikut peraturan pemerintah. Lalu peraturannya entah dibahas dimana sampai kapan.

Silakan hitung jumlah perempuan yang bekerja di pabrik, kantor-kantor keren, sektor jasa dan lain sebagainya di kota besar. Jumlahnya signifikan. Demikian juga kontribusinya untuk perekonomian negeri ini. 

Apa yang terjadi jika tenaga-tenaga potensial ini harus bekerja lintang pukang dalam kondisi hamil dan meninggalkan anak bayi yang rentan di rumah demi mempertahankan karir tanpa berpikir memberi mereka sedikit saja keleluasaan menikmati masa menjadi ibu. 

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang saya baca 1990-2010 per tahun adalah 1,49%. Dekade sebelumnya sekitar 2%. Dekade 1971-1980 malah 2,31%. Apa artinya? Jumlah kelahiran menurun. 

Ketakutan karyawati akan hamil berkali-kali adalah bentuk lebay bersikap. Di masa datang, generasi muda yang mewarisi bangsa ini jumlah per angkatan bisa jadi lebih sedikit ketimbang era saya yang lahir di ’90-an. Nggak deh, lahir di ’70-an. Tentunya karena jumlah lebih sedikit, generasi yang akan datang harus lebih berkualitas.

Tapi bagaimana mau berkualitas jika lahir dari ibu yang kebingungan memilih karir atau resign karena cuti hamil yang pas-pasan. Generasi apa yang kita inginkan tercipta dari bayi yang tak dapat menyusu ASI langsung ke ibunya selama 6 bulan? 

Jawabannya ada di generasi yang menikmati asupan nutrisi dari ibunya sembari mendengar irama jantung sang ibu yang berdetak tenang. Bukan generasi yang harus menetek ke ibu dengan tergesa-gesa karena terbebani deadline atau berangkat subuh untuk menghindari macet. Bukan pula generasi yang harus menetek diwakili dot plastik.

(BACA: Siapa dukung cuti melahirkan 6 bulan?

Balik lagi ke Pak Jokowi, betapa pentingnya PUG ini disertakan dalam kebijakan-kebijakan strategis riil. Bukan sekedar tulisan-tulisan sloganistik di kajian-kajian pemerintahan. Juga ingatkan pentingnya kajian PUG di negara-negara Asia-Afrika. 

Bagaimana kekerasan seksual di India, perempuan yang mengalami pelecehan dan harus mengungsi ke sana-sini karena perang berkepanjangan di Afrika. Kajian PUG tak kalah penting dengan mencerca PBB tak menjalankan fungsinya dengan sempurna. 

Pak Jokowi juga perlu mengingatkan bagaimana politik di Bangladesh — yang tentunya didominasi kaum pria — mengganggu usaha Grameen Bank. Bank untuk productive poor yang didesain dari awal hingga sukses, diperuntukkan untuk perempuan. 

Dan masih banyak bopeng-bopeng di dalam Asia Afrika yang harus menjadi perhatian dunia. Ujungnya adalah penghormatan perempuan, kesetaraan dan PUG tentunya.

Negara Asia Afrika perlu, amat sangat perlu mengecam negara maju yang menyedot kekayaan Asia Afrika, mengakibatkan perang, dan penindasan. 

Namun sebelum terus menghina taman tetangga yang tak teratur, ada baiknya kita juga memandang dan mengurusi taman kita yang gersang tak terurus. Tapi Pak Jokowi, pidato bapak keren. #cariamancoy—Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan wartawan, mantan karyawan bank. Kini ia mengelola kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Meski demikian, Kokok sangat berminat belajar seputar isu ekonomi. Gaya menulisnya humoris, tapi sarat analisis. Follow Twitter-nya @kokokdirgantoro.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!